Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Costa Rica Bukan Lagi “Cinderella”, Beda Pelatih Beda “Mantra”

8 Juni 2016   12:18 Diperbarui: 8 Juni 2016   20:23 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mantra Tak Sakti---Oscar Ramirez gagal mengeluarkan mantra sakti nya untuk Kosta Rika di Copa America 2016/www.ca2016.com

Menyebut Cinderella, ingatan kita akan langsung sampai pada cerita "pesta sekejap" gadis biasa yang berubah jadi puteri cantik karena bantuan mantra seorang peri. Namun, mantra tersebut hanya berlaku hingga jam 12 malam. Dan, setelah lonceng tengah malam berbunyi, sang Cinderella pun berubah kembali jadi gadis biasa.  

Kisah dongeng ala Cinderella itu pernah dirasakan Timnas Kosta Rika. Kita ingat, dua tahun lalu, Kosta Rika bikin kejutan besar di Piala Dunia 2014. Berada di grup neraka bersama Uruguay, Inggris dan Italia, ternyata Kosta Rika bisa lolos ke babak 16 besar dengan memulangkan Inggris dan Italia. 

Bahkan, Kosta Rika sempat dibayangkan bisa tampil di final sebelum dihentikan Belanda via adu penalti di perempat final. Toh, itu jadi prestasi besar. Bagi rakyat Kosta Rika, mereka punya alasan untuk berpesta.

Namun, pesta itu ternyata singkat. Tidak ada lagi lanjutan pesta bagi Kosta Rika di Copa America 2016. Kekalahan dari Amerika Serikat (AS) 0-4 pada laga kedua Grup A Copa America 2016, Rabu (8/6) pagi, bak lonceng jam 12 malam yang menandai berakhirnya kisah Cinderella ala Kosta Rika. 

Dari tayangan langsung Kompas TV pagi tadi, kita bisa melihat betapa frustrasi nya pemain-pemain Kosta Rika ketika gol demi gol pemain AS menggetarkan gawang mereka.  

Empat---Clint Dempsey (8), pencetak gol pertama AS dari empat gol ke gawang Kosta Rika/The Guardian
Empat---Clint Dempsey (8), pencetak gol pertama AS dari empat gol ke gawang Kosta Rika/The Guardian
Kekalahan itu membuat Kosta Rika ada di posisi buncit Grup A dengan hanya meraih satu (1) poin dari hasil imbang 0-0 melawan Paraguay di laga pertama. Hanya akan ada dua tim yang lolos ke babak perempat final (delapan besar). Selengkapnya klasemen Grup A (sesuai peringkat dari atas), 

Kolombia dengan enam poin (sudah lolos), AS (tiga poin), Paraguay (satu poin) dan Kosta Rika (satu poin). Maka, di atas kertas, Kosta Rika hampir pasti out. Kosta Rika kini butuh keajaiban besar di laga terakhir untuk bisa lolos.

Masalahnya, di laga pamungkas, tim berjuluk Los Ticos ini harus menghadapi tim terkuat di Grup A, Kolombia. Masalahnya lagi, kemenangan belum bisa otomatis membawa Kosta Rika lolos. Sebab, kemasukan empat gol dari AS plus belum mencetak gol (selisih gol 0-4), melemahkan daya tawar mereka untuk lolos. 

Ini karena Copa America 2016 menomorsatukan aturan produktivitas gol daripada head to head bila ada dua tim yang punya poin sama. Andai Kosta Rika membuat kejutan dengan mengalahkan Kolombia, mereka masih harus menunggu hasil laga lain antara Amerika Serikat dan Paraguay.  

Lalu, mengapa Kosta Rika yang tampil perkasa di Piala Dunia 2014 lalu, kini tampil melempem bak kerupuk kena air di Copa America 2016?

Padahal, kecuali kiper Keylor Navas yang tidak ikut serta, Kosta Rika masih dihuni beberapa pemain terbaiknya. Masih ada nama pemain senior yang juga kapten tim, Bryan Ruiz. Masih ada pemain sayap mungil yang bermain di klub Arsenal, Joel Campbell. Juga bek tengah, Oscar Duarte yang bermain di klub “saudara sekota FC Barcelona”, Espanyol.

Jawabannya ada pada sosok pelatihnya. Prestasi Kosta Rika di Piala Dunia 2014 lalu,  tidak lepas dari pria bernama Jorge Luis Pinto. Pria berkebangsaan Kolombia inilah yang telah meniupkan “mantra ajaib” di tim Kosta Rika di Piala Dunia 2014. Ya, Jorge Luis Pinto bak “sang peri” di kisah Cinderella yang memberikan mantra sehingga Kosta Rika yang biasa-biasa saja, menjelma menjadi tim luar biasa. Namun, setelah gelaran Piala Dunia itu, dia mundur dari tim Kosta Rika dengan alasan tidak tercapainya kesepakatan perihal kontrak barunya.

Di Copa America 2016, Kosta Rika dilatih Oscar Antonio Ramirez Hernandez yang merupakan “putra daerah” dari kampung Belen di Heredia. Sebuah provinsi di Kosta Rika. Pria 51 tahun ini ditunjuk menggantikan legenda sepak bola Kosta Rika, Paulo Wanchope pada 2015 lalu.

Oscar Ramirez bukanlah nama asing. Dia ikut jadi bagian tim Kosta Rika ketika mencicipi penampilan perdana di Piala Dunia pada 1990. Dia juga main di Copa America 1997. 

Jejak rekamnya sebagai pelatih juga cukup mengkilap. Dia pernah membawa klubnya, Saprissa, juara CONCACAF CUP (sekelas Liga Champions Eropa). Dia juga pernah sukses melatih klub elit Kosta Rika, Alajuelense dan terpilih jadi Manager of The Year di tahun 2012. Dia juga pernah jadi asisten Timnas Kosta Rika pada 2006-2008.

Hanya saja, semua jejak rekam hebatnya itu seolah tak berpengaruh besar ketika dirinya menjadi pelatih kepala tim nasional negaranya. Sebab, Kosta Rika tampil amburadul di Copa America 2016 yang merupakan turnamen perdananya sebagai pelatih. Oscar Hernandez nyatanya tidak mampu meniupkan mantra sakti ke tim Kosta Rika seperti yang dulu dilakukan Jorge Luis Pinto.

Dulu di Piala Dunia 2014, Pinto memakai “skema dan strategi usang” 5-3-2 dengan menempatkan satu pemain sebagai penyapu (sweeper) di depan kiper juga satu pemain sebagai “penyerang bayangan”. 

Meski usang, strategi itu terbukti mampu mengalahkan Uruguay 3-1, Italia 1-0 dan menahan imbang 0-0 Inggris dan Belanda. Pinto juga pelatih yang ‘berisik’ di pinggir lapangan dengan terus memotivasi anak asuhnya.    

Kini, Oscar Ramirez mengusung skema 5-4-1 yang di lapangan berubah menjadi 5-2-2-1 dengan tiga bek tengah berdiri sejajar di garis pertahanan. Tidak ada lagi pemain khusus yang ditugaskan sebagai penyapu. 

Di tengah, dia menempatkan dua pemain sebagai “tukang angkut air” dan dua pemain sebagai gelandang serang (Campbell dan Ruiz) untuk mendukung penyerang tunggal, Marco Urena. Yang terjadi, skema main tersebut nyatanya gagal membuat Kosta Rika untuk sekadar mencetak gol.

Tak berdaya--Kiper Kosta Rika, Patrick Pemberton, tak berdaya menghadapi serangan pemain-pemain AS/The Guardian
Tak berdaya--Kiper Kosta Rika, Patrick Pemberton, tak berdaya menghadapi serangan pemain-pemain AS/The Guardian
Memang, kiprah Kosta Rika di Copa America 2016 belum tamat. Tetapi, merujuk pada penampilan mereka ketika melawan Paraguay dan Kosta Rika, rasanya sulit membayangkan Kosta Rika bisa menang atas Kolombia di laga terakhir, 12 Juni nanti. Apalagi dengan skor besar. Bila begitu, kita bisa berucap bahwa Kosta Rika memang tidak lagi dinaungi mantra ajaib seperti dua tahun lalu. Kosta Rika kini hanyalah tim biasa. Salam Copa America 2016. (*)  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun