Indonesia dalam sejarahnya sudah dan akan menjalankan pemilihan serentak, terhitung 2 kali, pemilihan serentak 2019 dan 2024 mendatang. Latar belakang dilaksanakannya pemilihan serentak didasari pada penguatan sistem presidensial di tengah sistem multipartai.Â
Mahkamah Konstitusi merekonstruksi penyelenggaraan pemilihan umum dalam pelaksanaan serentak, pemilihan eksekutif dan pemilihan legislatif dijalankan bersamaan, dengan disebutkan tiga tujuan : efektivitas sistem presidensial, koalisi yang bersifat strategis atau ideologis, dan relasi yang kuat antara eksekutif dan legislatif. Disisi lain, upaya penyelenggaraan pemilu serentak turut dibersamai dengan tujuan menyederhanakan sistem kepartaian.
Kendati dengan alasan menguatnya legitimasi presiden terhadap kedaulatan masyarakat dibandingkan semakin kuatnya esensi tugas pokok dan fungsi legislatif terhadap fungsi pengawasan kepada eksekutif juga penyederhanaan partai politik, sistem ini gagal jika dilihat dari studi kasus pemilihan 2019 yang mana partai politik yang lolos parliamentary threshold pun bertambah.
Presidential threshold terbilang gagal menyederhanakan partai dengan harapan koalisi yang terbentuk antar partai di dalamnya memiliki kesamaan ideologi dan program kerja sehingga terbilang menjadi koalisi permanen. Kegagalan ini berdampak terhadap parliamentary threshold yang juga gagal mendukung presidential threshold untuk dikonstruksi dalam mendukung penyederhanaan partai. Sistem pemilu di Indonesia yang berkorelasi langsung dengan sistem pemerintahan dan sistem kepartaian masih memiliki beban dan tanggungjawab yang besar dalam terjadinya hambatan pada tiga tujuan rekonstruksi.
Jaminan sistem pemilihan proporsional dalam implementasi selama dua dekade di Indonesia masih terus mendorong konstruksi penyederhanaan sistem kepartaian. Jaminan menguatnya sistem presidensial serta pemurnian sistem multipartai ekstrem mendorong pertanyaan apakah perlu ada design baru untuk sistem pemilihan legislatif.Â
Benoit (2007) menyebutkan aktor serta latar belakang konteks berkorelasi dengan sistem pemilu. Aktor diidentifikasikan sebagai partai politik, aktor eksternal serta masyarakat. Terkait konteks, Benoit cukup menjelaskan pengaruh terhadap pilihan, antara lain faktor ekonomi dan perubahan. Â Sistem multipartai adalah keharusan bagi Indonesia yang notabene negara multikultural. Namun, dengan adanya puluhan partai atau multipartai ekstrem merobohkan kekuatan pemerintahan.
Sistem Proporsional dalam Pemilihan Legislatif Indonesia
Menilik kembali apakah sistem pemilihan legislatif sekarang valid untuk ditinjau efektivitasnya, beragam sudut pandang sistem pemilihan legislatif dari berbagai negara cukup memberikan referensi. Apakah terjadinya sebuah peralihan sistem proporsional terbuka menuju sistem  proporsional tertutup, sistem distrik, maupun campuran ditengah-tengah multiparty system, perpaduan pemerintahan presidensial dan multiparty system mampu mengatasi permasalahan pemerintahan. Pasal 6A (2) UUD 1945 menyatakan bahwa pasangan presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.Â
Serta ketentuan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 menyatakan peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik. Kedua pasal ini memantapkan bahwa Indonesia menganut penuh sistem multipartai.Â
Perlu ada electoral reengineering terkait mengatasi permasalahan penyelenggaraan pemerintahan, salah satu solusinya adalah mengganti sistem pemilihan legislatif. Perlu banyak pertimbangan dalam mendesain ulang sistem pemilu. Menurut Taagepera (1998), terdapat 4 pertimbangan, yaitu: (1) membuat regulasi pemilu yang sederhana; (2) membaca referensi pemilihan di negara lain; (3) sistem pemilu mampu diselenggarakan dalam tiga kali penyelenggaraan; dan (4) mempertimbangkan perubahan-perubahan yang bersifat inkremental.Â
Mengacu pada sistem pemilihan proporsional terbuka yang digunakan dalam pemilihan legislatif, mengingat saran dari Taagepera (1998), pemilihan yang terjadi sekarang memiliki regulasi yang kompleks, bertolak belakang dengan tiga tujuan Mahkamah Konstitusi, serta selalu berputar pada perubahan inkremental sehingga menjadi regresif.Â