Ya, itu fakta yang bikin miris. Bahwa pelaku kekerasan terhadap anak dan perempuan ternyata sedikit saja dari orang asing atau yang tidak dikenal korban. Kebanyakan pelaku nya ternyata merupakan orang-orang yang biasa tinggal satu rumah dengan mereka. Atau juga berada satu sekolah dengan mereka.
Imbasnya, perempuan dan anak-anak yang jadi korban, mengalami depresi mental lebih berat. Mereka tertekan dan ketakutan untuk sekadar cerita ke orang lain bahwa dirinya korban kekerasan. Mereka tidak berani melapor karena diancam dan merasa malu karena bila berterus terang berarti membuka aib keluarganya. Jadilah mereka menutup diri dan membiarkan dirinya menjadi korban kekerasan/eksploitasi.
Saya ambil contoh di sekolah-sekolah di Surabaya ada yang namanya konselor sebaya. Mereka adalah para siswa yang ditunjuk untuk jadi “teman curhat” bagi sesama temannya yang bermasalah. Karena berusia sebaya, diharapkan para korban kekerasan/eksploitasi, tidak malu atau takut menceritakan masalahnya dibanding kepada guru nya atau orang tuanya. Konselor sebaya juga bisa mendekati kawan-kawannya yang terindikasi mengalami masalah keluarga lantas diajak ngomong. Dari situ, pihak sekolah bisa melakukan tindak lanjut untuk penyembuhan korban dari trauma.
Mencegah Lebih Baik dari Mengobati Trauma
Tapi, keberadaan konselor sebaya itu tentunya sudah pada tahap setelah ada korban. Padahal, seperti halnya filosofi di dunia kesehatan, mencegah itu lebih baik dari mengobati. Dalam ranah kekerasan pada anak dan perempuan, mencegah juga lebih baik daripada mengobati. Sebab, menyembuhkan trauma korban kekerasan dan eksploitasi anak--terlebih karena dilakukan orang-orang dekat---tidaklah semudah menyembuhkan orang sakit kepala yang cukup minum obat. Tetapi butuh pendekatan dan juga waktu lama untuk membuat mereka lepas dari trauma.
Karenanya, jauh lebih penting untuk melakukan pencegahan daripada memulihkan trauma. Porsi untuk pencegahan ini harus lebih besar bila dibandingkan dengan tindakan lainnya semisal penanganan. Dan, porsi pencegahan ini bisa diperankan oleh keluarga. Dengan kesadaran orang tua untuk membentuk keluarga yang harmonis dan saling terbuka, juga mengedukasi anak-anak tentang pentingnya menghargai orang lain, tentunya menjadi pencegahan paling awal terjadinya kekerasan pada anak dan perempuan.
Terlebih di era kekinian seperti sekarang di mana kekerasan bukan hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga kekerasan verbal berupa bullying ataupun komentar sarkasme yang diucapkan/ditulis di laman-laman media sosial, mencegah juga lebih baik. Peran guru dan orang tua (keluarga) menjadi sangat penting untuk ikut bergandengan tangan dalam memberikan edukasi kepada siswa dan anak-anak dalam penggunaan media sosial yang baik. Harapannya, kekerasan verbal bisa dicegah.
Bergandengan Tangan Demi Indonesia “Bebas Tiga Masalah”
Upaya mendorong pemerintah daerah dan masyarakat agar ikut aktif mengakhiri kekerasan perempuan/anak, eksploitasi dan perdagangan manusia serta kesetaraan gender, tidak hanya lewat arahan. Lebih konkret adalah pemberian penghargaan Anugerah Parahita Ekapraya (APE) yang diinisiasi Kementerian PPPA dan diberikan tiap akhir tahun kepada pemerintah daerah/instansi yang concern pada Three Ends ini. Bahkan, awarding ini sejatinya sudah ada sebelum Three Ends digulirkan.
Tujuannya, pemerintah daerah bisa termotivasi untuk memastikan kota mereka aman dan nyaman untuk warganya, utamanya anak-anak dan perempuan dengan terpenuhinya hak kesehatan, hak pendidikan, adanya ruang bermain ramah anak dan tidak adanya kekerasan di dalam rumah tangga maupun lingkungan sekolah. Lalu, adanya penguatan peran perempuan sebagai wujud kesetaraan gender dan pemberdayaan ekonomi perempuan. Serta, mencegah terjadinya kasus perdagangan orang (human trafficking).