Saya mengamini pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan bahwa pendidikan harus dipandang sebagai ikthiar kolektif seluruh bangsa. Bahwa, pendidikan tidak bisa dipandang sebagai sebuah program semata. Melainkan sebuah gerakan semesta yang melibatkan seluruh elemen bangsa. Begitulah seharusnya, kisah pendidikan di negeri ini.
Namun, maraknya kasus asusila yang melibatkan anak-anak usia sekolah. Munculnya kabar di media massa perihal anak-anak yang terlibat kasus trafficking dengan ‘menjual’ temannya sendiri.
Atau, anak-anak sekolah yang bolos sekolah. Lantas, nongkrong di warung kopi, mal dan pacaran di taman-taman kota, menjadi refleksi bagi kita semua. Muncul pertanyaan: sudahkah pendidikan diperlakukan sebagai gerakan semesta dalam makna yang sebenar-benarnya?
Rasanya, ada banyak orang yang tahu bahwa definisi pendidikan yang benar harus melibatkan seluruh elemen bangsa. Namun, sedikit saja yang mau menerjemahkan definisi tersebut dalam tindakan nyata.
Rasanya, ada banyak orang yang paham bahwa mengedukasi bukan hanya tugasnya guru. Namun, sedikit saja orang tua dan masyarakat yang mau tergerak untuk ikut mencerdaskan anak bangsa.
Menyikapi hal itu, penting untuk mendapati orang-orang yang punya kesadaran (awareness) dan semangat besar agar makna pendidikan sebagai gerakan semesta, tidak sekadar jadi slogan. Orang-orang itu bak kunang-kunang yang dengan cahaya kerlap-kerlipnya di tubuhnya, mampu menerangi kegelapan.
Adalah Bagus Ardianto (46 tahun), satu dari sedikit orang yang telah menjadikan pendidikan sebagai gerakan semesta, lewat tindakan nyata. Dia bukan tenaga pengajar. Dia juga bukan orang yang punya pengaruh besar.
Dia sekadar Ketua Rukun Warga (RW). Namun, dengan kapasitasnya sebagai ketua RW tersebut, Bagus telah mampu membuat perubahan signifikan di bidang pendidikan. Utamanya di lingkup wilayah yang dipimpinnya, RW VIII Kelurahan Babat Jerawat, Kecamatan Pakal, Surabaya.
Saya bertemu dengan Pak Bagus--begitu saya menyapanya--pada peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei lalu. Pria murah senyum ini lalu menceritakan pengalamannya dalam mengenalkan program bernama “jam pendidikan” di lingkungan RW nya sekira 10 tahun lalu.
Dia mengisahkan, sejak kecil, dirinya terbiasa belajar pada waktu setelah Sholat Maghrib. Karenanya, ketika punya anak, dirinya beranggapan bahwa setelah Maghrib adalah waktunya belajar bagi anak-anak sekolah.
Tidak seharusnya anak-anak berkeliaran di luar rumah. Namun, kala itu, dia mendapati ada banyak anak-anak yang justru nongkrong di luar rumah. Dari situ, ide nya muncul. Jadilah program jam pendidikan.