Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dari Bantaran Kali Hingga Kawasan eks Lokalisasi; Melihat Cara Surabaya Menghadirkan Ruang Publik Tanpa Pilih Kasih

30 September 2015   15:54 Diperbarui: 30 September 2015   16:27 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gambaran itulah yang saya lihat ketika berkunjung ke rumah salah seorang teman di Dupak Bangunsari beberapa waktu lalu. Saya melihat jalan kampung yang dulunya berdebu dan berkerikil, kini lebih rapi beralaskan paving.  Lapangan Dupak yang dulunya mangkrak ditumbuhi rumput liar, kini difungsikan untuk kegiatan olahraga. Bahkan, kata teman saya tersebut, warga kerja bakti membenahi bozem (kawasan penampungan air) yang direncanakan menjadi wisata air dan pemancingan. Keberadaan ruang publik nyatanya mampu mengubah pola pikir warga yang awalnya egois, menjadi lebih guyub.

Warga yang dulunya individualis ketika masih ada lokalisasi, sekarang lebih kompak. Itu terlihat saat acara kerja bakti. Karena memang, warga sekarang sering kumpul di ruang rapat RT ataupun di mushola,” cerita dia.

Sementara di kawasan eks lokalisasi Dolly yang dulu ruang lingkup kehidupan warganya seolah-olah hanya soal perut dan uang, juga mulai berubah seiring difungsikannya ruang publik. Warga kini merasakan nikmatnya berinteraksi di ruang RW. Bahkan, lapangan olahraga pun menjelma sebagai ‘terminal’ bertemu nya obrolan santai dan ide-ide warga. Kreativitas warga juga muncul di bekas wisma yang dibeli pemerintah kota dan difungsikan untuk pelatihan usaha. Hasilnya, beberapa produk UKM bisa diproduksi warga. Itu menjadi bukti, betapa ruang publik di kawasan eks lokalisasi berefek dahsyat dalam kehidupan warga.

Mendekatkan Ruang Publik kepada Warga

Upaya pemerintah kota dalam mewujudkan ruang publik tanpa pilih kasih, tidak hanya diwujudkan di kawasan eks lokalisasi. Wilayah pinggiran kota dan bantaran sungai, juga tidak luput dari perhatian. Pemerintah kota berupaya mendekatkan ruang publik ke warga yang tinggal di kawasan pinggiran berupa pembangunan taman kota maupun taman bacaan di kampung-kampung.

Di Surabaya, taman-taman kota tidak hanya dipusatkan di kawasan pusat kota seperti Taman Bungkul dan Taman Mundu. Taman “kembarannya” Taman Bungkul juga dibangun di kawasan perbatasan dan pinggiran kota. Seperti Taman Cahaya yang berbatasan dengan Gresik, Taman Ekspresi dan Taman Prestasi yang dibangun di bantaran Kali Mas, juga Taman Keputih—taman paling luas di Surabaya yang dibangun di lahan bekas Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Semangat dalam mendekatkan ruang publik berupa taman tersebut, dimaksudkan agar warga di kawasan pinggiran tidak perlu datang ke tengah kota guna berekreasi murah meriah bersama keluarga di taman kota yang sekelas Taman Bungkul.

Bahkan, demi memberikan kesempatan kepada semua warganya untuk menikmati ruang publik, pemerintah kota mencabut status tertutup Taman Surya. Taman di depan Balai Kota Surabaya yang dulunya dikelilingi pagar itu kemudian dibuka untuk umum. Sekarang, warga bisa bebas jogging, bermain skate board hingga foto selfie di Taman Surya.

Dalam hal kemauan pemerintah daerah untuk menciptakan ruang publik yang bisa dinikmati semua warganya, Surabaya pantas dijadikan percontohan. Dan bicara Surabaya, tentunya tidak lepas dari figur bernama Tri Rismaharini yang per 28 September lalu melepas jabatannya sebagai Wali Kota Surabaya. Bu Risma—begitu dia dipanggil warga Surabaya,  adalah ‘lakon utama’ dibalik keberhasilan Surabaya menciptakan ruang publik yang multi fungsi dan tanpa pilih kasih. Bahwa ruang publik ada bukan sekadar ada. Tetapi harus memiliki fungsi. Dan terpenting, ruang publik ada untuk bisa dinikmati semua warga Surabaya.

Sejak lama, Bu Risma dikenal sebagai pejabat yang suka membangun taman. Jauh sebelum jadi wali kota, ketika masih menjabat kepala dinas kebersihan dan pertamanan Surabaya, dia pernah dijuluki Bu Giman alias “gila taman”. Itu karena kesenangannya—untuk tidak menyebut kegilaannya--dalam membangun taman-taman  kota. Informasi yang saya baca di media, untuk desain taman, tak jarang Bu Risma sendiri yang mendesain nya secara dia memang seorang arsitek lulusan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.

Lihat saja taman-taman dan hutan kota di Surabaya yang dibangun dengan desain apik dan fungsi  maksimal. Tak hanya menjadi paru-paru kota, tetapi juga menjadi wahana rekreasi keluarga yang murah meriah dan pusat interaksi warga kota. Di Taman Bungkul, warga Surabaya bisa duduk sembari  ngbrol santai, anak-anak muda bisa ber-skate board di arena skate board, lalu ber-gadget ria dan membuka laptop nya karena taman kotanya dilengkapi fasilitas free Wi-Fi. Warga juga bisa menikmati sajian kuliner di sentra kuliner.

[caption caption="Anak-anak memanfaatkan fasilitas free Wi-Fi di Taman Bungkul, Surabaya/hadi santoso"]

[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun