Enam puluh tahun yang lalu. Waktu aku masih sekolah SD. Aku selalu diingatkan oleh kakekku agar selalu jujur. Dalam kondisi apa pun.
"Apa pun yang terjadi, ya Had," kata Kakekku.
"Kalau terpaksa?" godaku.
"Walaupun langit akan runtuh, kamu harus tetap jujur. Nabi juga mewanti-wanti kejujuran itu. Bukan yang lain," kata Kakek serius.
Kalau kakek serius, aku tak mau menggodanya lagi.
Semua bisa dinegosiasi dengan kakek. Hanya satu. Yang pantangan dinegosiasikan dengan kakek. Yaitu kejujuran. Kejujuran bagi kakek adalah harga mati. Tak boleh bertukar dengan kebohongan.
Kakek memang hidup sederhana. Hiasannya adalah kejujuran. Maka, siapa pun, termasuk anak-anak dan cucu-cucunya akan mendengarkan petuah kakek tentang kejujuran yang sudah menyatu dengan kehidupan kakek.
Tapi, hari ini, aku ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK. Maka, aku tak bisa lagi bisara tentang kejujuran pada anak-anakku, pada cucu-cucuku. Mereka pasti akan menertawakanku jika aku masih berani bicara tentang kejujuran.
Aku hanya bisa membayangkan hari-hariku ke depan. Tinggal di penjara. Mungkin bahkan sampai ajal tiba. Apa yang harus aku katakan pada kakek jika nanti berjumpa di akhirat sana?
Ah, sebuah penyesalan. Lupa pada pesan kakek. Laki-laki tua yang setia dengan kejujurannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H