Mohon tunggu...
Muhammad habib Maulana
Muhammad habib Maulana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Nama saya Muhammad habib maulana, sekarang sedang menempuh pendidikan di Universitas uin sunan gunung djati bandung Fakultas Syari’ah Dan Hukum prodi hukum pidana islam, dan hobi saya olahraga dan membaca buku

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Dinamika Pengaruh Islam Terhadap Sistem Politik Dan Hukum Negara Di Indonesa

6 Mei 2024   20:11 Diperbarui: 9 Mei 2024   11:24 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Abstrak

Di Indonesia, Islam dan negara memiliki hubungan yang kompleks dan beragam data pada tahun 2010 dari sensus kependudukan menyatat ada sekitar 1.340 suku bangsa yang terdapat dari sabang sampe marauke dan 87% populasi atau sekitar 229.62 juta jiwa beragama islam. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia mengakui Islam sebagai salah satu pilar utama dalam identitas nasionalnya. Islam tidak hanya menjadi agama mayoritas, tetapi juga memainkan peran penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, politik, dan hukum di Indonesia. Meskipun secara konstitusional Indonesia adalah negara berdasarkan Pancasila yang menjunjung nilai-nilai pluralisme dan keberagaman, namun Islam tetap memiliki pengaruh yang kuat dalam pembentukan kebijakan publik dan regulasi hukum.

Sejarah Islam di Indonesia mencerminkan proses akulturasi dan integrasi dengan budaya lokal yang kaya, menciptakan keragaman tradisi keagamaan dan praktik keislaman. Negara Indonesia secara resmi mengakui Pancasila sebagai dasar negara, namun pada saat yang sama memberikan ruang bagi keberagaman agama, termasuk Islam, untuk berkontribusi dalam proses politik dan sosial. Meskipun terdapat tegangan dan konflik terkait dengan penerapan hukum Islam di beberapa wilayah, seperti implementasi hukum syariah di tingkat lokal, namun secara umum, Indonesia terus berusaha menjaga keseimbangan antara prinsip negara sekuler dan nilai-nilai agama Islam dalam pembentukan kebijakan dan praktik pemerintahan. Dengan demikian, dinamika antara Islam dan negara di Indonesia terus berkembang seiring dengan perubahan sosial, politik, dan budaya yang terjadi di tingkat nasional maupun global.,

Kata kunci : islam, negara, hukum, dan politik

Abstract

In Indonesia, Islam and the state have a complex and diverse relationship. Data from the 2010 population census recorded approximately 1,340 ethnic groups spanning from Sabang to Merauke, with 87% of the population, or 229.62 million people, adhering to Islam. As a country with the largest Muslim population in the world, Indonesia recognizes Islam as one of the main pillars of its national identity. Islam not only serves as the majority religion but also plays a significant role in various aspects of social, political, and legal life in Indonesia. Despite being constitutionally based on Pancasila, which upholds pluralistic values and diversity, Islam still exerts a strong influence on public policy-making and legal regulations.

The history of Islam in Indonesia reflects a process of acculturation and integration with the rich local culture, creating a diversity of religious traditions and Islamic practices. While Indonesia officially recognizes Pancasila as the foundation of the state, it also allows space for religious diversity, including Islam, to contribute to the political and social processes. Although tensions and conflicts arise regarding the implementation of Islamic law in some regions, such as the enforcement of Sharia law at the local level, Indonesia generally strives to maintain a balance between the principles of a secular state and the values of Islam in shaping government policies and practices. Thus, the dynamics between Islam and the state in Indonesia continue to evolve alongside social, political, and cultural changes occurring at both national and global levels

Keyword ; islam, country, law and politic

1.PENDAHULUAN

Agama Islam memiliki peran yang sangat signifikan dalam membentuk sistem politik dan hukum negara di banyak negara di seluruh dunia.termsuk Indonesia, sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar, tidak terkecuali dalam hal ini. Dinamika pengaruh agama Islam terhadap sistem politik dan hukum negara merupakan sebuah fenomena yang kompleks dan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dalam konteks Indonesia, Islam bukan hanya menjadi agama mayoritas, tetapi juga menjadi salah satu pilar utama dalam pembentukan identitas nasional.

Sejak awal kedatangan Islam ke Indonesia pada abad ke-13, agama ini telah menjadi bagian integral dari kehidupan sosial, politik, dan budaya masyarakat Indonesia. Proses akulturasi dan integrasi antara Islam dengan budaya lokal yang kaya telah menciptakan keragaman tradisi keagamaan dan praktik keislaman yang unik. Meskipun secara resmi Indonesia mengakui Pancasila sebagai dasar negara yang menjunjung nilai-nilai pluralisme dan keberagaman, namun pengaruh Islam tetap terasa kuat dalam pembentukan kebijakan publik dan regulasi hukum. Dinamika antara Islam dan negara terus berkembang seiring dengan perubahan sosial, politik, dan budaya yang terjadi di tingkat nasional maupun global, dan hal ini menjadi subjek kajian yang menarik dalam konteks perkembangan Indonesia sebagai negara demokratis dan berkeadilan.

Menyikapi persoalan diatas maka kajian ini mengkaji (1) sejarah dan pengaruh agama islam mempengaruhi pembentukan kebijakan politik di Indonesia? (2) Bagaimana hubungan antara prinsip-prinsip agama Islam dengan prinsip-prinsip demokrasi dalam konteks sistem politik dan hukum negara? (3) Apa tantangan utama yang dihadapi dalam menjaga keseimbangan antara nilai-nilai agama Islam dan prinsip-prinsip negara dalam pembentukan kebijakan politik dan regulasi hukum?

Manfaat dari penelitian ini yaitu: (1) mengetahui sejarah pengaruh agama Islam terhadap pembentukan kebijakan politik di Indonesia (2) mengetahui hubungan antara prinsip-prinsip agama Islam dengan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia dalam pembentukan sistem politik dan hukum negara (3) mengetahui tantangan utama yang dihadapi dalam menjaga keseimbangan antara nilai-nilai agama Islam dan prinsip-prinsip negara.

2.MTODOLOGI

Metode dalam penelitian ini menggunakan metode kajian pustaka dengan mengumpulkan data data dari sumber sekunder berupa buku, jurnal dan essay. Pada penelitian ini juga menggunakan metode jenis penelitian kualitatif. Jenis penelitian ini menekankan pada proses pengamatan suatu fenomena dengan pengolahan data berupa hasil kajian studi Pustaka. Metode ini memfokuskan objek penelitiannya terutama pada Dinamika Pengaruh Islam Terhadap Sistem Politik Dan Hukum Negara

3.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

 Sejarah dan Pengaruh Agam Islam Terhadap Pembentukan Kebijakan Politik di Indonesia

 Dalam politik dan urusan kekuasaan, Islam selalu menyoroti pentingnya pemahaman kolektif bahwa puncak dari segala kekuasaan dan politik adalah "siysah ilhiyyah wa inbah nabawiyyah", yang menegaskan bahwa otoritas tertinggi dalam kekuasaan hanya melekat pada Allah SWT. Dalam bahasa Maududi, pandangan ini selaras dengan politik keadilan (siysah 'adilah) yang memberikan napas kepada pemerintahan Islam dari zaman Nabi sampai sekarang.

 Dalam konteks pengaruh hukum Islam dalam politik hukum di Indonesia, perhatian utama terfokus pada bagaimana posisi hukum Islam dalam kebijakan dasar yang diterapkan oleh pemerintah dalam ranah hukum, baik yang sedang berlaku maupun yang telah diberlakukan, yang bersumber dari nilai-nilai yang dianut dan berkembang dalam masyarakat untuk mencapai tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945. Politik hukum nasional ini bertujuan untuk menciptakan sistem hukum nasional yang diinginkan oleh pemerintah serta untuk mencapai cita-cita nasional yang lebih luas. Dengan demikian, posisi hukum Islam memiliki pengaruh yang signifikan dalam politik hukum Indonesia dalam menetapkan sistem hukum nasional yang berlaku, karena mayoritas masyarakat Indonesia menganut agama Islam yang mendasari kehidupan mereka dengan prinsip-prinsip Islam, baik dalam hukum syariat maupun fiqih

Dalam ilmu hukum, terdapat berbagai pandangan mengenai hukum, termasuk yang melihatnya sebagai perwujudan nilai-nilai tertentu. Pendekatan ini menitikberatkan pada konsep bahwa hukum senantiasa mempertanyakan dan menguji keberadaannya dalam mewujudkan nilai-nilai dasar dari tujuan hukum. Ada juga yang memandang hukum sebagai sistem peraturan perundang-undangan yang abstrak, di mana hukum dipandang sebagai entitas otonom yang berdiri sendiri terlepas dari pengaruh pihak lain. Selain itu, ada yang memahami hukum secara sosiologis sebagai instrumen sosial yang mengatur kehidupan sosial masyarakat, yang berarti bahwa hukum dipandang sebagai fenomena sosial yang pembentukannya, perkembangannya, realitas, dan efektivitasnya dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial dalam masyarakat.

Dalam lingkup masalah yang dibahas dalam tulisan ini tentang dampak Hukum Islam dalam politik hukum di Indonesia melalui lensa sejarah Nusantara, terdapat tiga sistem hukum yang berbeda yang telah berlaku, yaitu sistem hukum adat, hukum Islam, dan hukum Barat, yang memiliki persamaan dan perbedaan. Antara hukum Barat dan hukum adat, pada dasarnya, memiliki ruang lingkup yang serupa karena keduanya hanya mengatur hubungan antara manusia dengan manusia serta dengan penguasa dalam masyarakat. Di sisi lain, ruang lingkup yang diatur dalam hukum Islam tidak hanya mencakup hubungan antara manusia dengan manusia dan penguasa dalam masyarakat, tetapi juga hubungan antara manusia dengan Allah SWT, Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa hukum adat dan hukum Barat hanya memandang kehidupan duniawi, sedangkan hukum Islam melampaui aspek duniawi untuk memperhatikan juga masalah akhirat, yaitu kehidupan setelah kehidupan dunia, dan untuk mengetahui bagaimana hukum di Indonesia dapat dipengaruhi oleh agama islam maka harus ditarik sejarah pembentukan hukum di Indonesia dari zaman dulu hingga sekarang.

a.Islam Masa Pra Penjajahan Belanda

Menurut sebagian ahli sejarah, Islam mulai masuk ke Nusantara pada abad pertama hijriyah, sekitar abad ketujuh atau kedelapan Masehi, melalui kawasan utara Pulau Sumatera yang kemudian menjadi titik awal gerakan dakwah para pendatang Muslim. Proses dakwah ini secara bertahap membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur, dan menyebar ke beberapa daerah lain di sekitarnya, diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam pertama di tanah air pada abad ke-13, yaitu Kerajaan Samudera Pasai di Aceh Utara.

Pengaruh cepat Islam menyebar ke berbagai wilayah Nusantara menyebabkan berdirinya beberapa kerajaan Islam setelah Kerajaan Samudera Pasai, seperti Kesultanan Malaka tidak jauh dari Aceh, dan di Pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram, dan Cirebon. Pada bagian timur Nusantara, seperti di Sulawesi dan Maluku, berdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate & Tidore. Kesultanan-kesultanan tersebut kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku, mengukuhkan penerapan hukum dan syariat Islam yang sudah berkembang di masyarakat Muslim pada masa itu . Fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama Nusantara pada sekitar abad ke-16 dan ke-17. Kondisi ini terus berlangsung hingga kedatangan pedagang Belanda ke wilayah Nusantara.

b.Hukum Islam Pada Masa Penjajahan Belanda

Penjajahan awal Belanda di Nusantara dimulai dengan kehadiran VOC (Vereenigde Oostindische Companie), organisasi dagang Belanda di Hindia Timur. Meskipun VOC awalnya berperan sebagai organisasi dagang, namun Pemerintah Kerajaan Belanda menggunakan VOC sebagai alat untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan di kawasan tersebut dengan menerapkan hukum Belanda.

Namun, penggunaan hukum Belanda dihadapi banyak kesulitan karena penduduk pribumi sulit menerima hukum yang asing bagi mereka. VOC pun memberikan kebebasan kepada penduduk pribumi untuk mempertahankan hukum Islam yang telah lama berlaku bagi mereka. Beberapa kompromi terjadi antara VOC dan penduduk pribumi terkait pengakuan terhadap hukum Islam, seperti pengakuan hukum kewarisan Islam dan upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam. Di berbagai wilayah, seperti Semarang, Cirebon, Gowa, dan Bone, dilakukan kompilasi hukum Islam. Sebagai contoh, di Semarang, hasil kompilasi tersebut dikenal dengan nama Kitab Hukum Mogharraer. Meskipun Pemerintah Belanda mengupayakan dominasi kekuasaan dengan membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada aspek-aspek spiritual, pengakuan terhadap hukum Islam terus berlangsung hingga menjelang peralihan kekuasaan kembali dari Inggris ke Belanda.

Berikut adalah ringkasan kronologis atas upaya pembatasan pemberlakuan hukum Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda:

1. Pada pertengahan abad ke-19, Pemerintah Hindia Belanda menerapkan Politik Hukum yang sadar, dimana mereka secara sengaja ingin merombak kehidupan hukum di Indonesia dengan menerapkan hukum Belanda.

2. Berdasarkan nota yang disampaikan oleh Mr. Scholten Van Oud Haarlem, Pemerintah Belanda memutuskan untuk memperbolehkan penggunaan undang-undang agama, lembaga, dan kebiasaan pribumi dalam penyelesaian perselisihan, selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Hal ini menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda.

3. Berdasarkan teori resepsi yang dikemukakan oleh Snouck Hurgronje, Pemerintah Hindia Belanda membentuk komisi pada tahun 1922 untuk meninjau kembali wewenang pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa kasus-kasus kewarisan, dengan alasan bahwa hukum adat setempat belum menerima hukum Islam.

4. Pada tahun 1925, terjadi perubahan pada Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling (yang serupa dengan Pasal 78 Regerringsreglement), dimana perkara perdata antara sesama muslim akan diselesaikan oleh hakim agama Islam jika telah diterima oleh hukum adat, kecuali ditentukan lain oleh ordonansi. Lemahnya posisi hukum Islam ini terus berlanjut hingga mendekati berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di Indonesia pada tahun 1942.

c.Hukum Islam Pada Masa Penjajahan Jepang

Pada 8 Maret 1942, atas nama Pasukan Perang Belanda, Jenderal Ter Poorten menyerah tanpa syarat kepada panglima militer Jepang di wilayah Selatan. Sebagai tanggapan, Pemerintah Jepang segera mengeluarkan serangkaian peraturan, termasuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepang akan melanjutkan semua kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Implikasi dari keputusan ini adalah tetapnya posisi hukum Islam seperti yang terakhir kali berlaku pada masa pemerintahan Hindia Belanda., Pemerintah Pendudukan Jepang kemudian mengambil langkah-langkah untuk memperoleh dukungan dari umat Islam di Indonesia, diantaranya:

1. Panglima Militer Jepang berkomitmen untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk di Pulau Jawa.

2. Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dikelola oleh orang Indonesia sendiri.

3. Memberikan izin untuk berdirinya organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan NU.

4. Menyetujui pendirian Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan Oktober 1943, yang kemudian menjadi sebuah partai politik.

5. Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya tentara PETA (Pembela Tanah Air).

6. Berusaha memenuhi tuntutan para tokoh Islam untuk mengembalikan wewenang Pengadilan Agama dengan meminta laporan dari seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944. Namun, upaya ini akhirnya tidak terealisasi karena Soepomo membatalkannya dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka.

d.Hukum Islam Pada Masa Kemerdekaan

Meskipun Pendudukan Jepang membawa banyak pengalaman baru bagi pemuka Islam Indonesia, namun seiring dengan lemahnya langkah strategis Jepang dalam memenangkan perang dan membuka jalan bagi kemerdekaan Indonesia, mereka mulai mengubah arah kebijakan mereka. Jepang mulai mendukung tokoh-tokoh nasionalis Indonesia atau kelompok nasionalis untuk memimpin masa depan Indonesia. Beberapa badan dan komite negara, seperti Dewan Penasehat (Sanyo Kaigi) dan BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai), kemudian diserahkan kepada kelompok nasionalis. BPUPKI terdiri dari 62 anggota, termasuk 11 orang yang mewakili kelompok Islam, namun proses pembentukan BPUPKI tidak berdasarkan pemilihan demokratis.

 Debat panjang tentang dasar negara dalam sidang BPUPKI berakhir dengan lahirnya Piagam Jakarta. Piagam ini mengandung kalimat kompromi penting, termasuk kalimat yang menyatakan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Menurut Muhammad Yamin, kalimat ini menunjukkan bahwa Indonesia merdeka bukan negara sekuler maupun negara Islam. Namun, rumusan kompromi Piagam Jakarta gagal disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Ada berbagai kendala yang menyebabkan kegagalan ini, termasuk keberatan dari golongan Kristen di Indonesia Timur yang disampaikan oleh Mohammad Hatta.

Selama periode ini, status hukum Islam tetap tidak jelas. Upaya pembaharuan atau penggantian hukum peninggalan penjajahan Belanda dan Jepang menjadi penting. Proklamasi kemerdekaan membawa perubahan total dalam tata hukum negara, memerlukan pembaharuan atau penggantian hukum positif yang sebelumnya berlaku. Ini merupakan langkah penting dalam perjuangan bangsa Indonesia dalam menetapkan landasan kekuasaan negara melalui pembentukan UUD 1945, yang bersumber dari nilai-nilai budaya masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945.

*Masa Orde Lama dan Baru

Pada era Orde Lama, kaum nasionalis dan komunis mendominasi, sementara kaum Muslim cenderung terpinggirkan. Partai seperti Masyumi dan PSI dibubarkan oleh Soekarno pada tahun 1960 karena terlibat dalam pemberontakan PRRI di Sumatera Barat. Meskipun hukum Islam merupakan kenyataan umum di Indonesia, upaya untuk memperkuat posisinya terhalang oleh ketidakjelasan batasan dalam upaya unifikasi hukum.

Setelah kegagalan kudeta PKI pada 1965, Orde Baru muncul dengan harapan baru bagi pemimpin Muslim Indonesia untuk menempatkan Islam secara lebih baik dalam politik dan hukum. Namun, meskipun upaya-upaya untuk memperkuat posisi hukum Islam terus dilakukan, posisinya masih tidak tegas di awal Orde Baru. Meskipun demikian, dengan keluarnya UU No. 14 tahun 1970, hukum Islam diakui secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri. Meskipun demikian, tuntutan untuk kekuasaan kehakiman yang bebas dari eksekutif masih sulit direalisasikan karena dualisme kekuasaan kehakiman yang diadopsi dalam undang-undang tersebut. Namun semangat untuk mendukung negara hukum tetap kuat. Usaha-usaha intensif untuk mengkompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu membuahkan hasil pada bulan Februari 1988, ketika Soeharto sebagai Presiden menerima hasil kompilasi tersebut dan menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama. Setelah disetujuinya Undang-undang Pengadilan Agama oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, terjadi penegasan berlakunya hukum Islam yang semakin jelas dengan ditetapkannya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989. Undang-undang ini memperkuat kedudukan Pengadilan Agama sebagai badan pelaksana kekuasaan kehakiman mandiri di Indonesia dalam menegakkan hukum Islam bagi pencari keadilan sesuai ajaran Islam, terutama dalam perkara perdata seperti perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan sedekah, memberikan kesempatan luas bagi masyarakat Islam Indonesia untuk menjalankan ketentuan hukum Islam sesuai dengan ajaran agama mereka sesuai dengan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.

*Era Reformasi Pembinaan Hukum Nasional

Di era ini, terjadi kebangkitan demokrasi dan kebebasan di seluruh Indonesia bersamaan dengan jatuhnya rezim Soeharto setelah 32 tahun berkuasa. Hukum Islam mulai menguat secara bertahap dengan lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, yang membuka peluang bagi pembentukan undang-undang berlandaskan hukum Islam, terutama dalam hal peraturan daerah yang dapat disesuaikan dengan kondisi khusus suatu daerah. Lebih lanjut, upaya nyata dalam mewujudkan hukum Islam melalui peraturan perundang-undangan terbukti berhasil, seperti dengan terbitnya Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Otonomi Khusus, serta Undang-Undang Daerah Istimewa. Produk hukum tersebut, meskipun berlaku terbatas di tingkat provinsi, telah mengubah secara signifikan tatanan hukum dan politik di Aceh, bahkan memiliki potensi pengaruh yang besar terhadap pemerintah pusat. Provinsi Nangroe Aceh Darussalam memiliki empat keistimewaan yang mencakup penerapan syariat Islam dalam kehidupan beragama, penggunaan kurikulum pendidikan yang berlandaskan syariat tanpa mengabaikan kurikulum umum, integrasi unsur adat dalam struktur pemerintahan desa, dan pengakuan peran ulama dalam pembuatan kebijakan daerah. Untuk mendukung undang-undang yang mengatur keistimewaan provinsi ini, Pemerintah Nangroe Aceh Darussalam mengeluarkan empat Peraturan Daerah (Perda) atau Qanun, termasuk tentang organisasi MPU, pelaksanaan syariat Islam, penyelenggaraan pendidikan, dan penyelenggaraan adat. Pelaksanaan syariat Islam di Aceh mencakup masalah ibadah, peradilan perdata, dan pidana, dengan berdirinya Mahkamah Syar'iyah yang menangani kasus-kasus tersebut sesuai amanat Qanun yang berlaku. Era reformasi membuka peluang bagi pengayaan sistem hukum Islam di Indonesia melalui langkah-langkah pembaruan dan pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan pada sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif dalam hukum nasional.

*Pembinaan Hukum Nasional

Dalam upaya pembangunan hukum nasional, hukum Islam menjadi salah satu komponen penting setelah dinyatakan sebagai sumber bahan baku bagi pembentukan hukum nasional dalam Pidato Menteri Kehakiman RI, Ali Said pada Upacara Pembukaan Simposium Pembaharuan Hukum Perdata Nasional di Yogyakarta pada tahun 1981. Langkah-langkah kebijakan pembangunan hukum nasional dijabarkan melalui tiga dimensi, yaitu pemeliharaan, pembaharuan, dan penciptaan, untuk memastikan bahwa hukum nasional dapat memayungi seluruh kehidupan masyarakat Indonesia.

Menteri Kehakiman menekankan perlunya menggunakan wawasan nasional yang mencakup wawasan kebangsaan, wawasan nusantara, dan wawasan Bhineka Tunggal Ika dalam merencanakan pembangunan hukum nasional. Terkait dengan hukum Islam, pentingnya pengaturan hukum dalam dua bidang utama, yaitu ibadah dan muamalah, disoroti sebagai bagian integral dari pembangunan hukum nasional. Pemerintah diharapkan mengupayakan transformasi norma-norma hukum Islam ke dalam hukum nasional yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, serta relevan dengan kebutuhan umat Islam, mengingat banyak asas universal yang terkandung dalam hukum Islam yang dapat menjadi bahan untuk penyusunan hukum nasional .

Hubungan Antara Prinsip-Prinsip Agama Islam Dengan Prinsip-Prinsip Sistem Politik dan Hukum Negara

 Donal K. Emerson melakukam pendekatan kultural untuk mengevaluasi hubungan antara Islam dan politik, dengan mempertanyakan validitas ide bahwa Islam yang tidak berkuasa adalah tidak lengkap. Artinya, Emerson meninjau ulang apakah Islam mengamanatkan secara formal keberadaan negara Islam atau hanya menekankan pentingnya pemahaman dan penerapan prinsip-prinsip Islam dalam sebuah negara, tanpa mengaitkannya secara kaku dengan struktur formal negara.

 berkait dengan ini, M. Natsir berpendapat bahwa negara berfungsi sebagai alat. Pelaksanaan syari'at atau hukum Islam dalam masyarakat menekankan adanya pendekatan legal formal. Untuk itu maka dibutuhkan kekuasaan pemaksa yang syah dan diakui keberadaannya yang diperlukan untuk dalam batas-batas tertentu memaksa individu untuk taat dan patuh pada hukum-hukum yang telah ditetapkan , Muhammad Asad, dalam bukunya "Principles of State and Government", menyatakan bahwa Al-Qur'an dan Sunnah tidak memberikan panduan yang spesifik mengenai bentuk negara. Syari'at Islam tidak menyajikan suatu teori konstitusional yang detail. Namun, ia menegaskan bahwa setiap bentuk negara harus sepenuhnya sesuai dengan syari'at Islam dan secara eksplisit mengatur hubungannya dengan kehidupan komunal. Syari'at tidak dapat diubah karena merupakan hukum Tuhan, dan tidak perlu diubah karena telah lengkap dalam formulasi sehingga tidak ada yang bertentangan dengan sifat dasar manusia dan kondisi masyarakat. Penegasan tentang pentingnya negara yang secara eksplisit mengatur hubungannya dengan kehidupan komunal bertujuan untuk menegaskan bahwa tujuan negara Islam bukanlah untuk menentukan nasib suatu entitas atau budaya, tetapi untuk menerapkan hukum Islam sebagai landasan praktis dalam urusan manusia. Oleh karena itu, hanya seorang Muslim yang dianggap dapat dipercaya untuk menjabat sebagai kepala negara. Konsekuensinya, ini mengecualikan non-Muslim dari memegang jabatan apapun yang melibatkan interpretasi dan aplikasi syari'at.

 Masyarakat Indonesia memiliki keragaman yang mencakup tidak hanya pluralitas suku dan agama, tetapi juga keragaman di antara individu yang memeluk agama Islam, yang ditandai dengan adanya berbagai kelompok dan kesatuan sosial yang berbeda. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika sistem hukum di Indonesia mengakui pluralitas tersebut, dengan artian bahwa hukum negara bersumber dari berbagai sumber yang berbeda, seperti hukum adat, hukum agama (Islam), dan hukum Barat (yang merupakan warisan penjajah Belanda).

Namun, pluralitas hukum ini tidak berarti tanpa konflik di antara mereka. Pada masa kemerdekaan, ketika seluruh bangsa Indonesia diperintah oleh satu otoritas politik, keragaman agama dan budaya Indonesia tersebut akhirnya memunculkan konflik antara berbagai kepentingan, terutama dalam proses pembentukan dan pembinaan hukum nasional. Dalam situasi seperti ini, pengaruh politik terhadap hukum tidak dapat dihindari. Hal ini terlihat dalam pelaksanaan hukum, di mana pihak-pihak yang memiliki kepentingan berusaha memengaruhi pelaksanaan kebijakan yang telah diatur dalam hukum, sesuai dengan kekuatan dan faktor-faktor masa dan ruang yang mengitarinya .

 Dalam konteks pemilihan pemimpin melalui demokrasi, perspektif Hukum Islam menghadirkan konsep "theistic democracy" atau "divine nomocracy". Konsep ini menitikberatkan pada ketaatan kepada Allah, Rasulullah, dan "ulul amri" sebagai wakil pemimpin. Meskipun sering disalahpahami sebagai pemimpin tunggal, "ulul amri" sebenarnya merujuk pada perwakilan kepemimpinan atau para pemimpin yang mewakili rakyat. Dalam adaptasi kontemporer, konsep parlemen dapat sesuai dengan kerangka pemikiran Hukum Islam, di mana norma-norma Islam diintegrasikan melalui lembaga-lembaga legislatif menjadi "qanun" atau peraturan perundang-undangan negara. Eksistensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia memiliki kedudukan filosofis, sosiologis, politis, dan juridis yang kuat. Namun, sejarah menunjukkan dinamika dalam pemberlakuan hukum Islam yang sangat dipengaruhi oleh situasi sosial, politik, dan kebijakan pemerintah. Pada masa kolonial Belanda, pendekatan pluralitas hukum yang mengakomodasi konflik antargolongan terbukti tidak berhasil. Begitu juga dengan produk-produk hukum terkait Islam pada masa Orde Baru, yang cenderung menginginkan unifikasi hukum namun mengalami distorsi dan kehilangan relevansi dengan realitas sosial (the living law).

Pemberlakuan dan penerapan hukum Islam di Indonesia sebagian besar tergantung pada kehendak politik penguasa, yang menjadikan negara memiliki monopoli dalam pembentukan hukum di tengah masyarakat. Justifikasi dan legislasi kekuasaan negara menjadi instrumen kunci bagi implementasi hukum Islam, mencerminkan hubungan kompleks antara politik, kekuasaan, dan aplikasi hukum dalam dinamika sosial dan politik Indonesia.Meskipun demikian, adanya dinamika ini juga mencerminkan perubahan dan adaptasi dalam respons terhadap tuntutan masyarakat dan perkembangan zaman. Sebagai contoh, munculnya gerakan reformasi hukum Islam yang mengadvokasi keadilan, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan hukum. Hal ini menunjukkan peran penting masyarakat dalam mempengaruhi evolusi hukum Islam di Indonesia.Dengan demikian, sementara kebijakan dan kekuasaan politik memainkan peran besar dalam pemberlakuan hukum Islam, perubahan sosial, perkembangan politik, dan tuntutan masyarakat juga memengaruhi arah dan implementasi hukum Islam di Indonesia. Oleh karena itu, memahami dinamika kompleks ini penting dalam mengevaluasi dan mengembangkan sistem hukum yang mencerminkan nilai-nilai Islam dan kebutuhan masyarakat secara adil dan berkelanjutan.

 Hubungan antara prinsip-prinsip agama dengan prinsip sistem politik dan hukum negara bisa sangat kompleks dan bervariasi tergantung pada konteks sejarah, budaya, dan konstitusi negara. Namun, beberapa aspek umum yang bisa dibahas dalam konteks ini adalah:

1.Pengaruh Prinsip Agama dalam Pembentukan Hukum: Prinsip-prinsip agama sering kali memiliki pengaruh yang signifikan dalam pembentukan hukum negara, terutama dalam negara yang memiliki landasan agama sebagai bagian dari identitasnya. Misalnya, prinsip-prinsip moral dan etika agama dapat tercermin dalam kode etik atau nilai-nilai moral yang diadopsi oleh sistem hukum negara.

2.Keterkaitan Antara Nilai-Nilai Agama dan Prinsip-prinsip Politik: Nilai-nilai agama seperti keadilan, kasih sayang, dan solidaritas sering kali berkaitan erat dengan prinsip-prinsip politik seperti demokrasi, keadilan sosial, dan perlindungan hak asasi manusia. Dalam beberapa kasus, ajaran agama digunakan sebagai dasar untuk merumuskan prinsip-prinsip politik tertentu.

3.konsep Kepemimpinan dan Legitimasi: Dalam beberapa sistem politik, otoritas politik dan kepemimpinan dapat dijustifikasi atau diperkuat oleh legitimasi agama. Misalnya, konsep raja berdaulat dalam monarki absolut dapat diberikan legitimasi oleh keyakinan agama tertentu, sementara dalam demokrasi modern, para pemimpin sering mencari legitimasi dari basis agama.

4.Konflik Antara Prinsip-prinsip Agama dan Hukum Sekuler: Dalam negara-negara yang memiliki sistem hukum sekuler, terjadi konflik antara prinsip-prinsip agama dan hukum negara. Hal ini terutama terjadi dalam kasus-kasus di mana hukum negara bertentangan dengan ajaran agama yang dipegang teguh oleh sebagian besar masyarakat.

5.Pengaruh Agama dalam Proses Pembentukan Kebijakan: Agama dapat memainkan peran penting dalam proses pembentukan kebijakan, baik secara langsung melalui partai politik berbasis agama maupun secara tidak langsung melalui pengaruh moral dan nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat.

6.Perlindungan Kebebasan Beragama: Prinsip-prinsip agama dan sistem politik harus bekerja bersama untuk melindungi kebebasan beragama dan meyakinkan bahwa semua warga negara memiliki hak untuk mengamalkan keyakinan agama mereka tanpa diskriminasi atau tekanan dari pihak mana pun.

Mengetahui Tantangan Utama Yang Dihadapi Dalam Menjaga Keseimbangan Antara Nilai-Nilai agama Islam Dan Prinsip-Prinsip Negara

Menjaga keseimbangan antara nilai-nilai agama Islam dan prinsip-prinsip negara merupakan tantangan kompleks yang dihadapi oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Salah satu aspek utama dalam menjaga keseimbangan ini adalah memastikan bahwa nilai-nilai agama Islam diintegrasikan ke dalam sistem hukum dan kebijakan negara tanpa mengabaikan prinsip-prinsip dasar negara yang bersifat inklusif dan universal. Hal ini memerlukan pemahaman mendalam tentang ajaran agama Islam dan konteks sosial serta politik di mana nilai-nilai tersebut diaplikasikan.Di sisi lain, prinsip-prinsip negara yang bersifat sekuler sering kali bertentangan dengan interpretasi agama Islam dalam hal-hal tertentu, seperti dalam hal hak asasi manusia, kebebasan beragama, dan kesetaraan gender. Menjaga keseimbangan antara nilai-nilai agama Islam dan prinsip-prinsip negara memerlukan pendekatan yang inklusif dan adil, yang mengakomodasi berbagai pandangan dan kepentingan dalam masyarakat.

Tantangan lainnya adalah adanya ketegangan antara kepentingan politik dan nilai-nilai agama. Dalam beberapa kasus, pemimpin politik dapat memanipulasi nilai-nilai agama untuk kepentingan politik mereka sendiri, yang dapat mengancam keseimbangan dan integritas sistem politik dan hukum negara. Oleh karena itu, penting bagi lembaga-lembaga negara dan masyarakat sipil untuk mengawasi dan mengawal proses politik agar nilai-nilai agama tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik sempit. Selain itu, globalisasi dan modernisasi juga membawa tantangan tersendiri dalam menjaga keseimbangan antara nilai-nilai agama Islam dan prinsip-prinsip negara. Peningkatan interaksi dengan budaya dan nilai-nilai dari luar dapat mempengaruhi pemahaman dan praktik keagamaan masyarakat, yang dapat menyebabkan konflik dengan prinsip-prinsip negara yang ada. Oleh karena itu, penting untuk mempromosikan dialog antarbudaya dan interaksi positif antara agama dan masyarakat dalam rangka memperkuat harmoni sosial.

Terakhir, pendidikan dan kesadaran masyarakat juga merupakan faktor penting dalam menjaga keseimbangan antara nilai-nilai agama Islam dan prinsip-prinsip negara. Masyarakat yang terdidik secara baik tentang nilai-nilai agama dan prinsip-prinsip negara cenderung lebih mampu menghargai keberagaman dan memahami pentingnya menjaga keseimbangan antara keduanya. Oleh karena itu, investasi dalam pendidikan dan pembangunan kapasitas masyarakat merupakan langkah penting dalam menghadapi tantangan ini.

KESIMPULAN

Dalam konteks politik dan urusan kekuasaan, Islam menekankan bahwa otoritas tertinggi dalam kekuasaan hanya melekat pada Allah SWT. Pandangan ini terwujud dalam konsep "siysah ilhiyyah wa inbah nabawiyyah" yang menegaskan bahwa puncak dari segala kekuasaan dan politik adalah politik keadilan (siysah 'adilah) yang mengatur pemerintahan Islam dari zaman Nabi sampai sekarang. Di Indonesia, pengaruh hukum Islam dalam politik hukum sangat signifikan karena mayoritas masyarakat menganut agama Islam. Sejarah Nusantara mencatat periode berbeda di mana hukum Islam berkembang, baik pada masa pra-penjajahan Belanda, masa penjajahan Belanda, hingga masa kemerdekaan.

Dalam ilmu hukum, pandangan tentang hukum bervariasi, mulai dari hukum sebagai perwujudan nilai-nilai tertentu hingga pandangan hukum sebagai sistem peraturan perundang-undangan yang otonom. Dalam konteks Indonesia, terdapat tiga sistem hukum yang berbeda: hukum adat, hukum Islam, dan hukum Barat. Meskipun mereka memiliki persamaan dan perbedaan, hukum Islam memiliki cakupan yang lebih luas karena tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia dan penguasa, tetapi juga hubungan manusia dengan Allah SWT. Sejarah hukum di Indonesia menunjukkan kompleksitas dalam pemberlakuan hukum Islam, dipengaruhi oleh dinamika sosial, politik, dan kebijakan pemerintah.

Pembentukan hukum nasional di Indonesia juga dipengaruhi oleh prinsip-prinsip agama, terutama dalam konteks Islam yang memiliki kedudukan filosofis, sosiologis, politis, dan juridis yang kuat. Meskipun demikian, pemberlakuan dan implementasi hukum Islam tergantung pada kehendak politik penguasa, dengan negara memiliki peran dominan dalam pembentukan hukum. Perubahan sosial, perkembangan politik, dan tuntutan masyarakat juga memengaruhi arah dan implementasi hukum Islam di Indonesia, menunjukkan pentingnya memahami dinamika kompleks dalam mengevaluasi dan mengembangkan sistem hukum yang adil dan berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Ahmeed An-Na'im, Dekonstruksi Syari'ah, (Yogyakarta: LkiS, 1994)

Ahmad Suhelmi, Soekarno versus Natsir, Kemenangan Barisan Megawati Reinkarnasi Nasionalis Sekuler, (Jakarta: Darul Falah)

Arbi Sanit, Swadaya Politik Masyarakat: Telaah Tentang Keterkaitan Organisasi Masyarakat, Partisipasi Politik Pertumbuhan Hukum dan Hak asasi Manusia (Jakarta: Rajawali Pers, 1985

Bambang Sutyoso dan Sri Hartuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2005)

Donal K Emmerson, Islam in Modern Indoneiia; Political Impasse, Cultural Opportunity, (Syracuse: Syracuse University Press, 1981),

.H. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, hal. 231, Jakarta: PT. Raja Grfindo Persada, 2013.

Imam Syaukani dan A. Ahsan Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, 2005),

Lukman Thaib (1998), Politik menurut Persepektif Islam, Kajang:Synergymate Sdn. Bhd.

Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum (Makasar: Ghalia Indonesia, 2003)

Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara: Kritik atas Politik Hukum di Indonesia, cet.1 (Yogyakarta: LKiS, 2001),

Samudra Wibawa, Negara-Negara di Nusantara: Dari Negara Kota Hingga Negara Bangsa dari Modernisasi Hingga Negara Bangsa dari Modernisasi Hingga Reformasi Administrasi (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2001)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun