Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Serunya Menulis di Kompasiana; Pernah Nyaris Dihajar Preman, Hingga Kampanye "Anti Amplop" di Pokja Wartawan

19 November 2016   22:36 Diperbarui: 19 November 2016   23:10 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bagi saya, itu momen yang paling saya ingat selama menulis di Kompasiana. Bahwa, menghasilkan tulisan di Kompasiana bukan sekadar mengarang indah ataupun nyari data. Tetapi juga penuh perjuangan, bahkan juga sempat gemetaran. Meski, tulisan itu pad akhirnya tidak terpilih jadi pemenang. Tapi, buat saya, tulisan itu berharga.

2. Kampanye “Anti Amplop” di Hadapan Wartawan

Memperingati Hari Pers Nasional pada 9 Februari 2016 lalu, Kompasiana mengangkat “topik pilihan” tentang hari ulang tahun pers itu. Pernah beberapa tahun menjadi bagian dari keluarga pers dan cukup tahu seluk beluk kehidupan pekerja pers, membuat saya tergoda untuk ikutan menulis. Saya memilih mengangkat cerita tentang kehidupan sebagian pekerja pers yang hidupnya masih jauh dari sejahtera karena gaji minimalis dari kantornya. Ironisnya, minimnya gaji kantor membuat beberapa kawan pekerja pers ini jadi pemburu amplop. Padahal, wartawan bisa sejahtera tanpa harus melanggengkan kebiasaan itu. Intinya, ada banyak cara bagi wartawan untuk bisa sejahtera melalui menulis. Bukan dengan jadi pemburu amplop atau banting stir nyari pekerjaan lain. Tulisan itu saya beri judul “Siapa Bilang Wartawan Nggak Boleh Kaya? Link  http://www.kompasiana.com/hadi.santoso/siapa-bilang-wartawan-nggak-boleh-kaya_56bafd1aa423bd6c056425b8.

Siapa sangka, oleh seorang kawan, tulisan saya di Kompasiana itu lantas di-share ke grup WhatsApp-nya kawan-kawan kelompok kerja wartawan yang sehari-hari meliput di lingkungan Pemkot Surabaya. Saya pun merasa bak berkampanye “anti amplop”. Dan itu mendapat respons beragam dari kawan-kawan. Termasuk di Kompasiana. Di satu sisi, saya merasa senang bisa menyuarakan gagasan saya kepada sasaran tepat. Tetapi di satu sisi ada rasa sungkan telah menyindir kebiasaan mereka melalui tulisan. Meski, tulisan itu sejatinya berisi harapan agar pekerja pers kita semakin sejahtera. Sejahtera dengan cara yang benar. Sejahtera karena mampu memaksimalkan potensi yang dimiliki.

Dari situ, saya menyadari bahwa tulisan di Kompasiana bisa punya pengaruh besar. Dan semoga, pengaruh itu tidak hanya berupa kehebohan. Tetapi bisa memberikan enlightment alias pencerahan kepada yang membacanya.

3. Ketika Produktif Menulis

Tidak sulit menemukan penulis produktif di Kompasiana. Ada cukup banyak nama yang setiap harinya mampu menghasilkan tulisan. Kabar buruk bagi saya, saya tidak termasuk penulis produktif itu. Andai saya poduktif, rasanya jumlah tulisan saya mungkin mendekati pencapaian tulisan pak Tjiptadinata Effendy--sosok yang saya kagumi untuk urusan konsistensi menulis. Lha wong saya lebih dulu bergabung di Kompasiana dibanding beliau.

Masalahnya, untuk bisa menulis satu tulisan setiap hari, ternyata susah. Rutinitas kerja yang juga tidak jauh dari menulis, acapkali menyita waktu. Ide-ide tulisan yang sejatinya tinggal ditulis pun lebih sering menguap, tanpa bekas.

Meski begitu, selama hampir enam tahun bergabung di Kompasiana, dari hasil penelusuran, ternyata saya juga memiliki periode ketika sangat rajin menulis. Tiap hari posting tulisan. Bahkan, dalam satu hari bisa menulis dua tulisan. Dan banyak tulisan itu yang jadi headline. Diantaranya ketika Juni 2016 lalu. Itu salah satu momen terbaik saya di Kompasiana. Ah, semoga ke depannya, saya bisa lebih rajin menulis di Kompasiana. Semoga.

4.Rumah Besar untuk mengenal

Lebih dari setengah dekade gabung di Kompasiana membuat saya bisa berkenalan dengan beberapa kawan baru. Kompasiana bak jadi rumah besar untuk saling mengenal. Meskipun cuma kenal sapa lewat tulisan. Dan, bak seperti kisah Cerpen “Bukan Pasar Malam” nya Pramoedya Ananta Toer, satu per satu kawan baru datang, dan satu persatu pergi. Tentunya karena tidak aktif lagi menulis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun