Mohon tunggu...
Hadam Wirajati Nurochim
Hadam Wirajati Nurochim Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ilmu Hubungan Internasional

Antusias menganalisa kebijakan nasional dan internasional Republik Indonesia Dewan Riset dan Keilmuan Mahasiswa FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Evaluasi Badan Keamanan Laut RI dan Kerjasama ASEAN dalam Sengketa Laut China Selatan

31 Mei 2024   18:05 Diperbarui: 31 Mei 2024   18:17 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Indonesia telah banyak memprakarsai sejumlah inisiatif berkenenaan dengan pencegahan ancaman konflik di Laut China Selatan baik secara bilateral maupun multilateral. Meski inisiatif Indonesia terbilang inovatif dan dihargai, namun rangkaian inisiasi harus ditindaklanjuti secara komsisten untuk menjaga stabilitas kawasan Laut Cina Selatan. Karena, serangkaian inisiatif belaka, belum mampu menyelesaikan sengketa secara konkrit.

Penanganan sengketa di Laut Cina Selatan sangat penting bagi Indonesia karena jika tidak ditangani dengan baik, akan berdampak pada stabilitas keamanan Indonesia dan kawasan tersebut. Selain itu, Indonesia ingin mempertahankan hak ZEE-nya di wilayah tersebut, yang terletak di utara Kepulauan Natuna. 

Maka, Indonesia harus membentuk dan mengembangkan strategi kebijakan yang dengan itu mampu berdampak bagi kepentingan nasional dan daya saing internasional. Lebih dari itu, saat ini Laut China Selatan sudah meluas kepada isu ancaman kedaulatan bagi Indonesia. Kepulauan dan perairan Natuna di provinsi Kepulauan Riau di sisi paling utara Selat karimata yang merupakan bagian dari teritori Indonesia, telah mengalami beberapa kasus masuknya kapal asing secara ilegal atau tanpa izin.

Masuknya kapal asing China yang melanggar batas teritori laut internasional tentu terjadi dengan beberapa faktor yang cukup kompleks. Perairan Natuna yang begitu luas membuat para nelayan kesulitan mendeteksi batas wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia. Pun demikian para petugas keamanan laut dalam hal ini Badan Keamanan Laut (Bakamla) sulit mengawasi perairan secara efektif. 

Sehingga memberi celah bagi kapal-kapal asing untuk bisa masuk. Hal tersebut juga disebabkan oleh keterbatasan sumber daya pengawasan. Meski sudah memiliki badan khusus untuk menjaga keamanan dan kedaulatan laut, teknologi dan fasilitas yang dimiliki Indonesia masih terbatas untuk mengawasi luasnya wilayah perairan Natuna.

Sebagaimana yang disampaikan Lemhannas pada tahun 2022 lalu, Bakamla masih kekurangan armada atau kapal. Jika seandainya fasilitas dan armada sudah mupuni dan cukup, niscaya Bakamla mampu meminimalisir secara efektif kejadian tersebut. Teknologi seperti drone, radar laut, dan satelit sangat diperlukan untuk mengoptimalkan pengawasan. 

Berkenaan dengan itu, Indonesia hingga kini tengah berfokus pada penindaklanjutan kebijakan pertahanan Minimum Essential Force (MEF) sejak pertama kali dicanangkan pada tahun 2007 pada masa kepemimpinan Prof. Dr. Juwono Sudarsono sebagai Menteri Pertahanan Republik Indonesia masa jabatan 2004-2009.

Kebijakan ini merupakan amanat pembangunan nasional bidang pertahanan yang merupakan proses bertahap untuk memenuhi standar minimum sistem pertahanan Negara yang berfokus pada kelengkapan alat-alat pertahanan, seperti upaya memodernisasi Alat Utama Sistem Senjata (alutsista). Dinamika peremajaan kebijakan tersebut tentu harus melewati berbagai proses pertimbangan ekonomi, politik, sosial dan kesejahteraan nasional.

 Pemerintah harus teliti dan bijak dalam mengatur skala prioritas, salah satunya dengan memperhatikan aspek kedaulatan negara dalam menyusun anggaran belanja negara. Dalam situasi menjaga pertahanan di wilayah perairan Laut China Selatan, sebaiknya tetap memaksimalkan peran Bakamla dan tidak melibatkan personil TNI AL. Sebab untuk mencegah eskalasi dan tensi sengketa, akan lebih baik untuk tidak tergesa-gesa menunjukkan simbol-simbol militer.

Selain upaya optimalisasi sistem pengawasan laut, menjaga kedaulatan Indonesia di perairan Laut China Selatan juga dapat dilakukan melalui kerjasama multilateral. Dalam sengketa ini, bukan hanya Indonesia yang terdampak. Negara-negara Asia Tenggara seperti Filipina, Thailand, Vietnam, dan Malaysia juga terlibat didalamnya. 

Maka haruslah secara jelas kita ketahui, bahwa gerakan kolektif dengan satu kepentingan yang sama dapat dimanfaatkan untuk melawan klaim sepihak China itu. ASEAN menjadi salah satu organisasi regional yang sangat bisa dimanfaatkan. Sejumlah upaya diplomasi, kerjasama, dan konferensi yang pernah dilakukan, perlu dimaksimalkan sehingga efektif.

ASEAN sebagai organisasi regional memiliki peran penting. Dengan beranggotakan 11 negara yang cukup berdaya di kawasan Asia Tenggara, seyogianya mampu memberi pengaruh dalam konstelasi internasional dan menjadi media untuk melindungi perairan Natuna. Solidaritas ASEAN menjadi komponen utama yang harus dipertahankan dan ditingkatkan.

Idealnya, organisasi regional memiliki potensi solidaritas yang tinggi karena seringkali memiliki kesamaan dalam banyak hal, termasuk ideologi, budaya, sosiokultural, dan karakteristik atau perilaku pemerintahan serta kehidupan sosial masyarakatnya. Dalam hal ini, ASEAN bahkan telah membuat slogan baru, "One Vision, One Identity, One Community," yang pertama kali diungkapkan oleh Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad di puncak pertemuan ASEAN ke-9 di Bali. Slogan ini menggambarkan kesamaan identitas dan komunitas. Kesamaan visi tersebut sebetulnya sangat relevan dengan cerminan dalam sengketa LCS, yaitu kesamaan kepentingan.

Pada tanggal 13 Juli 2023, China dan negara-negara anggota ASEAN secara resmi menandatangani Code of Conduct (CoC), yang bertujuan untuk mempercepat dan mencapai kesepakatan dalam proses negosiasi yang mengikat sengketa Laut China Selatan (LCS). Pedoman ini memungkinkan pihak yang bersengketa untuk melakukan negosiasi secara dialektif dan terukur untuk mencegah eskalasi sengketa yang lebih besar. 

Sebenarnya, klaim China atas wilayah maritim Laut China Selatan (Nine Dash Line) menjadi kebijakan China diperdebatkan. Sengketa China dengan beberapa negara anggota ASEAN, seperti Vietnam, Filipina, dan Malaysia, menyebabkan ketidakstabilan yang signifikan. Tindakan ekspansionis China dalam membangun pulau buatan dan instalasi militer di wilayah yang dipersengketakan mengancam kedaulatan negara-negara ASEAN.

ASEAN harus mengembangkan posisi bersama dan strategi yang kuat untuk mengatasi tekanan geopolitik China untuk menyeimbangkan kepentingannya dengan China dan menjaga keamanan dan stabilitas di wilayah tersebut. Selain itu, ASEAN harus memperkuat solidaritas dan koordinasi regional melalui dialog dan mekanisme diplomasi. 

Keketuaan Laos saat ini perlu untuk dibersamai untuk menekan upaya-upaya yang telah diinisasi sebelumnya. ASEAN menjadi platform penting dan tidak boleh disia-siakan. Negara-negara ASEAN yang berkepentingan di Laut China Selatan perlu melakukan percepatan untuk membentuk kebijakan serta mengoptimalkan Code of Conduct (CoC). 

Kedaulatan adalah hal utama bagi kemanan negara. Gerakan kolektif harus digalakkan untuk menegaskan posisi Indonesia dan negara-negara di sekitar Laut China Selatan untuk menjaga kedaulatannya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun