Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Budaya Bersih dan Senyuman, Bekal Kita Jadi Poros Maritim Dunia

9 Oktober 2016   21:33 Diperbarui: 9 Oktober 2016   21:47 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kampung unggulan di Surabaya/hadi santoso

Kampung unggulan di Surabaya/hadi santoso
Kampung unggulan di Surabaya/hadi santoso
Silahkan juga datang ke kampung-kampung di tengah kota seperti Kampung Maspatih, Kampung Ketandan, Kampung Bratang Binangun dan masih banyak kampung lainnya yang tetap eksis di tengah himpitan gedung-gedung bertingkat. Kampung-kampung itu bersih dan asri. Bahkan, warga nya mampu memilah sampah secara mandiri. Warga juga telah mampu mendaur ulang limbah sampah menjadi produk bernilai ekonomi. Serta, bank sampah yang ada hampir di setiap kampung. Melihat kampung-kampung ini, Anda bak menemukan “surga terselip” di tengah sesak nya modernitas kota.

Taman-taman kota dan kampung-kampung sebagai perwujudan budaya bersih yang dimiliki warganya, serta keunikan sosial budaya yang tergambar dalam keramahan warga nya itulah yang “dijual” kepada tamu mancanegara yang datang. Di sela agenda formal, mereka diajak blusukan ke kampung-kampung lingkungan, menyaksikan betapa bersih dan asrinya kampung-kampung yang berada di tengah kota. Juga, betapa ramahnya warga dalam menyambut mereka.

Dulu, ketika masih jadi wartawan, dalam beberapa kali perbincangan dengan tamu dari luar negeri, saya menangkap jawaban yang sama ketika menanyakan bagaimana repons mereka terhadap Surabaya. Mereka menyukai keramahan yang ditunjukkan warganya yang terwujud dalam cara penyambutan tamu, mimik wajah (senyuman) dan keceriaan.

Jawaban itu saya lihat secara langsung ketika menyaksikan delegasi Habitat III datang ke beberapa kampung lingkungan di Surabaya. Warga menyambut mereka dengan antusiasme. Menjamu mereka dengan umbi-umbian (polo pendem) rebus dan olahan minuman toga seperti beras kencur, kunyit asem dan sinom. Serta memamerkan produk-produk kerajinan dari hasil daur ulang limbah sampah yang telah dikemas menjadi tas, vas bunga, dompet dan sebagainya. Meski berbeda bahasa ibu, tetapi interaksi mereka terlihat sangat akrab. Dan di akhir perjumpaan, ada banyak dari mereka yang berujar “warga Surabaya luar biasa. Saya akan menceritakan keramahan warga di sini kepada teman-teman di negara saya agar mereka datang ke Surabaya”.

Kampung-kampung yang bersih, taman-taman kota yang asri, kekayaan sosial budaya melalui kearifan lokal yang berpadu keramahan warga itulah yang menjadi pesona Surabaya. Pesona itu tidak hanya dikenal oleh banyak kepala daerah se-Indonesia yang hampir setiap pekan bergantian datang ke Surabaya untuk melihat kelebihan itu. Pesona itu bahkan telah mendunia. Baik melalui promosi, tulisan maupun tersiar dari mulut ke mulut. Jadilah Surabaya berhasil memikat hati warga dunia untuk datang berkunjung.

Berawal Rasa Memiliki, Lahir Budaya Bersih

Bicara kebersihan, sebenarnya apa sih rahasia Surabaya sehingga bisa memiliki kampung-kampung dan taman-taman kota yang bersih ?

Padahal, untuk membuat taman kota, rasanya siapa saja bisa. Tidak hanya Surabaya. Tetapi, yang susah adalah mengajari warga budaya bersih sehingga bisa ikut merawat kebersihan taman. Apalah artinya taman yang didesain bagus bila ternyata kotor dan tidak terawat. Mengandalkan petugas kebersihan saja tidak cukup untuk memantau kebersihan taman selama 24 jam.

Pun, membuat kampung jadi bersih, juga tidak susah. Ada banyak kota yang bisa melakukannya. Tetapi, yang tidak mudah adalah menanamkan budaya bersih kepada warga kampung sehingga mau menjaga kampungnya teta bersih selama bertahun-tahun. Ya, dengan penampakan kota nya, tidak sulit mengatakan bahwa Surabaya memang telah berbudaya bersih.

Dan itu bukanlah karena aksi semalam. Tetapi karena kemauan, kesadaran dan kerja keras yang dilakukan bersama-sama secara kontinyu. Dulu, Surabaya dikenal sebagai kawasan yang gersang, panas dan bila hujan acapkali banjir. Pemerintah Kota Surabaya lantas mengajak warga kampung untuk berlomba membenahi kampungnya. Bekerja sama dengan media massa dan instansi swasta, mereka menggelar lomba kebersihan kampung, melalui program Green and Clean dan juga Merdeka dari Sampah. Karena ingin menjadi yang terbaik dan mendapat penghargaan, warga lantas antusias membenahi kampungnya. Dan hasilnya pun kelihatan. Dari situ, rasa memiliki terhadap lingkungan nya mulai muncul. Warga rela melakukan apa saja agar lingkungannya tetap bersih. Karenanya, meskipun kampung-kampung itu tidak lagi mengikuti lomba kampung bersih, ketika tidak ada lagi iming-iming hadiah, tapi kebersihan dan keasrian di lingkungan kampung tersebut, masih terjaga.

Ya, jawabannya adalah adanya rasa memiliki dari warganya. Karena rasa memiliki, warga menjadi sadar untuk tidak mengotori lingkungannya. Warga menjadi tergerak untuk ikut berperan aktif menjaga kebersihan lingkungannya. Di Surabaya, tidaklah sulit untuk menggerakkan warganya untuk bekerja bakti membersihkan lingkungan. Rasa memiliki itulah yang telah melahirkan budaya bersih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun