Tipologi terorisme yang terkahir menurut Gregory D. Miller adlah terorisme religius. Kategori terorisme ini menggunakan asas keyakinan tertentu sebagai dasar untuk melakukan tindakan terorisme. Tentu hal ini membuat negara sulit dalam mengatasi aktivitas terorisme tersebut karena dianggap akan melanggar keyakinan mereka dan juga selain itu sangat sensitif. Penangkapan melalui jalur hukum atau dimasukkan dalam penjara dirasa kurang efektif dalam mengatasi terorisme yang berbasis religius ini. sebagai contoh, pada tahun 1995 Al-Qaeda menempatkan bom di dalam penerbangan Trans-Pacific,percobaan pembunuhan terhadapp Presiden Bill Clinton tahun 1995, penyerangan Bandara Los Angeles tahn 1999, dan yang dituding menjadi dalang serangan WTC dan Pentagon pada 11 September 2001.
Menjelang abad 21, terorisme telah menyebar luas ke seluruh dunia atau mengglobal. Aktor dan aksi yang mereka lakukan telah menembus batas-bataas negara. Kita ambil contoh sebuah kasus di Indonesia, para pemimpin teroris justru berasal dari Malaysia, negara tetangga yang seringkali terlibat sengketa, perseturuan, baik karena kasus TKI ataupun mengenai pencaplokan batas wilayah. Nordin M. TOP dan Dr. Azhari adalah dua tokoh teroris paling hebat dan menurut beberapa sumber mengatakan mereka berdua adalah otak di balik aksi-aksi terorisme yang terjadi di Indonesia. Meluasnya aksi terorisme ke seluruh dunia, dan menjadikannya fenomena global disebabkan oleh setidaknya tiga faktor.[7]
Faktor Pertama, perluasan transfortasi udara yang tidak bisa dilepaskan dari tren dunia global melalui banyaknya kebutuhan yang harus dipenuhi. Aliran barang, modal dan jasa serta manusia menjadi semakin cepat karena adanya faktor katalis, yakni perkembangan teknologi komunikasi dan semakin rendahnya biaya transfortasi sehingga orang bisa pergi kemana saja tanpa dibatasi ruang dan waktu. Keduanya memberikan kontribusi yang sangat signifikan bagi arah globalisasi dunia saat ini, termasuk di dalamnya meluasnya jaringan terorisme menurut Kiras, setelah menjalani kontrol dalam bentuk paspor, seorang teroris dapat secara relatif bebas bergerak dari satu negara ke negara lainnya. Kita melihat sebagai contoh kasus yang terjadi di Uni Eropa, seseorang yang sudah melakukan perjalanan masuk ke negara salah satu anggota Uni Eropa maka ia dapat secara leluasa bepergian kemanapun yang dia suka. Oleh sebab itu, menurut Kiras, teroris Tentara Jepang (Japanese Red Army) dapat melatih teroris dalam suatu negara dan kemudian melaksanakan atau melakukan aksi di negara yang jauh seperti yang terjadi pada kasus di Lod Airport di Israel pada tahun 1972.
Faktor Kedua, meluasnya terorisme ke seluruh dunia adalah kesamaan ideologi dan kepentingan di seluruh dunia. Globalisasi dunia bukan hanya menyangkut mobilitas barang dan manusia, tetai juga gagasan ataupun ide. Perkembangan teknologi telah menciptakan masyarakat jaringan (network society) seperti yang dikatakan oleh Manuel Castel. Masyarakat jaringan sehingga memudahkan kelompok-kelompok masyarakat satu dengan kelompok masyarakat lainnya membangun sebuah komunikasi yang aktif. Teknologi berupa komunikasi juga membangun dan membuka ruang yang lebih besar mmasing-masing kelompok untuk menggalang simpati atau hal lainnya. Sebagai contoh, terorisme yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam radikal kiranya mencerminkan kodisi seperti yang dijelaskan. Demikian juga halnya dengan berbagai ideologi politik bersama telah mendorong kerja sama dan pertukaran terbatas di antara bermacm-macam kelompok Irish Republican Army (IRA) atau separatis Bosque, Euzkadi Ta Askatasuna (ETA).
Globalisasi telah membawa banyak keseragaman budaya, setidaknya di mata para pengkritik globalisasi tersebut. Tentu hal ini telah menyulut banyak kelompok untuk kembali mencari budaya mereka sendiri dengan cara apapun. Jika globalisasi memunculkan lokalisasi, maka dalam ranah budaya, globalisasi juga memunculkan kesadaran akan kebudayaan lokal. Dalam situasi seperti ini, pemberontakan atas budaya dominan tampaknya tidak bisa dihindarkankan lagi.
Ideologi dan agama juga menjadi faktor penjelas lainnya suatu tindakan terorisme. Pada masa lalu, terorisme ideologis biasanya banyak diinspirasi oleh kaum Marxis-Leninis. Namun sekarang, seiring bubarnya Uni Soviet dan dominasi neoliberal, gerakan terorisme lebih diwarnai oleh persoalan-persoalan ideologis keagamaan. Di Indonesia jika kita perhatikan berbagai pernyataan pelaku teroris, Imam Samudra misalnya, maka ideologi dan alasan-alasan agama tampaknya menjadi yang paling kuat mengapa seseorang menjadi teroris. Meskipun intepretasi atas agama dan kekerasan dalam banyak kasus pelaku terorisme di Indonesia, analisis Martin dan Schumann tampaknya benar. Menurutnya, manakala 95 persen peningkatan penduduk berlangsung di daerah-daerah paling miskin, pertanyaan yang muncul bukan lagi apakah akan terjadi perang baru, melainkan bagaimana bentuk perang itu dan siapa yang akan melawan siapa[8].
Perang melawan terorisme tidak bisa dilepaskan dari peran Amerika Serikat. Hal ini karena selain AS sering menjadi sasaran tembak juga selama lebih kurang 7 dekade sejak Perang Dunia Kedua telah mempresentasikan sebagai kekuatan global. Bahkan, sejak keruntuhan Uni Soviet di penghujung tahun 1980-an, posisi AS menjadi satu-satunya target penting aksi terorisme, terutama yang berasal dari kaum fundamentalisme Islam. Di sisi lain, isu mengenai terorisme telah menjadi agenda global karena peran signifikan Amerika Serikat[9]. Dalam hal ini bagaimana terorisme mempengaruhi tatanan global tampaknya berada dalam dua sudut pandang yang berbeda. Terorisme merepresentasikan tatanan global yang bersifat multipolar. Dalam hal ini, kekuatan-kekuatan menyebar ke dalam banyak tempat dan dimensi. Serangan WTC, Serangan Madrid, Bom Marriot, Bom Bali, dan banyak lainnya menjadi beberapa contoh kasus di mana kekuatan-kekuatan kecil mampu mempengaruhi secara signifikan tatanan atau setidaknya orientasi kebijakan di tingkat global. Di sisi lain, terorisme justru mendorong struktur global yang lebih bersifat bipolar atau mungkin justru unipolar.Tahun 2003 sejak serangan terorisme yang menguncang AS dan Eropa, Uni Eropa membuat draf European Security Strategy, di mana di dalamnya mereka memasukkan terorisme dan senjata pemusnahan massal (weapons of mass destruction) sebagai lima besar ancaman keamanan UE. Pengakuan terhadap ancaman ini membawa UE untuk mengadopsi European Union Counter-Terrorism Strategy pada tahun 2005. Komitmen utama strategi ini adalah untuk “menanggulangi terorisme dengan tetap menghormati Hak Asasi Manusia (HAM), dan menjadikan Eropa tempat yang aman, memungkinkan warga negara untuk tinggal di wilayah yang aman, bebas dan adil”. Tujuan ini akan dicapai dengan melalui empat pilar utama strategi melawan terorisme, yaitu:[10]
Mencegah orang-orang masuk ke dalam jaringan teror, baik dalam lingkup UE, maupun internasional. Upaya prevention dilakukan dengan cara dialog antaragama dan antarbudaya, serta meminimalisir kerenggangan yang terjadi antara imigran dan penduduk asli di UE. Beberapa negara anggota UE, seperti Jerman dan Perancis kini tengah menghadapi isu yang cukup rumit dengan imigran. Para imigran kebanyakan berasal dari Asia Tengah dan Timur Tengah. Pada waktu mereka tiba di Eropa, kebanyakan dari mereka tidak memiliki kemampuan dan keahlian untuk bekerja dan kemampuan berbahasa Inggris atau bahasa asli negara tersebut. akibatnya, para imigran kesulitan mendapatkan pekerjaan dan banyak dari mereka yang justru menjadi penganggur. Mereka memperoleh kesulitan untuk membaur dengan penduduk lainnya, sehingga mereka tinggal di wilayah-wilayah tertentu di mana mayoritas penduduknya adalah sesama imigran. Hal ini tentu menimbulkan disintegrasi dan juga prasangka dari warga kulit putih terhadap para imigran, terutama pada mereka yang berasal dari Asia Tengah dan Timur Tengah, yang mayoritas beragama Islam. Untuk menanggapi hal tersebut, UE mencoba menjalankan kebijakan yang bertujuan untuk mengubah sterotype masyarakat luas tentang Islam sebagai agama kaum teroris. Melalui Community Law yang mencakup The Charter of Fundamental Freedoms, UE berusaha menyebarkan kesadaran bahwa Islamopobhia adalah sesuatu yang salah[11], dan yang harus diperangi adalah terorisme bukan agama Islam.
Protection
Melindungi warga negara serta infrastruktur di UE, dan meminimalisir kerentanan mereka terhadap serangan. Hal ini salah satunya coba diraih dengan melalui penguatan keamanan batas negara. Pada saat ini, UE telah memiliki badan keamanan batas Eropa yang disebut sebagai FRONTEX. Badan ini bertanggung jawab dalam manajemen keamanan perbatasan antarnegara anggota.