Menyebut nama Shakespeare, ingatan saya langsung tertuju pada dua hal. Kata Shakespeare membuat saya dan mungkin juga banyak orang yang lantas teringat pada ungkapan “apalah arti sebuah nama”. Itu hal pertama dalam ingatan saya yang identik dengan Shakespeare.
Ya, ungkapan William Shakespeare itu seolah turun-temurun diwariskan sehingga generasi dari generasi mengenal ujaran yang terkadang tak selaras dengan realita (utamanya bagi mereka yang meyakini bahwa nama adalah bagian dari doa dan harapan orang tua nya).
Pekan ini, ujar-ujaran penyair Inggris yang meninggal di tahun 1616 dalam usia 52 tahun ini sepertinya sangat diresapi oleh para suporter klub Leicester City. Utamanya setelah petinggi klub juara Liga Inggris musim lalu ini, menaikkan status Craig Shakespeare dari caretaker menjadi pelatih kepala yang menangani Jamie Vardy dan kawan-kawan hingga akhir musim.
Siapalah Shakespeare?
Pria berusia 53 tahun ini bukanlah ‘siapa-siapa di blantika sepak bola Inggris. Dia bukan orang tenar seperti Claudion Ranieri yang dipecat manajemen Leicester City pada akhir Januari lalu. Dia juga kalah tenar dari beberapa nama pelatih top yang diisukan akan menggantikan Ranieri, salah satunya Roberto Mancini. Namun, apalah arti sebuah nama? Sebuah nama hanya akan menjadi pertimbangan kesekian bila hasil sudah berbicara.
Ya, cara pandang terhadap pria yang sudah mengabdi di Leicester sejak 2008 ini berubah ketika penampilan Leicester di bawah kendali nya sebagai caretaker, justru memperlihatkan peningkatan performa. Setelah Ranieri dipecat, di era Shakespeare, Leicester meraih dua kemenangan beruntun atas Liverpool dan Hull City di Liga Inggris. Keduanya dengan skor 3-1.
Dua kemenangan yang menjauhkan Leicester dari jurang zona degradasi itulah yang kiranya membuat manajemen tim berlogo rubah ini akhirnya mantap menunjuk Shakespeare sebagai pelatih. Mereka mungkin bisa dengan lega berkata “apalah arti sebuah nama bila ternyata dia menunjukkan kinerja bagus”.
Lalu, apakah Shakespeare bisa mendapatkan cinta dari fans Leicester? Bukan rahasia bla fans Leicester cinta mati pada Ranieri, pria yang membawa klub pujaan mereka pada keajaiban (baca juara Liga Inggris) yang bahkan tidak terpikirkan dalam lamunan liar mereka. Ketika Leicester bermain melawan Liverpool, fans Leicester kompak memakai topeng bergambar Ranieri sebagai bentuk cinta pada sang Italiano yang telah diperlakukan dengan kejam oleh manajemen klub.
Tetapi, bukanka cinta itu soal waktu. Bukankah cinta itu bisa tumbuh pada waktu yang tepat. Kalau kata orang Jawa, trisno jalaran soko kulino (cinta itu bisa datang karena terbiasa). Dan, bila Shakespeare terbiasa membawa Leicester menang, rasanya cinta fans Leicester juga akan datang.
Terlebih setelah tadi pagi, Shakespeare memimpin Leicester mengukir sejarah baru usai lolos ke perempat final Liga Champions lewat kemenangan 2-0 atas Sevilla (menang agregat 3-2). Leicester yang awalnya disepelekan hanya jadi penggembira di Liga Champions, kini menjadi satu dari delapan klub terbaik di Eropa musim 2016/17. Bahkan, publik Inggris seolah tak percaya. Itu tergambar dari judul berita Daily Mail: “Barcelona, Real Madrid, Bayern Munchen, Juventus, Dortmund and....Leicester”.
Dan, fans Leicester juga publik di Inggris sana, rasanya kini bisa lebih mencintai Shakespeare. Sebaliknya, pria kelahiran 26 Oktober 1963 ini bakal makin cinta dengan pekerjaan nya. Seperti judul lagu “Shakespeare in Love” yang pernah dinyanyikan penyanyi manis, Layla Kaylif pada 2009. Ini hal kedua yang saya ingat dari Shakespeare.
Kini, pendukung Leicester layak berdebar menunggu hasil undian perempat final, Jumat (17/3). Menunggu siapa yang akan jadi lawan Wes Morgan dan kawan-kawan. Namun, apapun, itu, Leicester telah menjaga martabat sepak bola Inggris. Dan, apapun itu, Shakespeare membuktikan dirinya memang layak mendapatkan cinta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H