Mohon tunggu...
Hadeyede
Hadeyede Mohon Tunggu... Freelancer - Nurul Hidayah

Dalam sebuah perjalanan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Rasisme Aksen Bahasa dalam Satu Ikatan Bangsa

8 Juli 2021   11:22 Diperbarui: 10 Juli 2021   12:13 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : kompas.com

Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki wilayah sangat luas, terbentang dari Sabang sampai Merauke. Wajar kiranya jika Indonesia memiliki berbagai macam kebhinekaan yang timbul karena masyarakatnya yang majemuk. Salah satu dari keberagaman itu adalah penggunaan bahasa yang berbeda disetiap daerahnya. Bahasa merupakan kemampuan yang dimiliki manusia untuk berkomunikasi dengan manusia lainnya lainnya menggunakan tanda, misalnya kata dan gerakan. Konteks bahasa kerap berkaitan erat dengan identitas yang kita sandang. Oleh karena itu, hal ini juga menjadi penyebab munculnya berbagai macam bahasa yang digunakan oleh masyarakat Indonesia dengan tujuan untuk mengetahui identitas lawan bicara secara tidak langsung.

Menurut Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan atau Badan Bahasa memetakan dan memverifikasi bahwa Indonesia memiliki bahasa daerah yang berbeda sejumlah 652. Jumlah ini diperoleh dari proses verifikasi sejak 1991 -- 2017. Namun, demikian jumlah ini dapat berubah seiring berjalannya waktu. 

Walaupun bahasa daerah di Indonesia terhitung banyak, namun sejak 28 Oktober 1928 telah ditetapkan bahwa Bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa nasional negara Indonesia. 

Ditetapkannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dimaksudkan tidak lain adalah agar semua warga Indonesia dapat tetap berkomunikasi meskipun mereka berasal dari daerah yang berbeda. Bahkan aksen bahasa daerah yang mereka ucapkan saat terlibat dalam percakapan bahasa Indonesia terkadang juga menjadi ciri khas tersendiri.

Akan tetapi ciri khas aksen bahasa daerah ini rupanya belum bisa dicerna dengan baik oleh masyarakat Indonesia terutama bagi mereka warga ibukota yang kesehariannya menggunakan bahasa nasional yakni Bahasa Indonesia. Pasalnya, ternyata masih ada saja mereka yang seolah-olah meremehkan aksen bahasa daerah yang kadang masih terbawa saat berdialek bahasa Indonesia dan yang paling sering dirasis adalah aksen Bahasa Jawa.

Orang jawa yang berbahasa Indonesia tetapi ia masih terbawa dengan aksen bahasa daerahnya biasanya sering disebut dengan "medok". Menurut mereka, bahasa medok adalah bahasa yang hanya digunakan oleh orang yang Jawa yang kental dalam tradisional. Lalu dari sini mereka berasumsi bahwa dalam ketradisionalan merupakan kepekatan dari ketertinggalan. 

Bagi mereka, kurang pantas kiranya jika hal-hal yang berbau ketertinggalan berbaur dengan mereka yang berindikasi modern. Padahal, ketradisionalan bukanlah suatu ketertinggalan, melainkan adalah suatu pelestarian. Sungguh ini adalah pemikiran yang salah, tapi nyatanya memang begitulah.

Peristiwa rasisme bahasa di Indonesia

Problema ini dikutip dari beberapa mahasiswa asal Jawa yang berkuliah di ibukota dan ketika terlibat dalam perbincangan Bahasa Indonesia mereka terlabel medok karna aksen jawanya. Mereka yang fasih berbahasa Indonesia seringkali enggan untuk bergaul atau membawa teman mereka yang berbahasa Indonesia medok karena dianggap memalukan.

Hal ini juga diungkapkan secara terang-terangan di postingan tweet akun Twitter seseorang yang demikian merasa malu berteman dengan orang-orang medok. Bersyukurnya, postingan tersebut di cela oleh netizen-netizen budiman yang paham akan makna dari toleransi. Kemudian sebenarnya mana yang memalukan, mereka yang tetap melestarikan kekayaan Bahasa daerah bangsa Indonesia atau mereka yang menganggap rendah si pelestari Bahasa daerah?

Rasanya memang sepele jika hanya karena aksen. Namun jika hal ini diremehkan dan dibiarkan begitu saja, tentu ini akan menjadi satu rasisme untuk negara kita yang katanya adalah "Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu jua". Selain itu rasisme dalam penggunaan aksen ini juga menodai makna dari Sumpah Pemuda alinea ke-dua yang berbunyi "Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia". 

Apalah arti bahasa persatuan jika aksenpun diremehkan. Tak ingatkah mereka yang meremahkan aksen jawa bahwa presiden kita, bapak Joko Widodo juga berbahasa Indonesia yang kental dengan aksen Jawanya? Apakah dengan begitu, mereka juga akan malu memiliki pemimpin negara yang beraksen jawa kental alias medok?

Belum lagi jika nanti "si aksen jawa" ini merasa benar-benar terkucilkan lalu ia justru menghilangkan logat jawanya agar tak diremehkan lagi dengan "si fasih Bahasa Indonesia". Dikhawatirkan saat sudah kembali lagi ke asalnya yaitu Jawa, "si aksen jawa" akan benar-benar lupa dengan Bahasa Jawa karena ia sudah terbiasa menggunakan Bahasa Indonesia yang teracuni dengan persepsi yang salah dalam menggunakan bahasa persatuan, Bahasa Indonesia. Sayangnya, hal ini bukanlah suatu kekhawatiran, melainkan sesuatu yang sudah terjadi dalam kenyataan.

Benar, kenyataannya banyak orang-orang jawa yang pulang dari ibukota lalu lupa dengan Bahasa jawanya sehingga ketika ia berkomunikasi dengan orang-orang sesama Jawa. Parahnya sampai pada orang-orang itu mempunyai anak, anak-anaknya pun diajarkan berbahasa Indonesia secara terus menerus tanpa pernah dipahamkan dengan Bahasa jawa hanya karena persepsi agar terpandang sebagai pola didik modern. Karnanya, tak sedikit pula anak-anak jaman sekarang yang bahkan merasa bangga karna sedari kecil ia tak bisa berbahasa jawa karna mindset bahwa Bahasa jawa adalah Bahasa yang kuno dan kolot.

Dari sengketa rasisme bahasa diatas, menjadi sebuah evaluasi bagi kita selaku warga negara Indonsia yang bersemboyan Bhineka Tunggal Ika bahwa perbedaan aksen bukanlah hal yang memalukan. Tak hanya aksen jawa, namun juga berlaku untuk semua Bahasa daerah yang ada di negara ini. Harusnya merasalah bangga dengan aksen-aksen bahasa daerah yang yang kita bawa karna itulah yang menjadi keunikan komunikasi yang beridentitas. 

Selain itu, setidaknya dengan aksen-aksen itu pula menjadikan satu langkah pelestarian kekayaan Bahasa daerah bangsa Indonesia sehingga mampu terselamatkan dari kepunahan. Pengangkatan rasisme aksen bahasa daerah diatas bukan berarti untuk tidak boleh menggunakan Bahasa nasional setiap saat, namun ada baiknya jika kita juga tetap melestarikan Bahasa daerah masing-masing agar tetap terjaga. Bijaklah dalam berbahasa Indonesia dengan cara tau apa makna dari Bahasa Indonesia yang diangkat menjadi Bahasa nasional dan tau kapan harus menggunakan Bahasa Indonesia tanpa harus sungguh-sungguh beramnesia dengan bahasa daerah masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun