Orang Inggris itu suka menyanyi. Saking sukanya, selalu di tiap stadion jelang laga Liga Inggris dimulai, suporter di sana menyanyikan lagu klub masing-masing. Pun, ketika mendukung tim Inggris main, orang Inggris juga menyanyi. Lagunya tentu saja “God Save The Queen”, lagu kebangsaan Inggris. Dan, ada lagu yang secara makna, sangat ingin dinyanyikan fans Inggris. Lagu berjudul “Sing When You’re Winning” yang dinyanyikan biduan terkenal Inggris, Robbie Williams.
Tapi, jarang sekali lagu “Sing When You’re Winning” itu dinyanyikan fans Inggris karena benar-benar terjadi sesuai maknanya (Inggris juara). Sekali, orang Inggris bersuka ria bernyanyi ketika mereka memenangi Piala Dunia 1966 di rumah sendiri. Tapi, sejak itu, Inggris selalu jadi “cheer leaders” alias tim penggembira di turnamen besar.
Malah di Piala Eropa, turnamen demi turnamen, yang ada hanyalah sakit hati. Aneka macam kegetiran dan kesedihan, pernah dirasakan Inggris. Pernah mereka dibuat patah hati Jerman di rumah sendiri pada Piala Eropa 1996. Pernah pulang pulang cepat di Piala Eropa 2000, dan terakhir, dipermalukan penalti melengkung Andrea Pirlo ketika bersua Italia di perempat final Piala Eropa 2012 lalu.
Dan yang terbaru, malahan lebih menyakitkan dari yang pernah ada. Inggris disingkirkan negeri liliput yang baru sekali tampil di Piala Eropa, Islandia. Inggris takluk 1-2 dari negeri berpopulasi tak lebih dari 400 ribu penduduk itu pada babak 16 besar EURO 2016, Selasa (28/6) dini hari waktu Indonesia. Inggris pun pulang cepat. Tim Tiga Singa yang sempat disebut-sebut bakal bisa juara di EURO kali ini, nyatanya tetap saja melempem di turnamen internasional.
Mengutip pengandaian sastrawan Sindhunata yang meyebut Inggris sebagai ibu dari sepak bola--ketika bola dimainkan di London pada 1863 oleh beberapa pemuda--ternyata jadi ibu yang kesepian. Sebab, bertahun-tahun, bola itu pergi ke mana-mana. Ia dikasihi oleh siapa saja. Ia seakan tidak mau lagi kembali ke pangkuan ibunya. Si anak bernama bola yang bentuknya sederhana itu, ternyata jadi pengantar kesedihan bagi sang ibu nya.
Sebelumnya, ada banyak puji-pujian yang diterima Inggris dalam ikhtiar menuju Piala Eropa 2016. Mulai dari tim pertama yang lolos, hasil 100 persen menang di kualifikasi, hingga tim dengan raihan poin terbanyak. Puji-pujian berlanjut ketika Inggris menaklukkan Jerman, sang juara dunia, 2-3 dalam laga uji coba pada 26 Maret lalu. Pelatih Roy Hodgson, dipuji telah menemukan ‘tim pilihan’. Dan, Inggris pun dijagoan akan bisa memenangi Piala Eropa untuk kali pertama.
Hodgson disebut mendapatkan berkah karena Inggris kini dipenuhi banyak pemain muda yang matang di level klub. Inggris termasuk salah satu tim dengan rataan usia pemain paling muda. Di posisi bek ada nama John Stones (21 tahun), Nathaniel Clyne (25 tahun), Danny Rose (25 tahun) dan Kyle Walker (25 tahun). Di tengah ada Ross Barkley (22 tahun), Dele Alli (20 tahun), Eric Dier (22 tahun). Dan di depan, Harry Kane juga baru berusia 22 tahun.
Tetapi yang terjadi di Prancis, Inggris langsung gagal mendapatkan kesan manis di pertandingan pertama fase grup. Ditahan 1-1 oleh Rusia. Meski, Inggris di laga itu sejatinya tampil agresif. Lalu, menang 2-1 atas Wales via gol menit akhir. Dan ditahan Slovakia 0-0.
Di babak 16 besar, Inggris bersua Islandia. Tentu saja, Inggris dijagokan lolos untuk bertemu Prancis di perempat final. Yang terjadi, meski unggul cepat via penalti Wayne Rooney di menit keempat, tetapi disamakan Ragnar Sigurdsson dua menit kemudian. Dan, justru berbalik tertinggal 1-2 via gol Kolbeinn Sigborsson. Apa daya, skor itu tak berubah. Meski Inggris terus menekan. Meski Inggris memainkan semua strikernya: Harry Kane, Daniel Sturridge juga Jamie Vardy dan Marcus Rashford. Dan, seusai laga yang memalukan bagi sang ibu sepak bola itu, pelatih kepala Tim Inggris, Roy Hodgson langsung menyatakan mundur. Begitu juga asistennya, Gary Neville.
Kenapa Inggris Pulang Cepat?
Mengamati penampilan Inggris di Piala Eropa 2016 bak dongeng ada anak singa yang tidak tahu dirinya singa karena lama diasuh oleh domba. Ya, Inggris yang sejatinya punya skuad hebat, bertenaga dan penuh potensi, nyatanya bermain bak tim ‘pendatang baru’.
Formasi yang Tak Menakutkan
Selama turnamen, Roy Hodgson memainkan skema 4-3-3 dengan memainkan trio Rooney, Dele Alli dan Eric Dier di tengah. Dan di depan, ada Harry Kane sebagai penyerang tengah yang diapit Raheem Sterling dan Adam Lallana. Formasi ini terbukti tidak membuat Inggris ganas. Bikin tiga gol dalam tiga laga tentunya sangat minimalis bagi tim dengan nama besar seperti Inggris. Anehnya, Hodgson tetap menganggap formasi ini yang paling pas untuk Inggris.
Selain formasi yang tak bergigi itu, Hodgson juga disorot perihal pemilihan Kane sebagai eksekutor bola-bola mati dan sepak pojok. Ketika melawan Islandia, utamanya di babak kedua, Inggris beberapa kali mendapat free kick. Yang terjadi, astaga bola sepakan Kane malah terbang melesat ke tribun penonton, bukan ke gawang Islandia.
Tak Punya Pemain Spesial
Pasca laga terakhir fase grup melawan Slovakia, koran laris di Inggris, Daily Mail memuat tulisan tentang ketiadaan pemain spesial di Inggris. Maksud dari pemain spesial ini adalah pemain yang punya kemampuan “mengubah pertandingan sendirian”. Daily Mail mewakili ke-jealous-an warga Inggris yang iri melihat Prancis punya Dimitri Payet, Jerman punya Mesut Oezil dan Spanyol punya Andres Iniesta.
Apa yang ditulis Daily Mail itu memang sangat terasa ketika Inggris dalam posisi tertinggal 1-2 dari Islandia. Bandingkan dengan ketika Prancis tertinggal 0-1 dari Republik Irlandia pada pertandingan sebelumnya. Payet mampu menjadi pemimpin Prancis dengan akurasi umpan, keberanian melewati bek-bek irlandia, juga tendangan dari luar kotak penalti. Sehingga, gol pun tinggal menunggu waktu. Dan itulah yang terjadi.
Inggris? Ketika tertinggal, Hodgson ‘hanya’ memainkan Jack Wilshere yang memang jadi kesayangannya. Sayangnya, pasca cedera, pemain Arsenal yang masuk di last minute pas pengumuman skuad ini tidak mampu tampil apik seperti di babak kualifikasi. Delle Ali yang disebut-sebut sebagai titisan Paul Gascoigne, nyatanya masih butuh banyak jam terbang untuk bisa setenang senior nya itu.
Maka, Inggris pun pulang. Dan, selalu saja yang disalahkan adalah kompetisi mereka, Premier League yang teramat ketat. Plus Piala Liga dan Piala FA. Ketiganya dianggap telah menguras habis tenaga pemain-pemain Inggris. Apalagi, kompetisi Inggris juga tidak mengenal libur pergantian tahun seperti halnya kompetisi negara lain karena adanya tradisi laga Boxing Day.
Bila itu alasannya, toh pemain seperti Dimitri Payet, Olivier Giroud, Mesut Oezil, Eden Hazard, Kevin de Bruyne hingga Gilfy Sigurdsson (Islandia) yang main di Liga Inggris, masih punya tenaga untuk bisa main bagus bersama negaranuya di EURO 2016.
Ah, bila terus beralasan begitu, rasanya susah mengandaikan sang ibu sepak bola akan bisa memeluk ‘anak’ nya yang kembali pulang ke rumah. Bila terus seperti itu, rasanya susah membayangkan fans Inggris akan bisa bernyanyi lagu sing when you’re winning itu (baca: bernyanyi bila Timnas Inggris juara). Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H