Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Belajar Memeluk Peluang dari Renato Sanches, Pemain Muda Portugal

13 Juli 2016   16:22 Diperbarui: 13 Juli 2016   19:07 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekspresi Renato Sanches usai mengalahkan Polandia di perempat final/uefa.com

Kesempatan besar bisa datang menghampiri siapa saja. Termasuk mereka yang masih berusia sangat muda. Namun, cerita yang acapkali terjadi, banyak anak muda yang belum siap dan tidak tahu caranya memeluk kesempatan besar itu. Bisa jadi karena kurang percaya diri sebab tak punya pengalaman. Atau karena dihantui oleh perasaan takut gagal dan kecemasan tingkat tinggi.

Tengoklah di Piala Eropa 2016 lalu. Ada banyak anak-anak muda yang mendapatkan kesempatan besar. Di usianya yang belum genap 20 tahun, mereka mendapatkan peluang yang sebelumnya mungkin hanya ada dalam mimpi tidur mereka. Peluang membela negaranya di tim senior dan tampil di kejuaraan sepak bola terbesar di benua. Bukankah itu peluang luar biasa besar bagi anak-anak muda berusia belasan tahun?

Namun, itu baru permulaan. Peluang sebenarnya yang akan menentukan apakah masa depan mereka cerah atau suram, dimulai ketika turnamen digelar. Dan kita tahu, ada banyak anak muda itu yang pada akhirnya sebatas hadir di Piala Eropa. Ada yang diberi peluang bermain, tetapi karena sinarnya tak istimewa, mereka pun terlupakan. Beberapa nama saja yang pesona nya terlihat terang. Salah satunya anak muda muda bernama Renato Junior Luz Sanches.

Ya, sebelum Piala Eropa 2016, rasanya sedikit saja yang mendengar nama ini. Kini, ada banyak orang penasaran mengetahui profil pemuda berusia 18 tahun ini setelah dirinya ikut membawa Portugal juara dan terpilih jadi pemain muda terbaik Piala Eropa 2016. Sanches telah berubah, dari bocah belasan tahun menjadi 'pahlawan' negaranya. Dia sudah jadi seperti Cristiano Ronaldo yang peran nya tidak tergantikan di Tim Portugal.

Renato Sanches adalah contoh nyata anak muda yang tidak mau menyia-nyiakan peluang besar yang datang kepadanya. Pemuda kelahiran 18 Agustus 1997 ini berhasil memaksimalkan kesempatan besar yang diberikan pelatihnya. Kesempatan yang mungkin tidak akan didapatnya untuk yang kedua kali andai saja dia tak mampu memeluknya erat.

Ketika namanya masuk Tim Portugal ke EURO 2016 setelah mencatat 35 penampilan dan bikin 2 gol di Benfica sepanjang musim 2016/17, orang masih beranggapan dia sekadar “diajak nonton bola dari pinggir lapangan” di Prancis. Apalagi, dia baru mencatat lima caps di tim Portugal. Itu pun sebagai pemain cadangan yang turun ke lapangan di menit-menit akhir laga.

Dan benar adanya. Di laga pertama Portugal melawan Islandia, Sanches tak main sebagai pemain inti. Dia baru diberi kesempatan main di menit ke-71, menggantikan Joao Moutinho.

Dan, Anda tahu, bagi pemain yang tidak setiap waktu mendapat kesempatan main, waktu 20 menit ini seperti masa audisi yang akan menentukan masa depannya. Bila ia tampil baik, kesempatan berikutnya akan datang. Sebaliknya, bila tampil buruk, tak akan ada lagi kesempatan kedua. Yang terjadi, tidak ada perubahan besar yang bisa dia berikan. Portugal ditahan Eslandia 1-1.

Dan perandaian audisi itu benar adanya. Di laga kedua melawan Austria, Sanches tak dimainkan semenit pun. Piala Eropa pun sepertinya akan berakhir cepat baginya seiring hasil kurang bagus yang diraih Portugal.

Tetapi, pelatih Portugal, Fernando Santos rupanya masih berbaik hati. Mungkin juga dia berjudi karena tak punya banyak pilihan sehingga dia pun memberi kesempatan kedua bagi Sanches. Di laga terakhir grup melawan Hungaria, Sanches dimainkan di awal babak kedua. Dan Sanches tahu persis, ini bak kesempatan terakhir baginya. Dia hanya punya dua pilihan: selesai atau terus belanjut. Yang terjadi, Sanches bermain jauh lebih tenang dan mampu menyegarkan lini tengah Portugal yang loyo di babak pertama.

Dia ikut berperan dalam terjadinya dua gol Portugal yang sempat tertinggal dua kali dan membuat laga berakhir 3-3. Sanches lalu kembali dimainkan di babak kedua ketika melawan Kroasia di babak 16 besar. Dia ikut punya andil dalam kemenangan dramatis 1-0 via gol di masa perpanjangan waktu.

Sejak itu, Fernando Santos mulai benar-benar percaya kepadanya. Sejak itu, Sanches mengucapkan salam perpisahan kepada bangku cadangan. Melawan Polandia di perempat final, untuk kali pertama, Sanches dimainkan sebagai starter. Dia menggeser Ronaldo sebagai pemain termuda Portugal yang main sebagai starter di Piala Eropa. Dia yang awalnya hanya sebagai pengganti Joao Moutinho, justru mengirim seniornya itu ke bangku cadangan.

Dan, di pertandingan inilah, Sanches mulai mengirim pesan kepada semua orang, bahwa dirinya memang istimewa. Tak hanya memberi energi besar di lini tengah Portugal, dia juga mencetak gol yang menyamakan skor 1-1. Dan, dia menjadi pemain termuda yang meraih predikat pemain terbaik laga (man of the match) dalam sejarah Piala Eropa.

Gelar man of the match di laga melawan Polandia/uefa.com
Gelar man of the match di laga melawan Polandia/uefa.com
Dan yang mungkin tidak diketahui oleh banyak orang adalah bagaimana kesiapan mental Sanches ketika penentuan pemenang kudu ditentukan lewat adu penalti. Dialah yang menawarkan dirinya kepada pelatih untuk menendan penalti.

“Pelatih bertanya kepada kami siapa yang ingin mengambil penalti. Cristiano (Ronaldo) menendang pertama dan saya katakan, saya menjadi yang kedua,” jelas Sanches seperti dilansir UEFA.

Bagi yang pernah bermain bola ataupun futsal dan tampil di turnamen, Anda pasti nya tahu bagaimana situasi ketika adu penalti. Saya saja yang pernah tampil di turnamen antar Pokja dan melakoni adu penalti di semifinal, merasakan betapa ‘mencekam’ suasana nya. Senior saya yang biasanya piawai bikin gol jarak jauh saja bahkan tidak gol. Apalagi ini sekelas Piala Eropa dan menentukan langkah ke semifinal.

Ekspresi Renato Sanches usai mengalahkan Polandia di perempat final/uefa.com
Ekspresi Renato Sanches usai mengalahkan Polandia di perempat final/uefa.com
Toh, Sanches bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Di situ ketahuan betapa ketangguhan mentalnya. Dia tidak terintimidasi oleh keriuhan suporter dan juga provokasi gesture kiper berpengalaman Polandia, Lukasz Fabianski. Dia bisa menguasai dirinya sendiri. Dia percaya pada kemampuannya. “Pelatih percaya kepada saya dan saya pun cukup percaya diri untuk melakukannya,” sambungnya.

Situs resmi UEFA menulis, meski di luar lapangan, Sanches dikenal memiliki kepribadian yang kalem dan tenang. Tetapi, segalanya berubah ketika dia turun ke lapangan. Dia berubah menjadi monster yang tidak bisa dilemahkan oleh lawannya. Bahkan, ketika sesi latihan. “Ketika dia membawa bola, Anda tidak akan tahu seberapa muda dia. Secara fisik dan mental, dia sangat siap untuk menjadi pemain besar,” ujar Antonio Sousa, mantan pemain Timnas Portugal.

Ketika orang menyebut Sanches seperti Edgar Davids--mantan pemain Timnas Belanda yang berambut sepertinya--dia justru menganggap dirinya mirip dengan Clarence Seedorf--rekan Davids--ketika wawancara Benfica TV. “Cara memainkan bola dan mengumpan, juga intensitasnya di lapangan, memang mirip Clarence,” ujar Pierre van Hoidjonk, mantan pemain Timnas Belanda.

Ya, Renato Sanches dengan kenyataan handicap minim pengalaman dan baru pertama main di turnamen besar, nyatanya tidak membuatnya demam panggung. Dia justru tahu caranya memeluk peluang.

Caranya dengan mengatasi kelemahan yang bisa muncul pada dirinya sendiri. Kelemahan berupa ketidakpedean, grogi, minder khas anak baru. Lihatlah betapa dia begitu percaya diri dan tidak minder ketika bermain sehingga tidak silau oleh lawan-lawan yang memiliki nama besar. Lihatlah dia begitu tenang ketika bermain seolah-olah Piala Eropa sekadar memainkan bola di taman dekat rumahnya. Satu lagi, sebagai anak muda, dia juga tidak pongah. Dia sosok yang mau untuk terus belajar. Ah, rasanya ke depan, dia akan jadi seperti Cristiano Ronaldo yang peran nya tidak tergantikan di Tim Portugal.

“Dia anak yang baik dan selalu ingin belajar. Dia akan menjadi masa depan dari tim nasional, pasti,” ujar bek Portugal, Jose Fonte.

Dengan itulah, Renato Sanches memeluk peluang besar yang menghampirinya. Dengan cara itulah, dia menginspirasi kita agar peluang tidak datang percuma hanya karena kita gagal berdamai dengan diri kita sendiri. Hanya karena kita terlalu dikuasai kecemasan atau kepongahan dan ogah belajar. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun