Ada ratusan ribu nama yang terdaftar di Kompasiana. Dan, rasanya semuanya bisa menulis. Menulis apa saja. Dari tulisan yang paling ringan (sekadar menulis tanpa membutuhkan data-data atau latar belakang masalah), hingga “tulisan berat” yang untuk membacanya butuh segelar air putih untuk jeda. Tetapi, tidak semua orang di Kompasiana ini mampu menulis seperti pak Tjiptadinata Effendy.
Saya sama sekali belum pernah bertemu dengan pak Tjiptadinata Effendy. Apalagi bercakap-cakap dengan beliau. Tetapi, dari membaca tulisan-tulisannya, dari membaca komentar-komentarnya di ‘lapak orang lain’, saya menganggap pak Tjiptadinata sangat pantas menjadi teladan bagi semua yang ada di Kompasiana.
Apa yang istimewa dari pak Tjiptadinata sehingga beliau layak jadi teladan bagi penulis-penulis di Kompasiana? Ada beberapa hal yang saya kagumi dari beliau yang akan saya ungkap lewat tulisan ini.
Istiqomah Menulis
Rasanya banyak orang di Kompasiana yang berkeinginan menulis istiqomah (kontinyu). Tidak sulit untuk berkeinginan bisa menulis di Kompasiana minimal satu tulisan dalam sehari. Itu terkesan sangat mudah. Toh, satu tulisan saja. Namun, ternyata sungguh tidak mudah melakukannya. Seringkali, atas nama kesibukan kerja, mem-posting satu tulisan rasanya susah luar biasa. Kesibukan itupula yang seringkali merampas mood bagus dan selera menulis.
Dalam hal keistiqomah an menulis, saya salut dengan pak Tjip (untuk selanjutnya saya panggil Pak Tjiptadinata dengan panggilan ini). Beliau sangat produktif. Dalam sehari, saya seringkali melihat ada tulisan pak Tjip yang berpose manis di etalase headline, nilai tertinggi atau terpopuler. Malah, dalam sehari, pak Tjip bisa menaikkan dua hingga tiga tulisan di Kompasiana. Saya termasuk yang paling bersemangat membaca tulisan-tulisan nya pak Tjip.
Melihat ke-istqomah-an Pak Tjip dalam menulis, membuat saya kadang merasa malu. Malu karena meski saya bergabung di Kompasiana lebih dulu dibanding beliau nya, tetapi jumlah tulisan saya kalah jauh. Saya gabung di Kompasiana pada 28 Desember 2010 setelah tertarik dengan testimoni seorang kawan.
Sementara pak Tjip, bergabung di Kompasiana pada 15 Oktober 2012. Sejak saat itu, hingga Sabtu (21/5/2016) pagi ini ketika beliau tepat berusia 73 tahun, Pak Tjip sudah menghasilkan 1950 tulisan! Wow. Sungguh luar biasa. Saya? Tulisan saya bahkan tidak sampai ‘setengah’ nya tulisan Pak Tjip. Lha wong saya dulu termasuk jenis Kompasianer yang on off (sekarang pun kadang masih begitu). Kadang aktif kadang ngilang. Pernah dalam empat bulan hanya menghasilkan satu tulisan. Bahkan pernah benar-benar off tidak menulis selama 1,5 tahun.
Padahal, saya yakin pak Tjip juga punya kesibukan luar biasa. Tetapi, karena kecintaan nya yang luar biasa besar pada menulis, beliau selalu “bernegosiasi dengan waktu” untuk mau diajak menulis. Lha wong naik naik angkutan umum di Australia saja bisa jadi tulisan yang luar biasa detail. Rasanya hanya orang-orang yang punya semangat dan niat tulus yang mampu melakukannya.
Semangat besar Pak Tjip dalam menulis di usianya yang sudah 73 tahun inilah yang bisa kita napaktilasi. Dari pak Tjip, saya bisa belajar, menulis itu bukan urusan bisa atau tidak bisa. Tetapi, mau atau tidak mau. Selama ada kemauan menulis, tulisannya pasti jadi.
Pak Tjiptadinata Tidak Sekadar Menulis
Yang paling hebat dari Pak Tjip, selain ke-istiqomah-an nya, beliau dalam menulis juga tidak sekadar menulis. Tulisan pak Tjip itu tidak sekadar tulisan. Tetapi merupakan ketulusan karya yang muncul dari hati. Beliau tidak berprinsip “yang penting nulis dan banyak dibaca” atau “yang penting lunas target posting satu hari satu berita”. Ini yang paling saya kagumi dari Pak Tjip.
Kok saya bisa bilang begitu sementara saya belum pernah bertemu Pak Tjip? Kok saya merasa tahu karakter pak Tjip sementara saya belum mengenal beliau nya?
Saya termasuk orang yang memegang teguh filosofi “you are what you write”. Ya, Anda adalah apa yang Anda tulis. Citra diri Anda bisa diketahui dari tulisan-tulisan Anda. Orang bisa menilai siapa Anda dan karakter Anda, dari komentar-komentar Anda di lapak orang lain, atau dari cara Anda menjawab komentar orang yang merespon tulisan Anda.
Dari situlah saya bisa menilai pak Tjip. Dari membaca tulisan-tulisan beliau, mudah untuk bilang bahwa Pak Tjip itu orangnya humble dan bisa lepas dari jebakan narsisme tulisan ataupun riya tulisan (tujuannya ingin dipuji dan sekadar mencari popularitas).
Tulisan-tulisan pak Tjip itu berenergi. Bahasa yang dipakai untuk menyampaikan tulisan juga sedap dan tidak kaku. Dalam tulisan-tulisan pak Tjip terselip pesan-pesan yang menginformasi tanpa memunculkan kesan merasa paling tahu. Itu yang saya tangkap dari tulisan beliau berjudul “Memotret Cara Australia Didik Warganya Peduli Keadaan” yang saya baca pada 17 Mei lalu.
Dalam tulisan-tulisan pak Tjip tersurat pesan yang memotivasi dengan dikemas melalui bahasa metafora yang mudah dimengerti. Itu yang saya lihat dari tulisan beliau berjudul “Universitas Terbuka, Di mana Tidak Ada Ujian Ulangan” ( .) yang saya baca Jumat (20/5) kemarin. Ada kalimat menarik dalam tulisan tersebut. Begini tulisannya “Kelebihan di Universitas ini, setiap orang boleh mencontoh dan sah, tidak melanggar ketentuan. Jadi jika ada yang sudah lulus ujian, maka hasil ujiannya, baik dalam bentuk tulisan, maupun prasasti, boleh ditiru oleh siapapun, agar bisa berhasil lulus, seperti yang dicontohkan oleh pendahulunya. Setiap Perserta Harus Lulus, Tidak ada Ujian Ulangan. Hanya saja di University of Life ini, tidak ada ujian ulangan. Karena hidup cuma sekali saja,,maka .sekali tidak lulus,berarti selamanya tidak lulus dan tak akan pernah lagi mendapatkan kesempatan untuk kedua kalinya".
Dan, dalam tulisan-tulisan pak Tjip, juga tersirat pesan menginspirasi tanpa harus menyebut kata inspirasi. Pesan itu yang saya baca dalam tulisan beliau berjudul “Sukses? Tetaplah Hidup Membumi” yang diposting pada tanggal 18 Mei lalu. http://www.kompasiana.com/tjiptadinataeffendi21may43/sukses-tetaplah-hidup-membumi_573bcaa9f07e6138059cb440. Ada satu pesan pak Tjip yang begitu mengena di hati. Bunyinya “Bila tidak mungkin menyenangkan hati semua orang, minimal jangan ada kebencian dalam diri kita. Kita juga tidak mungkin menyukai semua orang, tapi tidak harus tebar kebencian".
Karenanya, saya tidak heran bila tulisan-tulisan pak Tjip, rating nya selalu tinggi. Dan, rating tinggi itu karena memang tulisan-tulisan Pak Tjip keren. Rating tinggi itu bukan sekadar karena nama nya pak Tjip yang populer sehingga banyak orang yang membaca tulisannya. Pernah saya membaca sebuah tulisan yang mendapat nilai tertinggi, tetapi ketika saya baca isi nya biasa saja.
Apa yang dilakukan Pak Tjip selama hampir empat tahun di Kompasina, itulah yang saya sebut tidak sekadar menulis. Ya, Pak Tjip tidak sekadar menulis. Beliau tidak sekadar posting tulisan. Saya lebih suka menyebut beliau berbagi pelajaran hidup lewat tulisan.
Karena nya, kita bisa “bercermin” dari tulisan-tulisannya pak Tjip. Dari membaca tulisan-tulisannya pak Tjip, kita serasa diingatkan untuk mereview ulang sikap kita. Dari membaca tulisan-tulisannya pak Tjip, kita serasa termotivasi untuk menjadi manusia yang sebenarnya selama “kuliah di universitas kehidupan” ini. Ya, tulisan-tulisan Pak Tjip memang bak cermin yang membuat kita bisa melihat cerminan diri kita.
Dan hari ini, 21 Mei 2016, Pak Tjiptadinata berulang tahun ke-73 tahun. Karena pak Tjip selama ini telah begitu baik berbagi kebaikan lewat tulisan, saya yakin ada ratusan ribu doa-doa baik yang dipanjatkan di Kompasiana ini untuk beliau dan keluarga.
Saya pribadi mendoakan semoga Pak Tjip senantiasa sehat, bahagia dan terus istiqomah menuliskan kisah pengalaman serta motivasi dan inspirasi. Karena dari tulisan pak Tjip, saya bisa bercermin. Dari Sidoarjo, Jawa Timur, pagi ini, bersama dua bocah yang baru terbangun dari tidur, saya ucapkan Selamat ulang tahun Pak Tjiptadinata Effendy. Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H