Legenda sepak bola, mendiang Johan Cruyff, pernah mengatakan bahwa sepakbola adalah permainan sederhana. Tapi, bermain sepakbola dengan cara sederhana merupakan cara yang sangat sulit untuk dilakukan. Tetapi, Josep Pep Guardiola dan Diego Simeone adalah sedikit pelatih yang bisa memaknai ucapan Cruyff tersebut lantas di ejawantahkan dalam permainan timnya.
Atletico Madrid, siap meladeni Bayern Munchen/uefa.com
Rasanya tidak berlebihan bila menganggap Guardiola sebagai salah satu pelatih terbaik saat ini. Dia punya semua atribut untuk jadi pelatih hebat. Seorang analis strategi lawan yang jempolan. Seorang peramu taktik up to date. Bergaya cool, punya publik speaking bagus, pun bahasa verbal dan ekspresi wajah kharismatik. Semuanya bernilai A. Yang terakhir, tentu saja prestasi nya.
Dan menyebut Guardiola, orang lantas teringat dengan yang namanya Tiki-Taka. Gaya operan pendek cepat dan penguasaan bola yang membuatnya menjadi satu-satunya pelatih yang bisa meraih lima gelar dalam semusim bersama Barcelona di musim 2008/09 silam.
Namun, tidak banyak yang tahu, Guardiola sejatinya membenci Tiki-Taka. Dalam buku `Herr Pep` yang ditulis oleh Marti Perarnau, rekan Guardiola, terungkap bahwa Guardiola sebenarnya membenci tiki-tika.
"Saya membenci tentang semua yang berhubungan dengan tiki-taka. Tiki-taka memiliki arti anda melakukan banyak umpan tanpa tujuan yang jelas,” ujar Guardiola dalam wawancara dengan Daily Mail beberapa waktu lalu.
"Jangan percaya apa yang dikatakan orang! Barcelona tak melakukan tiki-taka! Anda harus melakukan umpan, tapi dengan sebuah tujuan yang jelas. Yang kami lakukan adalah membuat lawan kerepotan, lalu menarik mereka, kemudian menyerang mereka lewat sebuah serangan mematikan. Tak ada hubungannya dengan tiki-taka," ujar Guardiola menegaskan.
“Membuat lawan kerepotan, menarik lawan kemudian menyerang lewat serangan mematikan”. Inilah sebenarnya esensi utama dari strategi sepak bola Guardiola. Strategi itulah yang dipakai Guardiola sebagai ruh dari permainan Bayern Munchen. Dan hebatnya strategi menyerang yang sejatinya sangat sulit bagi beberapa pelatih ini, justru dibuat menjadi sangat sederhana oleh Guardiola.
Bayern dibentuk Guardiola menjadi tim yang ‘serakah’ dalam penguasaan bola sesuai dengan tipikalnya. Berdasarkan Whoscored, dalam satu pertandingan penguasaan bola Bayern rata-rata mencapai 68%. Namun, Bayern tidak sekadar serakah menguasai bola. Bayern juga menjadi tim yang rakus gol.
Sementara Diego Simeone terbukti menghidupkan kembali Atletico Madrid sebagai tim kuat. Tidak hanya di Spanyol, tapi juga di Eropa. Juara Liga Spanyol 2014 dan finalis Liga Champions 2014, jadi bukti prestasi Simeone. Bahkan, sejak hadirnya Simeone, Atletico yang sebelumnya inferior dari tim sekota Real Madrid, kini justru tak pernah kalah.
Simeone tentu tidak mendapatkan kesuksesannya lewat sekadar berdoa. Dia punya rahasia. Dan, rahasia itu dibagikan Simeone dalam buku biografinya, El Efecto Simeone : La Motivacion Como Estrategia (Efek Simeone : Motivasi dan Strategi). Dalam buku tersebut, dia berkisah tentang filosofi permainan yang diberi nama Cholismo. Maknanya, memfokuskan permainan tim dibandingkan kemampuan individu pemain.
Cholismo itulah yang menjadi ruh permainan Atletico. Tentunya tidak mudah memimpin tim yang fokus pada permainan tim. Dengan kata lain, tim yang tidak memiliki pemain bintang. Tetapi, Simeone bisa melakukannya di Atletico dengan sangat natural.
"Saya tidak menginginkan pemain yang ingin menonjolkan dirinya sendiri. Jika pemain tidak memberikan semua yang dia punya dan saya bisa merasakannya, pemain lain akan mengambil tempatnya", ujar Simeone dikutip dari biografinya.
Simeone berkisah, dirinya selalu bertanya kepada para pemain ingin menjalani musim seperti apa. Apakah tim berada pada posisi yang rendah pada akhir klasmen dan tersingkir dari semua kompetisi yang diikuti. Ataumemilih tim menjadi juara. "Pertanyaan ini tidak pernah gagal. Mereka selalu memilih pilihan kedua", kata Simeone.
Cara pandang beda rasa antara Guardiola dan Simeone itulah yang akan bertemu di lapangan ketika Atletico Madrid menjam Bayern Munchen pada semifinal pertama Liga Champions di Vicente Calderon, Kamis (28/4) dini hari nanti.
Dalam sesi wawancara, Simeone menyebut Bayern boleh lebih diunggulkan. Tetapi Atletico akan bermain untuk menang. Simeone mungkin sudah tahu, Bayern kesulitan melawan tim Spanyol. Faktanya, dalam dua edisi semifinal terakhir, Bayern gagal ke final setelah dijegal Real Madrid (2014) dan Barcelona (2015). Menariknya, dua tim yang mengalahkan Bayern, bablas jadi juara.
Simeone juga pasti tahu, gawang Bayern lebih mudah dibobol tanpa kehadiran Jerome Boateng. Nyatanya, sejak fase knock out, gawang Bayern sudah jebol enam kali. Dijebol empat gol Juventus di babak 16 besar dan 2 gol oleh benfica di perempat final.
Namun, Guardiola pastinya juga tahu kelemahan timnya seperti ia juga tahu kelebihan timnya. Dan, Guardiola adalah analis sejati untuk urusan mencari tahu kelemahan lawan.
Di perempat final, Guardiola dengan jitu melihat posisi bek-bek Benfica yang sejajar ketika menghadapi sepak pojok. Maka, dia pun menugaskan Thomas Mueller untuk menyelinap melihat celah kosong. Dan itulah proses gol pertama Bayern.
Satu lagi, sebelum musim depan pindah ke Manchester City, Guardiola sangat ingin menutup karier di Bayern dengan trofi Liga Champions. Dia sadar, raihan trofi Bundesliga belum membuat namanya dikenang di Bayern. Ya, hanya trofi Liga Champions yang membuat namanya “abadi” di tim terbaik Jerman itu. “Saya akan dianggap gagal bila belum berhasil meraih Liga Champiosn untuk Bayern,” ujarnya.
Well, Anda pro siapa, Guardiola atau Simeone? Ah, saya hanya berharap satu hal pada laga ini. Semoga saja pertandingannya tidak berjalan membosankan seperti halnya laga semifinal pertama Manchester City melawan Real Madrid dini hari tadi. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H