Mohon tunggu...
Habsul Nurhadi
Habsul Nurhadi Mohon Tunggu... Wartawan dan Konsultan -

Konsultan, mantan peneliti LP3ES Jakarta, mantan Tenaga Ahli Puskaji MPR-RI, yang juga Wartawan Kompeten Jenjang Utama Sertifikasi Dewan Pers 1513, tinggal di Kota Bekasi.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Unjuk Gigi Jokowi

25 Februari 2015   22:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:30 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Unjuk Gigi Jokowi

Oleh Habsul Nurhadi

(Dimuat oleh Harian RADAR BEKASI, Bekasi, edisi Sabtu 21 Februari 2015, Halaman 3)



Presiden Jokowi dilahirkan dan dibesarkan di kota budaya - Solo atau Surakarta - Jawa Tengah. Sehingga masuk akal apabila dalam memutuskan suatu kebijakan pemerintahannya sangat diwarnai oleh referensi budaya Jawa yang diyakininya.

Termasuk filosofi "Surodiro jayaningrat lebur dening pagastuti", yang kurang lebih mengandung makna bahwa betapapun hebatnya seseorang yang sakti mandraguna yang kebal dari segala senjata, namun manakala dalam lembaran hidupnya selalu dilumuri oleh ulah tingkah angkara murka yang "adigang, adigung, adiguna" maka pada saatnya niscaya akan jatuh tersungkur dan lebur oleh ulah pakarti luhur yang penuh kebijaksanaan, kasih sayang, dan kebaikan.

Begitupun dalam situasi politik yang memanas dalam 40 hari terakhir ini - menyusul polemik ditersangkakannya Calon Kapolri Budi Gunawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada 13 Januari 2015, terkait dugaan kasus korupsi gratifikasi. Padahal sebelumnya, pada 9 Januari 2015, Presiden mengusulkan BG tersebut untuk disetujui oleh DPR sebagai Calon Kapolri.

Barangkali Presiden waktu itu berpikiran bahwa dengan tetap dimajukannya usulan Calon Kapolri yang kontroversial ini ke DPR maka akan sempat berkembang menjadi perdebatan sengit dan alot di DPR, sehingga Presiden dapat mempunyai waktu yang lebih panjang untuk memikirkan opsi langkah lanjutannya.

Namun di luar dugaan, "bola panas" tersebut oleh DPR tidak direspons dengan perdebatan alot sebagaimana biasanya. Para anggota DPR - baik dari kubu Koalisi Merah Putih (KMP) maupun Koalisi Indonesia Hebat (KIH) - justru bersepakat untuk tidak berlama-lama menahan bola panas itu dengan perdebatan alot, melainkan segera memberikan persetujuan untuk kemudian mengoper kembali bola panas itu ke Presiden.

Arena Saling Cakar

Sebagai konsekuensinya, Presiden tentu harus menerima kembali bola panas itu, untuk dicarikan solusi terbaiknya. Ibaratnya, Presiden bagaikan langsung dihadapkan dengan buah simalakama, jika tidak dimakan bunda mati, jika dimakan ayah mati.

Jika Presiden tetap melantik BG sebagai Kapolri, maka ia akan dikutuk habis-habisan oleh sebagian besar masyarakat pemilihnya, karena ia akan dianggap telah mengkhianati kepercayaan masyarakat pada janji kampanyenya yang akan memperkuat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun jika Presiden tidak melantik BG yang telah disetujui DPR menjadi Kapolri, maka ia akan dikutuk oleh para elite pengusung BG.

Karenanya, Presiden sejenak menjadi agak galau, sehingga ia pun segera berinisiatif untuk menjaring masukan aspirasi dari berbagai pihak, dan tidak terbatas hanya dari para pimpinan partai pendukung KIH saja, melainkan juga dari semua komponen masyarakat secara luas. Bahkan Presiden juga mengundang Tim Independen yang terdiri sembilan orang tokoh nasional, untuk memberikan masukan alternatif solusi keputusan yang tepat dan bijaksana.

Bersamaan dengan itu, semakin merebak dan berkembang pula adu argumentasi dan adu "kekuatan pengaruh" di masyarakat, antara yang "pro pelantikan BG" berhadapan dengan yang "anti pelantikan BG".

Di satu pihak, para elite politisi maupun elite penyelenggara negara pada umumnya mendukung pelantikan BG, dengan dalih menjunjung etika politik, karena BG sudah disetujui DPR. Namun di lain pihak, kalangan pengamat independen dan masyarakat luas justru menghendaki pembatalan pelantikan BG, dengan dalih jangan sampai Presiden melantik seorang Kapolri yang menjadi tersangka tindak pidana korupsi.

Semula Presiden Jokowi diduga akan patuh pada "perintah" pimpinan partai pengusungnya. Namun dengan "mengulur" keputusan yang sedemikian lama ini, kemudian berkembang arena saling cakar-cakaran secara terbuka di antara para elite tersebut. Dengan begitu Presiden menjadi semakin mengetahui watak asli dari para elite parpol tersebut, dan semakin memahami peta permasalahan politik yang sesungguhnya.

Akhirnya pada 18 Februari 2015 Presiden Jokowi baru mengambil keputusan untuk tidak melantik BG, dan mengusulkan Wakapolri Badrodin Haiti sebagai Calon Kapolri yang baru kepada DPR. Alasannya, karena nama BG ini ternyata mengundang gejolak pro-kontra di masyarakat, sehingga dipandang tidak cukup kondusif untuk dapat berhasil memimpin aparat Polri sebagai penjaga ketertiban umum.

Bukan Petugas Partai

Keputusan Presiden ini telah menunjukkan bahwa Presiden masih "peka" pada aspirasi dan kepentingan masyarakat luas. Namun keputusan Presiden ini tentu "mengecewakan" para politisi PDIP, yang selama ini telah sangat terang-terangan menekan Presiden untuk melantik BG sebagai Kapolri.

Agaknya Presiden kini telah berani unjuk diri, bahwa dirinya sudah bukan petugas partai lagi, melainkan seorang Presiden RI yang harus bijak bersikap dan bertindak untuk membela kepentingan masyarakat yang lebih luas, dan bukan lagi sekadar boneka yang bisa semaunya disetir oleh partai pengusungnya.

Presiden Jokowi berkeyakinan, resiko untuk "dimarahi" oleh partai pengusungnya masih lebih kecil jika dibandingkan dengan resiko untuk dimarahi oleh rakyat pemilihnya. Apalagi Presiden Jokowi sebelumnya juga telah membuat jaring "pengaman", antara lain dengan membuka alternatif poros persahabatan dengan mantan "seterunya" pada Pilpres 2014 lalu, yakni Prabowo Subianto, maupun dengan sejumlah tokoh nasional lainnya.

Jika keputusan Presiden ini dapat dikawal dengan baik, berarti Presiden Jokowi telah membuktikan kebenaran filosofi Jawa yang diyakininya itu. Bahwasanya semua keberanian, kekuatan, kejayaan, dan kemewahan yang ada di dalam diri manusia itu akan dapat dikalahkan oleh kebijaksanaan, kasih sayang, dan kebaikan yang ada pada sisi lain dari manusia itu sendiri.

Bekasi, 19Februari 2015

Penulis adalah Wartawan Sertifikasi Kompeten Utama Dewan Pers 1513, tinggal di Kota Bekasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun