Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Siapa Bilang Wartawan Nggak Boleh Kaya?

10 Februari 2016   16:04 Diperbarui: 10 Februari 2016   19:05 810
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari Pers Nasional (HPN) datang lagi. Dan seolah menjadi menu wajib, ketika “pers berulang tahun”, salah satu poin renungan yang muncul ke permukaan adalah tentang kesejahteraan pekerja pers. Setiap HPN, kesejahteraan wartawan kembali jadi gunjingan. Itu lagu lama yang diputar ulang. Lantas terlupakan. Dan, ketika HPN datang lagi, lagu itu pun diputar kembali. Seterusnya berulang seperti itu.

Tentang kesejahteraan pekerja pers, sudah jamak yang tahu bagaimana ceritanya. Dulu, ketika bekerja di media, saya sering dicurhati kawan sesama wartawan perihal gajinya yang minimalis. Malah ada kawan yang tidak digaji oleh media tempat nya bekerja. Dia baru mendapat pesangon bila mampu mendapatkan iklan untuk medianya. Sekian persen dari besaran uang iklan tersebut. Andai sebulan dia tidak bisa mendapatkan iklan. Ya, Anda tahu sendiri jawabannya.

Sekarang, ketika saya sudah tidak lagi mengenakan "seragam" wartawan, cerita itu ternyata langgeng. Tidak berubah. Karenanya, tidak sedikit teman wartawan yang malas ketika harus melakukan peliputan demo buruh yang meminta kenaikan Upah Minimum Kota (UMK) alias Upah Minimum Regional (UMR). Ada seorang kawan yang langsung nyinyir berujar “stop liputan demo buruh. Mereka enak gajinya naik setiap tahun. Kita? Bertahun-tahun tetap saja tidak ada kenaikan. Paling cuma naik 50 ribu”.

Gaji kecil wartawan inilah yang ironisnya kemudian menjadi pembenaran ketika wartawan keluar dari etika profesinya. Istilah umumnya : mbodrek. Mbodrek adalah istilah Suroboyo-an yang disematkan kepada wartawan yang kerjaannya minta duit ke nara sumber, memeras narasumber, dan juga nyari proyek an berita yang ujung-ujungnya duit. Entah siapa dulu yang mengawali penyebutan ini. Tapi yang jelas, istilah itu merujuk pada nama obat sakit kepala. Analoginya, wartawan bodrek itu wartawan yang bikin pusing kepala narasumber karena minta duit.

Gaji kecil wartawan itu pula yang memunculkan stigma nyinyir. Bahwa “menjadi wartawan tidak akan pernah membuat kaya”. Ya memang, kerjaan wartawan kan membuat berita, bukan membuat kaya hehehe. Lebih nyinyir lagi, ada ucapan seperti ini “zaman sekarang jadi wartawan idealis, mau makan apa?”. Benarkah?

Ah, kata siapa. Wartawan pun bisa kaya. Tepatnya, wartawan idealis yang bekerja dengan cara-cara benar, juga bisa menjadi kaya. Kaya dengan cara-cara yang benar. Bukan dengan harus banting stir melakukan usaha yang tidak ada kaitannya dengan profesi wartawan semisal jadi pengusaha. Apalagi dengan cara praktik-praktik kotor yang berprinsip “asal dapat duit banyak”.

Ada banyak cara untuk menjadi kaya bagi wartawan yang bisa dikerjakan dengan tetap menjadi wartawan. Melalui cara yang sehari-hari dilakukan oleh wartawan. Yakni meliput, mewawancarai, menginvestigasi dan menulis.

Lomba Karya Jurnalistik

Tepat di hari perayaan puncak HPN kemarin, saya ikut berbahagia dengan prestasi hebat seorang kawan saya. Kawan saya itu, seorang wartawan muda di salah satu surat kabar nasional, menjadi juara I lomba karya jurnalistik tingkat nasional yang digelar HPN. Sebulan sebelum jadi juara HPN itu, dia juga pernah bercerita terpilih jadi juara karya tulis yang diselenggarakan sebuah instansi. Kawan saya itu, wartawan muda yang idealis, tidak matrealis, ide-idenya cerads, dan tulisannya bernas.

Dan memag, setiap tahun, ada banyak lomba jurnalistik yang diadakan oleh kementerian, BUMN, instansi, termasuk oleh lembaga pers (bahkan Kompasiana pun rutin mengadakan blog competition). Dari tingkat lokal, regonal, hingga nasional. Hadiahnya biasanya duit. Dari yang jumlahnya tidak seberapa hingga yang jumlahnya luar biasa besar. Ada lomba jurnalistik yang bahkan juara I nya mendapatkan Rp 25 juta.

Memang, karena sifatnya kompetisi menulis, tentunya tidak mudah untuk jadi pemenang. Saingannya banyak. Apalagi, untuk menjadi pemenang, penentunya bukan hanya karena skill kualitas menulis, tetapi juga terkadang karena “ketiban rezeki” adanya tema yang menarik untuk ditulis.

Namun, sulit itu akan menjadi mudah karena terbiasa. Bila terbiasa melakukan peliputan langsung di tempat kejadian (tidak dengan meng copy paste berita/tulisan orang lain). Dengan begitu, si wartawan akan punya pemahaman yang benar terhadap hal yang dia tulis. Dengan terbiasa melakukan wawancara dengan narasumber, wartawan akan menemukan sisi lain dari kehidupan narasumber yang bisa jadi hanya dia sendiri yang tahu. Dan yang tidak kalah penting adalah menulis sendiri. Menulis yang benar. Tahu aturan menulis. Tahu mana kata baku dan tidak. Tahu caranya membuat tulisan yang berbobot tapi tidak rumit dibaca. Tahu caranya mengemas tulisan yang mencerahkan dan sarat data tapi renyah dibaca. Sekali lagi, semua itu bisa karena terbiasa.

Karena itulah, wartawan yang tidak terbiasa (lebih tepatnya enggan belajar) menulis dengan benar. Wartawan yang hanya suka berpikir pragmatis dengan berharap mendapat imbalan dari peliputan, tidak akan tertarik (tidak tahu informasi) dengan lomba jurnalistik seperti ini. Artinya, mereka melepas kesempatan besar untuk berproses menjadi kaya.

Kalaupun tertarik untuk ikut menulis, produk tulisan yang dihasilkan tentunya tidak berkualitas. Sebab, sehari-hari dalam menjalani rutinitas kerja, dia telah abai terhadap keharusan untuk menyempurnakan dirinya dengan kualitas yang diperlukan bagi wartawan. Pragmatisme telah membutakan nurani pekerja pers untuk belajar banyak hal dan menulis dengan benar. Padahal, sebuah tulisan itu mencerminkan kualitas penulisnya. Anda adalah apa yang Anda tulis. Yes, you are what you write.

Banyak Kesempatan

Selain lomba karya jurnalistik, ada banyak kesempatan yang bisa diambil wartawan untuk bisa menambah penghasilan. Sekali lagi, melalui jalur yang tanpa perlu merendahkan status kewartawanan. Sebaliknya, justru menambah nilai kompetensi Anda sebagai penyampai kebenaran lewat berita.

Dengan pengalaman bergaul dan berkenalan dengan banyak narasumber dari berbagai lapisan, pengalaman melihat kehidupan kaum marjinal, kesempatan mengetahui sisi lain kehidupan publik figur, juga meliput berbagai tema liputan menarik yang tidak semua orang berkesempatan meliputnya, semuanya itu amat sangat sayang bila sekadar dianggap pengalaman. Semuanya itu bisa dibukukan. Ditulis menjadi buku yang tentu saja bisa dilempar ke pasaran. Anda belum punya nama dalam dunia perbukuan? Ah, bukankah nama besar juga berawal dari hal yang kecil.

Saya teringat ucapan mantan Pemimpin Redaksi ketika saya masih bekerja di media dulu. Beliau bilang begini “pencapaian tertinggi wartawan adalah ketika dia mampu menghasilkan karya, sebuah buku”. Kenapa buku? Ini bukan sekadar soal pergulatan pengetahuan dan segudang informasi yang diwujudkan dalam lembaran kertas. Tetapi juga tentang mau dan bisa. Sebab, semua orang mau punya buku. Tapi, tidak semua bisa mewujudkannya. Bisa karena minimnya materi, juga keterbatasan waktu. Poin kedua itulah yang seringkali jadi penghambat wartawan untuk menulis buku.

Menulis buku. Lalu meresensi buku di media massa. Belum lagi bila Anda mampu merangkai puisi, menulis cerpen. Dan kapasitas pengetahuan Anda, membuat media tertarik untuk mengundang Anda sebagai narasumber sebuah acara. Juga jadi pemateri di instansi yang membutuhkan wawasan jurnalistik semisal kehumasan pemerintahan. Itu semua mampu menjadi ladang penghasilan.

Namun, tulisan ini sejatinya bukan sekadar soal wartawan bisa menjadi kaya atau tidak. Karena saya percaya, itu hanya soal Anda mau atau tidak untuk mengetuk pintu rezeki dengan memaksimalkan skill dan kemampuan Anda. Poin terpentingnya adalah, agar kita punya mental merasa cukup. Bukan bermental miskin.

Karena, menurut saya, yang paling berbahaya dari adanya wartawan nggak bener adalah terciptanya mental miskin yang akut. Mental bahwa tidak perlu bekerja keras untuk mendapatkan banyak uang. Bila begitu, selamanya, dia akan berpikir ingin diberi. Selamanya dia akan beranggapan kekurangan sehingga terus mencari celah agar mendapat tambahan. Kabar buruknya, ketika mendapat tambahan, dia merasa masih kurang, dan begitu seterusnya. Bahkan, ketika dia punya usaha sekalipun, mental miskin itu akan memarjinalkan kemauannya untuk berusaha. Sebab, dia terbiasa mendapatkan sesuatu dengan cara mudah.

Dalam hal ini, saya teringat sebuah kalimat menggugah di buku nya Andy F Noya. Sebuah kutipan hebat. Bunyi nya kira-kira begini "kalau urusan diri sendiri saja belum selesai, bagaimana seorang wartawan bisa menyampaikan kebenaran kepada orang lain".

Selamat Hari Pers Nasional (meski telat sehari). Semoga pekerja pers kita semakin sejahtera. Sejahtera dengan cara yang benar. Sejahtera karena mampu memaksimalkan potensi yang dimiliki. Sejahtera karena kemauan dan kemampuan menghasilkan karya-karya jurnalistik yang mencerahkan dan menggerakkan negeri ini ke arah yang lebih baik. Salam

---

Ilustrasi: nextmedia.com.au

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun