Formasi yang Tak Menakutkan
Selama turnamen, Roy Hodgson memainkan skema 4-3-3 dengan memainkan trio Rooney, Dele Alli dan Eric Dier di tengah. Dan di depan, ada Harry Kane sebagai penyerang tengah yang diapit Raheem Sterling dan Adam Lallana. Formasi ini terbukti tidak membuat Inggris ganas. Bikin tiga gol dalam tiga laga tentunya sangat minimalis bagi tim dengan nama besar seperti Inggris. Anehnya, Hodgson tetap menganggap formasi ini yang paling pas untuk Inggris.
Selain formasi yang tak bergigi itu, Hodgson juga disorot perihal pemilihan Kane sebagai eksekutor bola-bola mati dan sepak pojok. Ketika melawan Islandia, utamanya di babak kedua, Inggris beberapa kali mendapat free kick. Yang terjadi, astaga bola sepakan Kane malah terbang melesat ke tribun penonton, bukan ke gawang Islandia.
Tak Punya Pemain Spesial
Pasca laga terakhir fase grup melawan Slovakia, koran laris di Inggris, Daily Mail memuat tulisan tentang ketiadaan pemain spesial di Inggris. Maksud dari pemain spesial ini adalah pemain yang punya kemampuan “mengubah pertandingan sendirian”. Daily Mail mewakili ke-jealous-an warga Inggris yang iri melihat Prancis punya Dimitri Payet, Jerman punya Mesut Oezil dan Spanyol punya Andres Iniesta.
Apa yang ditulis Daily Mail itu memang sangat terasa ketika Inggris dalam posisi tertinggal 1-2 dari Islandia. Bandingkan dengan ketika Prancis tertinggal 0-1 dari Republik Irlandia pada pertandingan sebelumnya. Payet mampu menjadi pemimpin Prancis dengan akurasi umpan, keberanian melewati bek-bek irlandia, juga tendangan dari luar kotak penalti. Sehingga, gol pun tinggal menunggu waktu. Dan itulah yang terjadi.
Inggris? Ketika tertinggal, Hodgson ‘hanya’ memainkan Jack Wilshere yang memang jadi kesayangannya. Sayangnya, pasca cedera, pemain Arsenal yang masuk di last minute pas pengumuman skuad ini tidak mampu tampil apik seperti di babak kualifikasi. Delle Ali yang disebut-sebut sebagai titisan Paul Gascoigne, nyatanya masih butuh banyak jam terbang untuk bisa setenang senior nya itu.
Maka, Inggris pun pulang. Dan, selalu saja yang disalahkan adalah kompetisi mereka, Premier League yang teramat ketat. Plus Piala Liga dan Piala FA. Ketiganya dianggap telah menguras habis tenaga pemain-pemain Inggris. Apalagi, kompetisi Inggris juga tidak mengenal libur pergantian tahun seperti halnya kompetisi negara lain karena adanya tradisi laga Boxing Day.
Bila itu alasannya, toh pemain seperti Dimitri Payet, Olivier Giroud, Mesut Oezil, Eden Hazard, Kevin de Bruyne hingga Gilfy Sigurdsson (Islandia) yang main di Liga Inggris, masih punya tenaga untuk bisa main bagus bersama negaranuya di EURO 2016.
Ah, bila terus beralasan begitu, rasanya susah mengandaikan sang ibu sepak bola akan bisa memeluk ‘anak’ nya yang kembali pulang ke rumah. Bila terus seperti itu, rasanya susah membayangkan fans Inggris akan bisa bernyanyi lagu sing when you’re winning itu (baca: bernyanyi bila Timnas Inggris juara). Salam.