Mohon tunggu...
Habibullah Al Faruq
Habibullah Al Faruq Mohon Tunggu... Lainnya - A learner

Senang mencari informasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Belajar Daring akan Permanen, Yakin? Pemerintah Sudah Siap 7 Hal Ini?

11 Juli 2020   18:38 Diperbarui: 11 Juli 2020   18:33 643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belakangan ini, kita dihadapkan dengan kabar atau berita yang tentunya membuat para peserta didik / pembelajar (siswa hingga mahasiswa) menjadi bingung dan rasanya begitu menyayat hati.

Berita itu seperti:

Ada lagi yang ini:

  • Kompas (26 Juni 2020): Dirjen Dikti: 70 Persen Mahasiswa dan Dosen Nilai Pembelajaran Daring Lebih Baik | 

Dari berita di atas, kita sudah pahami jika pembelajaran secara blended / hybrid learning segera dilakukan mulai dari sekarang.

Sebelum menuju pokok pembahasan, batasan masalah kali ini kita ungkap proses pembelajaran di sekolah dan perguruan tinggi.

Tidak dipungkiri, para pelajar atau mahasiswa memiliki lingkungan yang berbeda. Tidak semua hidup di lingkungan urban, masih banyak para pembelajar yang hidup di wilayah rural.

Mengenai hal tersebut, sekiranya, beberapa poin berikut, apakah sudah disiapkan secara matang oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan para stakeholders pada umumnya?

Berikut ini rincian poinnya:

  1. Soal jaringan. Apakah provider mampu menjangkau ke seluruh pelosok  Nusantara? Sementara itu, seperti yang kita ketahui, coverage area 4G saja belum banyak dan masih belum merata. Masih banyak yang menggunakan jaringan 3G, bahkan di bawahnya.
  2. Soal kuota. Tidak semua para peserta didik / pembelajar memiliki fasilitas internet yang memadai seperti WiFi. Masih banyak yang mengandalkan kuota reguler. Apakah lembaga pendidikan bersedia memberi bantuan kuota atau pemangkasan biaya pendidikan? Saat video conference menggunakan Google Meet, Zoom, dan platform lain, memangkas kuota begitu banyak. Akan tetapi, di lain sisi, jika hanya diberi PDF dan slide PPT saja, peserta didik bingung dan kesulitan untuk memahami materi ajar.
  3. Soal kultur dan latar belakang peserta didik. Sudah dijelaskan di atas, masih banyak yang tinggal atau berada di kawasan desa. Tidak jarang yang hidupnya di pelosok. Ini real. Apakah mau membebani masyarakat di desa, terlebih pelosok, yang sebagian besar adalah masyarakat kurang mampu, untuk membeli kuota internet secara berulang? Kadang, untuk biaya makan saja susah. Bisa makan singkong rebus, alhamdulillah.
  4. Soal blended / hybrid learning. Berarti, penggabungan antara perkuliahan jarak jauh (PJJ) dengan tatap muka? Untuk PJJ, uang digunakan untuk membeli kuota internet. Untuk tatap muka, uang digunakan untuk biaya transportasi. Pengeluaran secara tidak langsung membengkak 2 kali lipat, bukan?
  5. Soal sosialisasi. Kita sepakat, sosialisasi bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja. Akan tetapi, jika bersosialisasi dengan orang yang seumuran, cenderung lebih bagus, lebih masuk, gaya bahasa, dan pembahasannya lebih menarik untuk diperbincangkan. Jika belajar dari rumah, kemampuan sosialisasi dan kecakapan berbicara menjadi berkurang. Hanya segelintir peserta didik yang bisa bersosialisasi langsung dengan masyarakat. Ini juga tantangan bagi peserta didik juga untuk rajin bersosialisasi.
  6. Soal biaya pendidikan. Apakah sekolah atau perguruan tinggi berkenan untuk memberikan keringanan biaya pendidikan berupa subsidi atau pemberian kuota? Toh, peserta didik 'tidak' full belajar ke lokasi pendidikannya. Ataukah sekolah, perguruan tinggi, atau bahkan pemerintah mau bekerja sama dengan Internet Service Provider (ISP) untuk memberikan bantuan berupa kuota internet?
  7. Soal platform. Jika menggunakan blended / hybrid learning, tentu lembaga pendidikan harus menyiapkan platform Learning Management System (LMS). Apakah LMS itu akan dibuat oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, untuk digunakan oleh sekolah dan perguruan tinggi di seluruh Indonesia (one to many)? Atau setiap lembaga pendidikan harus memiliki platform LMS-nya sendiri?

Kalau kata Pak Nadiem:

"Kita memasuki era di mana gelar tidak menjamin kompetensi. Kita memasuki era di mana kelulusan tidak menjamin kesiapan berkarya. Kita memasuki era di mana akreditasi tidak menjamin mutu".

Dari quote tersebut, perlunya sinergi dan sinkronisasi Pemerintah, sehingga fasilitas fundamental seperti kuota internet, biaya pendidikan, dan lainnya, untuk mendukung blended / hybrid learning bisa teratasi. Sehingga, masyarakat tidak merasa terbebani.

Karena, kewajiban peserta didik itu terbatas pada belajar, belajar, dan eksplorasi diri. Membuat mimpi, meraih mimpi, dan menjadi orang sukses, berguna bagi orang tua, masyarakat, nusa dan bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun