Salahkah keyakinan semacam ini? Salahkah jika kita meyakini bahwa seseorang berhak memilih apa yang hendak ia lakukan? Bukankah tiap orang memang berhak memutuskan akan seperti apa ia hendak menjadi? Tentu saja, asal ia menyadari bahwa setiap pilihan memiliki konsekuensinya masing-masing. Tanpa mengingatkan bahwa tiap orang akan ditanya tentang apa yang mereka pilih dan lakukan, sejatinya film ini sedang mengajarkan penontonnya paham kebebasan atau liberalisme (baik disengaja atau tidak).
Secara singkat, liberalisme adalah suatu paham dan pandangan hidup yang didasari keyakinan bahwa manusia seharusnya tidak tunduk pada siapapun kecuali pada kehendaknya sendiri (atau dalam bahasa agama: tunduk pada hawa nafsunya sendiri). Seorang yang percaya bahwa tunduk dan pasrah pada kehendak Zat Yang Maha Welas Asih, Maha Merajai, Maha Adil lagi Bijaksana adalah satu-satunya cara hidup selamat di dunia dan di akhirat tentulah akan menganggap film ini sebagai ancaman terhadap akidahnya.
Wajar sekali jika orang beriman beranggapan bahwa sekali saja diamini, keyakinan (bahwa setiap orang memiliki kebebasan untuk menentukan apa yang terbaik bagi dirinya) itu akan membuka jalan bagi keburukan yang jauh lebih besar. Setan akan mudah sekali berbisik:
- Kita tidak bisa melarang perempuan mengambil jurusan hukum dan menjadi hakim, setiap orang bebas menjadi apa saja.
- Kita tidak bisa menyalahkan orang-orang yang memilih iblis sebagai sesembahan, setiap orang bebas menjadi apa saja.
- Kita tidak bisa menyalahkan orang-orang yang memilih hidup telanjang di jalan-jalan dan bersetubuh seperti binatang, setiap orang bebas menjadi apa saja.
Semua itu merupakan konsekuensi logis yang tak dapat dihindari mereka yang menerima keyakinan bahwa seharusnya anyone can be anything. Bahkan, bagi seorang muslim, keyakinan semacam itu jelas merupakan satu langkah dari langkah-langkah setan untuk menjauhkan manusia dari kalimat laa ilaha illa Allah yang merupakan kesaksian bahwa tiada yang memiliki otoritas untuk menentukan benar salah, baik buruk, patut tak patut, kecuali hanya Allah swt, pencipta, pemilik dan pemelihara seluruh alam.
Tidak cukup sampai di situ. Jika euforia hidup telanjang seperti binatang (yang diyakini evolusionis sebagai nenek moyang manusia) tidak cukup menggiurkan bagi penonton, film ini punya pesan lain yang lebih ringan diterima, ...
TAK PERLU MALU, SEMUA ORANG MELAKUKANNYA
Ketika film ini memberitahu kita bahwa Chief Bogo diam-diam juga menyukai aplikasi erotis memalukan sebagaimana Clawhauser, sebenarnya film ini sedang membujuk kita untuk membuang rasa malu yang menurut mereka tidak perlu. Mereka mengejek Chief Bogo yang berusaha mempertahankan kehormatannya walau di dalam ruangannya ia masih kalah oleh dorongan nafsunya. Mereka berdalih, "kalau semua orang menyukainya, untuk apa malu mengakuinya."
Sebagai bagian dari masyarakat yang membenarkan bahwa "malu adalah sebagian dari iman" saya pribadi tentu tidak dapat menerima dalih mereka. Rasa malu adalah fitrah yang dibawa manusia sejak lahir. Ia tidak datang dari konsensus yang sewaktu-waktu dapat berubah. Karena kemutlakannya itulah, (sebagaimana kita yakini bersama) umat-umat terdahulu dipesankan Nabi mereka, "jika kamu tidak malu, berbuatlah sesukamu."
Jika kita terus membiarkan anak-anak kita menonton film semacam ini, tidak perlu menunggu lama hingga umat ini mengikuti jejak warga Zootopia. Mungkin tidak setiap dari mereka akan meniru jejak macan-macan tegap yang memilih jadi banci dan menari. Tapi besar kemungkinan mereka akan ramai-ramai datang ke konser si seksi Gazelle, bergoyang dan melakukan hal-hal tidak senonoh layaknya binatang.
Dan sebagai bentuk pertahanan dari umat yang dipandang paling radikal, dalam film ini juga ada pesan yang berkata ...
JANGAN MENILAI BUKU DARI SAMPULNYA