Sudah menjadi kebiasaanku, duduk bersantai menikmati suasana sore dan udara malam di pusat Kota ini. Hawa dingin dan sejuk membelai manja daun telinga dan wajahku dalam duduk diam sendiri. Pandangan kulempar jauh ke jalan raya yang penuh dengan motor dan mobil berlalu lalang, kadang sepeda dan terkadang orang menyeberang memberhentikan kendaraan yang sedang lewat.Â
Begitu cepat berlalu, suasana berganti, malam menyelimuti Kota ini dengan sentuhan lembut bersama angin malam yang begitu indah. Kerlap-kerlip lampu bangunan dan kendaraan dijalanan menambah syahdu suasana kala malam menyapa. Kota Kembang orang menyebutnya, demikianlah gambaran Kota Bandung yang katanya banyak perempuan cantik nan seksi yang siap mengahantui lewat mimpi-mimpi hari ini dan besok bahkan lusa atau bahkan seterusnya.
Posisiku, Jalan Braga lebih tepatnya, tempat biasa aku menghabiskan waktu, merenung, mengenang, berlinang, berhujan, bercanda, tertawa, menenangkan hati, inti dari kesemuanya adalah tempatku memuncahkan segala rasa yang berpusat di dada sebelah kiri ini, tentang hidup dan kehidupan ini yang sudah dilewati, sedang dilewati dan apa yang akan dihadapi. Duduk di sini, waktu favoritku adalah malam, selain hawanya yang sejuk dan juga kemerlap lampu malam bertemankan bintang; bukankah sebuah kombinasi yang sempurna, banyak melihat orang sibuk entah melakukan kegiatan apa adalah hobby baruku ketika duduk di sini.
Jalan Braga adalah nama sebuah jalan utama di kota Bandung, nama jalan ini cukup dikenal sejak masa pemerintahan Hindia-Belanda. Sampai saat ini nama jalan tersebut tetap dipertahankan sebagai salah satu maskot dan objek wisata kota Bandung yang dahulu dikenal sebagai Parijs van Java.
Tidak jauh dari tempat dudukku, tampak menara yang bila dipandang seolah sama padahal berbeda dari tinggi dan besarnya, menunjukkan kegagahan dalam balutan cahaya dan cinta akan sang pencipta. Iya, menara masjid Raya Bandung yang tinggi gagah perkasa berkumandang suara adzan menandakan magrib telah tiba.Â
Ada yang tergesa-gesa menuju pintus masjid guna berwudhu dan sholat, ada yang bahkan seakan tuli dengan asyik tetap mengobrol dan bermain, ada juga yang disini asyik menulis alur ceritanya dalam sendiri, It’s me. Di depan masjid ini, hamparan halaman luas membentang dalam kecerian, di sini anak-anak, orang tua, remaja, yang pacaran, yang jomblo, yang buta sampai yang tuli bebas bermain di atas rumput sintetis yang lembut yang telah menyatukan banyak jiwa dan menciptakan banyak canda tawa di atasnya. Terima kasih rumput sintetis atas jasamu menciptakan tawa dan pelipur lara kala hati gundah gulana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H