Mohon tunggu...
Ahirul Habib Padilah
Ahirul Habib Padilah Mohon Tunggu... -

Anak Dukuh ! Kalimantan Barat Universitas Padjadjaran Magister Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Politik

Terrorism in Global Security

23 Juni 2016   10:32 Diperbarui: 23 Juni 2016   10:39 800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam era global saat ini, ancaman terhadap kehidupan dan kemanan manusia tampaknya semakin luas dan beragam model ancamannya yang muncul ke permukaan. Ancaman tersebut bukan lagi berasal dari perang-perang seperti Perang Dunia I dan Perang Dunia II atau ancaman perang Nuklir yang menjadi “momok” selama Perang Dingin. Ancaman-ancaman terhadap kehidupan dan kemanan manusia itu sendiri pada era gloalisasi saat ini bisa berasal dari kekuatan-kekuatan radikal yang berkembang dalam masyarakat. Tentara dan persenjataan yang canggih bukan lagi pemegang monopoli kekerasan terhadap kemanusian, tetapi justru dari perangkat-perangkat sipil yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Dalam kasus WTC, senjata yang digunakan adalah dua pesawat terbang sipil yang berhasil dibajak oleh teroris. Selain itu, ancaman terhadap kehidupan dan kemanan manusia jauh lebih luas, menyebar, bisa terjadi pada siapa saja, dan tentunya di mana saja. Seseorang yang sedang berlibur dan menginap di sebuah hotel bisa menjadi korban bom bunuh diri seperti contoh kasusnya dalam Bom Bali I dan Bom Bali II.

Meluasnya aksi terorisme diseluruh belahan dunia membuat banyak orang berusaha mengaitkannya dengan kemanan global (global security). Dalam bukunya Ann E. Robertson yang berjudul Terrorism and Global Security[1], mengemukakan bahwa terorisme yang terjadi sekarang ini yang bisa terjadi kapan saja, dan di mana saja merupakan ancaman yang serius bagi kemanan global dewasa ini. Runtuhnya World Trade Center (WTC) dan simbol pertahanan Pentagon pada tanggal 11 September 2001 lalu di Amerika Serikat dianggap bahwa ancaman terorisme terhadap kemanan kehidupan manusia (human security) tampaknya semakin mengkhawatirkan, beragam dan meluas.

Dalam pendefinisan terorisme yang tidak pernah memiliki definisi dan pendekatan tunggal. Ini terjadi karena usaha mendefinisikan terorisme hampir selalu bersifat subjektif. Dalam Bruce Hoffman, “the decision to call somebody or label some organization ‘terrorist’ becomes almost unavoidably subjective, depending largely on one sympathizes with or opposes the person/group/ cause concerned. Dalam sejarahnya, terorisme tidak hanya monopoli masyarakat sipil, tetapi juga merupakan reprsentasi dalam tindakan negara (state sponsored terrorism). Rezim-rezim otoriter di Amerika Latin, Indonesia, dan bekas Uni Soviet menggunakan aksi-aksi kekerasan untuk menteror kelompok-kelompok oposisi. Tindakan militer AS terhadap rezim-rezim yang dianggap sebagai pendukung teoris, misalnya, Afganistan dan Irak bagi penduduk setempat merupakan aksi teror sendiri. AS yang pertama sekali mendeklarasikan “war on terrorism” belum memberikan  definisi yang jelas terhadap terorisme sehingga orang bisa memahami makna sesungguhnya tanpa diliputi keraguan. Pemerintah AS mendefinisikan terorisme sebagai “premeditated politically motivated violence against non-combatant targets by subnationl groups or clandestine agents, usually intended to influence an audience”(US Department of State, 2001:3)[2]. Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri mendefinisikan terorisme sebagai[3] :

Terrorism is an anxiety-inspiringmethod of repeated violent action, employed by (semi-) clandestine individual, group, or state actors, for idiosyncratic, criminal or political reasons, whereby-in contrast to assassination-the direct targets of attacks are not the main targets. The immediate human victims of violence are generally choosen randomly (targets of opportunity) or selectively (representative or symbolic targets) from a target population, and serve as message generators. Threat-and violence-based  communication processes between terrorist (organization), (imperiled) victims, and main targets are used to manipulate the main target (audience(s)), turning it into a target of terror, a target of demands, or a target of attention, depending on whether intimidation, coercion, or propaganda is primarily sought”

Menurut Kiras, Terorisme merupakan fenomena yang kompleks, sehingga definisinya sangat luas. Namun, meskipun demikian semuanya hampir berangkat dari titik mulai yang sama[4]. Terorisme mempunyai karaterisik yang utama, yakni penggunaan kekerasan dalam aksinya. Kekerasan yang digunakan meliputi pembajakan, penculikan, bom bunuh diri, dan lain sebagainya masih banyak contoh mengenai aksi kekerasan dalam terorisme. Menurut Kiras, yang menjadi alasan kesulitan dalam mendefinisikan terorisme karena gerakan tersebut sering kali disebabkan oleh banyak faktor. Kiras memberikan contoh bagaimana gerakan rakyat Chechnya yang didorong oleh motivasi untuk melepaskan diri dari Federasi Rusia, menjadi sebuah bangsa merdeka.

Terorisme dibedakan secara tradisonal dengan bentuk-bentuk kriminal lainnya. Ini karena terorisme senantiasa mempunyai muatan atau terpengaruh oleh kepentingan politik. Viotti dan Kauppi[5] mengemukakan, “terrorism, as politically motivated violence, aims at achieving a demoralizing effect on publics and governments”. Bruce Hoffman mengemukakan bahwa tindaan terorisme biasanya dirancang untuk mengkomunikasikan sebuah pesan. Biasanya, hal ini dilakukan dan dipahami serta dilakukan dalam cara yang simultan merefleksikan tujuan-tujuan khusus dan motivasi kelompok, yang disesuaikan dengan sumber-sumber dan kapabilitas, dan mengambil sejumlah target di mana tindakan tersebut yang menjadi tujuan.

Terorisme menggunakan kekerasan untuk menarik perhatian akan maksud atau alasan di balik tindakan mereka. Mereka (para terorisme) berusaha membuat rasa takut kepada masyarakat dan pemerintah dengan cara mencederai orang, barang milik atau keduanya mereka lakukan. Jika orang-orang ketakutan, dalam hal ini maka diharapkan pemerintah akan setuju untuk memenuhi tuntutan mereka sebagai usaha menghentikan kekerasan yang terjadi. Secara sejarah, terorisme paling sering menggunakan senjata tradisional seperti pisau, memasukkan bom dalam pesawat, ataupun menabrakkan truk dengan muatan penuh bom ke tempat-tempat yanag menjadi target. Dalam banyak kasus, mereka memasang bom dalam tubuhnya untuk diledakkan di tempat keramaian yang sedang berlangsung atau taktik ini sering disebut sebagai taktik bom bunuh diri.

Selanjutnya, terorisme menjadikan orang-orang yang tidak bersalah sebagai target. Meskipun begitu, dalam beberapa kesempatan, mereka mampu membunuh tokoh-tokoh politik penting yang mereka anggap bertanggung jawab atas keluhan dan tuntutan mereka. Di Rusia, teroris membunuh Czar Alexander II pada tahun 1881, Presiden Mesir nwar Sadat tahun 1981, dan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin pada tahun 1995 yang dilakukan oleh kelompok ektrimis Yahudi yang marah kepada Rabin karena membuat kesepakatan dengan damai dengan Palestina. Namun, walau demikian sebagian besar korban terorisme tetaplah masyarakat biasa atau masyarakat yang tidak berdosa yang sedang belanja, liburan atau bahkan sedang bersantai di Cafe. Contohnya, para penumpang pesawat yang ditabrakkan ke Gedung WTC juga adalah orang-orang yang tidak bersalah apapun atas terjadinya “penderitaan”  para pelaku terorisme. Menurut Robertson, teroris memilih target biasanya dengan suatu alasan tertentu yang bersifat simbolik. Di Indonesia, Bali menjadi target teroris karena dianggap sebagai tempat tujuan wisata utama wisatawan asing dari belahan dunia. Sebagian besar korban Bom Bali  adalah orang-orang Australia, Asia, Indonesia, dan banyak dari Eropa dan Amerika. Sebagai sebuauh tempat tujuan wisata mancanegara, Bali merupakan surga bagi turis asing, yang dalam pandangan teroris harus dilawan dalam rangka jihad berdasarkan kepercayaannya.

Terorisme selalu berusaha menarik perhatian atas maksud-maksud dari apa yang mereka lakukan. Mereka seolah-olah ingin menciptakan sebuah imageyang tidak bisa dilupakan atau tidak terlupakan oleh zaman. Seolah mereka juga ingin memberitahukan akan kehadiran mereka, dan menyampaikan tuntutan mereka kepada khalayak yang lebih luas. Menurut Brigitte Nacos seorang ahli terorisme dan media mengemukakan bahwa, “Terrorism do not want to win the hearts of....the people their target and even not those who look on in the international realm”. Menurutnya mereka menginginkan perhatian, dan mereka ingin tahu apa yang mereka maksud dan inginkan.  Bila kita lihat masa kini, usaha-usaha para terorisme untuk mendapatkan perhatian mndapat “support” yang relatif cukup besar dari media. Di tengah kapitalisasi dan komersialisasi, media lebih cenderung untuk meliput hal-hal yang sensasional dan berdarah. Dalam kasus dan konteks yang terjadi di Indonesia, aksi terorisme mendapatkan liputan yang luas dengan menajamkan sisi sensasional, kerusakan, dan darah yang secara tidak langsung membuat tujuan para terorisme tercapai, yaitu publikasi atas teror yang mereka lakukan.

Dalam kasus terorisme yang semakin meluas sehingga mendapatkan banyak perhatian mata dunia. Sehingga terorisme miliki beberapa tipologi, seperti yang yang diperkenalkan oleh Gregory D. Miller yang mengkategorikan terorisme melalui riset berbasis observasi dari kasus-kasu tindakan terorisme yang pernah terjadi dalam pemerintahan global. Dalam risetnya, Miller menyatakan setidaknya ada 4 jenis kategorisasi terorisme, yaitu: terorisme separatis-nasiona, terorisme revolusioner, terorisme reaksioner, dan terorisme religius.[6] Terorisme separatis-nasional adalah terorisme yang terjadi dalam lingkup pemerintahan suatu negara dimana ada kelompok-kelompok tertentu yang merasa tidak puas atau kecewa terhadap kebijakan pemerintahan yang sedang berlangsung, baik politis maupun sosial yang berujung pada tindakan teror untuk melepaskan diri dari kedaulatan negara tersebut dengan melakukan pemberontakan. Contoh-contoh kasusnya adalah seperti masalah nasionalisme Tamil di Sri Lanka, Gerakan Aceh Merdeka, dan lain-lain.

Selanjutnya, Terorisme revolusioner merupakan kategori terorisme yang menggunakan kekerasan dan teror dalam rangka mengubah tatanan poliik suatu negara. Dalam mengatasi permasalahan ini negara menggunakan cara-cara seperti perubahan atau penambahan kebijakan hukum. Contohnya adalah kasus kelompok teroris Red Brigade di Italia pada tahun 1969 sampai pada tahun 1980. Sedangkan terorisme reaksioner merupakan kategori terorisme yang sulit dilacak keberadaannya karena kelompok mereka kecil dan hanya sedikit, berpindah-pindah, dan relatif tidak aktif atau kurang fokus. Terorisme reaksioner bersifat reaktif terhadap isu-isu atau masalah tertentu yang sedang mengemuka pada saat itu. Mereka melakukan teror dengan cara membunuh orang-orang yang dianggap tidak sesuai dengan pikiran mereka, melakukan pengeboman terhadap infrastruktur simbolik tertentu, dan lain-lain.

Tipologi terorisme yang terkahir menurut Gregory D. Miller adlah terorisme religius. Kategori terorisme ini menggunakan asas keyakinan tertentu sebagai dasar untuk melakukan tindakan terorisme. Tentu hal ini membuat negara sulit dalam mengatasi aktivitas terorisme tersebut karena dianggap akan melanggar keyakinan mereka dan juga selain itu sangat  sensitif. Penangkapan melalui jalur hukum atau dimasukkan dalam penjara dirasa kurang efektif dalam mengatasi terorisme yang berbasis religius ini. sebagai contoh, pada tahun 1995 Al-Qaeda menempatkan bom di dalam penerbangan Trans-Pacific,percobaan pembunuhan terhadapp Presiden Bill Clinton tahun 1995, penyerangan Bandara Los Angeles tahn 1999, dan yang dituding menjadi dalang serangan WTC dan Pentagon pada 11 September 2001.

Menjelang abad 21, terorisme telah menyebar luas ke seluruh dunia atau mengglobal. Aktor dan aksi yang mereka lakukan telah menembus batas-bataas negara. Kita ambil contoh sebuah kasus di Indonesia, para pemimpin teroris justru berasal dari Malaysia, negara tetangga yang seringkali terlibat sengketa, perseturuan, baik karena kasus TKI ataupun mengenai pencaplokan batas wilayah. Nordin M. TOP dan Dr. Azhari adalah dua tokoh teroris paling hebat dan menurut beberapa sumber mengatakan mereka berdua adalah otak di balik aksi-aksi terorisme yang terjadi di Indonesia. Meluasnya aksi terorisme ke seluruh dunia, dan menjadikannya fenomena global disebabkan oleh setidaknya tiga faktor.[7]

Faktor Pertama, perluasan transfortasi udara yang tidak bisa dilepaskan dari tren dunia global melalui banyaknya kebutuhan yang harus dipenuhi. Aliran barang, modal dan jasa serta manusia menjadi semakin cepat karena adanya faktor katalis, yakni perkembangan teknologi komunikasi dan semakin rendahnya biaya transfortasi sehingga orang bisa pergi kemana saja tanpa dibatasi ruang dan waktu. Keduanya memberikan kontribusi yang sangat signifikan bagi arah globalisasi dunia saat ini, termasuk di dalamnya meluasnya jaringan terorisme menurut Kiras, setelah menjalani kontrol dalam bentuk paspor, seorang teroris dapat secara  relatif bebas bergerak dari satu negara ke negara lainnya. Kita melihat sebagai contoh kasus yang terjadi di Uni Eropa, seseorang yang sudah melakukan perjalanan masuk ke negara salah satu anggota Uni Eropa maka ia dapat secara leluasa bepergian kemanapun yang dia suka. Oleh sebab itu, menurut Kiras, teroris Tentara Jepang (Japanese Red Army) dapat melatih teroris dalam suatu negara dan kemudian melaksanakan atau melakukan aksi di negara yang jauh seperti yang terjadi pada kasus di Lod Airport di Israel pada tahun 1972.

Faktor Kedua, meluasnya terorisme ke seluruh dunia adalah kesamaan ideologi dan kepentingan di seluruh dunia. Globalisasi dunia bukan hanya menyangkut mobilitas barang dan manusia, tetai juga gagasan ataupun ide. Perkembangan teknologi telah menciptakan masyarakat jaringan (network society) seperti yang dikatakan oleh Manuel Castel. Masyarakat jaringan sehingga memudahkan kelompok-kelompok masyarakat satu dengan kelompok masyarakat lainnya membangun sebuah komunikasi yang aktif. Teknologi berupa komunikasi juga membangun dan membuka ruang yang lebih besar mmasing-masing kelompok untuk menggalang simpati atau hal lainnya. Sebagai contoh, terorisme yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam radikal kiranya mencerminkan kodisi seperti yang dijelaskan. Demikian juga halnya dengan berbagai ideologi politik bersama telah mendorong kerja sama dan pertukaran terbatas di antara bermacm-macam kelompok Irish Republican Army (IRA) atau separatis Bosque, Euzkadi Ta Askatasuna (ETA).

Globalisasi telah membawa banyak keseragaman budaya, setidaknya di mata para pengkritik globalisasi tersebut. Tentu hal ini telah menyulut banyak kelompok untuk kembali mencari budaya mereka sendiri dengan cara apapun. Jika globalisasi memunculkan lokalisasi, maka dalam ranah budaya, globalisasi juga memunculkan kesadaran akan kebudayaan lokal. Dalam situasi seperti ini, pemberontakan atas budaya dominan tampaknya tidak bisa dihindarkankan lagi.

Ideologi dan agama juga menjadi faktor penjelas lainnya suatu tindakan terorisme. Pada masa lalu, terorisme ideologis biasanya banyak diinspirasi oleh kaum Marxis-Leninis.  Namun sekarang, seiring bubarnya Uni Soviet dan dominasi neoliberal, gerakan terorisme lebih diwarnai oleh persoalan-persoalan ideologis keagamaan.  Di Indonesia jika kita perhatikan berbagai pernyataan pelaku teroris, Imam Samudra misalnya, maka ideologi dan alasan-alasan agama tampaknya menjadi yang paling kuat mengapa seseorang menjadi teroris. Meskipun intepretasi atas agama dan kekerasan dalam banyak kasus pelaku terorisme di Indonesia, analisis Martin dan Schumann tampaknya benar. Menurutnya, manakala 95 persen peningkatan penduduk berlangsung di daerah-daerah paling miskin, pertanyaan yang muncul bukan lagi apakah akan terjadi perang baru, melainkan bagaimana bentuk perang itu dan siapa yang akan melawan siapa[8].

Perang melawan terorisme tidak bisa dilepaskan dari peran Amerika Serikat. Hal ini karena selain AS sering menjadi sasaran tembak juga selama lebih kurang 7 dekade sejak Perang Dunia Kedua telah mempresentasikan sebagai kekuatan global. Bahkan, sejak keruntuhan Uni Soviet di penghujung tahun 1980-an, posisi AS menjadi satu-satunya target penting aksi terorisme, terutama yang berasal dari kaum fundamentalisme Islam. Di sisi lain, isu mengenai terorisme telah menjadi agenda global karena peran signifikan Amerika Serikat[9]. Dalam hal ini bagaimana terorisme mempengaruhi tatanan global tampaknya berada dalam dua sudut pandang yang berbeda. Terorisme merepresentasikan tatanan global yang bersifat multipolar. Dalam hal ini, kekuatan-kekuatan menyebar ke dalam banyak tempat dan dimensi. Serangan WTC, Serangan Madrid, Bom Marriot, Bom Bali, dan banyak lainnya menjadi beberapa contoh kasus di mana kekuatan-kekuatan kecil mampu mempengaruhi secara signifikan tatanan atau setidaknya orientasi kebijakan di tingkat global. Di sisi lain, terorisme justru mendorong struktur global yang lebih bersifat bipolar atau mungkin justru unipolar.Tahun 2003 sejak serangan terorisme yang menguncang AS dan Eropa, Uni Eropa membuat draf European Security Strategy, di mana di dalamnya mereka memasukkan terorisme dan senjata pemusnahan massal (weapons of mass destruction) sebagai lima besar ancaman keamanan UE. Pengakuan terhadap ancaman ini membawa UE untuk mengadopsi European Union Counter-Terrorism Strategy pada tahun 2005. Komitmen utama strategi ini adalah untuk “menanggulangi terorisme dengan tetap menghormati Hak Asasi Manusia (HAM), dan menjadikan Eropa tempat yang aman, memungkinkan warga negara untuk tinggal di wilayah yang aman, bebas dan adil”. Tujuan ini akan dicapai dengan melalui empat pilar utama strategi melawan terorisme, yaitu:[10]

Prevention

Mencegah orang-orang masuk ke dalam jaringan teror, baik dalam lingkup UE, maupun internasional. Upaya prevention dilakukan dengan cara dialog antaragama dan antarbudaya, serta meminimalisir kerenggangan yang terjadi antara imigran dan penduduk asli di UE. Beberapa negara anggota UE, seperti Jerman dan Perancis kini tengah menghadapi isu yang cukup rumit dengan imigran. Para imigran kebanyakan berasal dari Asia Tengah dan Timur Tengah. Pada waktu mereka tiba di Eropa, kebanyakan dari mereka tidak memiliki kemampuan dan keahlian untuk bekerja dan kemampuan berbahasa Inggris atau bahasa asli negara tersebut. akibatnya, para imigran kesulitan mendapatkan pekerjaan dan banyak dari mereka yang justru menjadi penganggur. Mereka memperoleh kesulitan untuk membaur dengan penduduk lainnya, sehingga mereka tinggal di wilayah-wilayah tertentu di mana mayoritas penduduknya adalah sesama imigran. Hal ini tentu menimbulkan disintegrasi dan juga prasangka dari warga kulit putih terhadap para imigran, terutama pada mereka yang berasal dari Asia Tengah dan Timur Tengah, yang mayoritas beragama Islam. Untuk menanggapi hal tersebut, UE mencoba menjalankan kebijakan yang bertujuan untuk mengubah sterotype masyarakat luas tentang Islam sebagai agama kaum teroris. Melalui Community Law yang mencakup The Charter of Fundamental Freedoms, UE berusaha menyebarkan kesadaran bahwa Islamopobhia adalah sesuatu yang salah[11], dan yang harus diperangi adalah terorisme bukan agama Islam.

Protection

Melindungi warga negara serta infrastruktur di UE, dan meminimalisir kerentanan mereka terhadap serangan. Hal ini salah satunya coba diraih dengan melalui penguatan keamanan batas negara. Pada saat ini, UE telah memiliki badan keamanan batas Eropa yang disebut sebagai FRONTEX. Badan ini bertanggung jawab dalam manajemen keamanan perbatasan antarnegara anggota.

Pursue

Memperkuat upaya kolektif Uni Eropa untuk menjalankan keamanan kolektif demi menghadapi ancaman. Hal ini dilakukan dengan cara memperkuat badan-badan keamanan yang sudah dimiliki oleh UE.

Response

Prinsip ini menuntut UE agar bekerja sama lebih erat dengan organisasi internasional dan negara lain. Contohnya PBB, NATO, dan negara-negara Dunia Ketiga. Usaha-usaha ini dimunculkan karena kesadaran akan bahwa sifat terorisme yang tersebar secara global, sehingga diperlukan kerja sama untuk bisa saling berbagi informasi mengenai aktivitas terorisme, serta berdiskusi mengenai strategi terbaik untuk menghadapi dan menanggulangi ancaman terorisme.

Sementara kasus terorisme di Asia Tenggara sendiri memiliki potensi yang besar terhadap ancaman terorisme. Secara geografis letak negara-negara di Asia Tenggara memberi sumbangsih kepada penyebaran militan-militan terorisme yang dipermudah dengan penjagaan dan masih terfokusnya negara-negara di kawasan ini terhadap konflik perbatasan. Selain itu juga, beberapa negara Asia Tenggara memiliki sejarah pergerakan yang kental dengan radikalisme bermotif agama. Gerakan terorisme di Asia Tenggara bisa dipahami bahwa gerakan ekstrimis memang telah berakar sejak lama di dalam lingkungan konflik, seperti misalnya konflik SARA di  Indonesia, baik dengan simbol-simbol agama tertentu ataupun hal lainnya. Hal seperti ini juga terjadi di Thailand dan Filipina, maupun di negara-negara Asia Tenggara lainnya. Hanya saja gerakan tersebut semakin terkontaminasi  dengan pemikiran ala Timur Tengah yang berimplikasi pada peningkatan aksi teror. Negara-negara Asia Tenggara diketahui sebagai kawasan perekrutan dan tempat pengoperasian jaringan terorisme internasional. Terdapat organisasi-organisasi radikal yang dianggap sebagai organisasi terorisme yang memiliki hubungan dengan jaringan teroris Al-Qaeda. Di antaranyaJemaah Islamiyah (JI), Abu Sayyaf Group (ASG), Moro Islamic Liberation Front (MILF), dan Kumpulan Mujahidin Malaysia (KMM).[12]

Mengenai kasus terorisme, berbagai usaha dan upaya telah dilakukan oleh ASEAN sebagai organisasi kawasan. Kerja sama sudah dijalin sejak terorisme menjadi isu global yang ditandai dengan semakin maraknya aksi-aksi terorisme di berbagai belahan dunia. Inisiatif kerja sama ASEAN diawali pada pertemuan Menteri Dalam Negeri antarnegara anggota ASEAN dengan mengeluarkan deklarasi ASEAN untuk aksi-aksi kejahatan lintas batas negara (ASEAN Declaration on Transorganized Crime). Tindak lanjutnya adalah dibentuknya pertemuan tingkat menteri untuk mengatasi aksi-aksi kejahatan lintas negara (AMMTC) . AMMTC diberi mandat untuk mengkoordinir aktivitas-aktivitas badan lainnya, seperti organisasi para Menteri Hukum, dan Kejaksaan Agung, para pemimpin Kepolisian, para Menteri Keuangan, Direktur Jenderal imigrasi dan bea cukai, dan lain sebagainya untuk investigasi pemeriksaan dan rehabilitasi pelaku kejahatan lintas batas negara termasuk di dalamnya terorisme internasional.

Respons negara-negara dunia atau global sangat penting dalam mengatasi permasalahan penanganan terorisme, karena keberadaannya menjadi ancaman global yang sangat serius. Terorisme bukan hanya mengancam keamanan satu negara atau kawasan, sehingga usaha mengatasinya baik karena motivasi agama, ataupun ideologi politik harus diletakkan dalam kerangka yang lebih luas melintasi batas-batas regional. Ada beberapa cara yang bisa digunakan untuk mencegah terorisme di seluruh dunia, di antaranya adalah dengan menghilangkan atau mengurangi sedikit demi sedikit akar penyebab terorisme dan penegakan hukum yang tegas.

Berikutnya cara mengatasi terorisme adalah melalui kerja sama internasional dan global. Negara-negara di dunia dapat bersandar pada resolusi Dewan Keamanan PBB mengenai penanganan masalah terorisme. Dalam pasal 25 dari piagam PBB yang berbunyi “The members of the United Nations agree to accept and carry out the decisions of the security Council in accordance with the present Charter”. Salah satu resolusi DK PBB adalah resolusi nomor 1368 tanggal 12 September 2011 yang berisikan sebagai berikut :

Calls those state to work together urgently to bring justice the perpetrators, organizers and sponsors of these terrorist attacks and stresses that those responsible for aiding, supporting or harbouring the perpetrators, organizers and sponsors of these acts will be held accountable”.

Tatanan dunia yang timpang tidak bisa diselesaikan oleh satu negara, tetapi membutuhkan banyak negara. Demikian juga, mobilitas para terorisme lintas batas negara hanya mungkin dicegah dan diselesaikan melalui kerja sama antara satu atau lebih negara. Oleh karena itu, usaha untuk mendorong kerja sama di tingkat regional dan global harus terus dilakukan.

[1] Ann E. Robertson, 2007. Terrorism and Global Security.New York: Fact on File, INC

[2] Paul D. William (ed), 2008.Security Studies in Introduction, London: Routledge, hal. 172.

[3] Yanyan Mochammad Yani, 2010. “Kemenangan Partai Demokrat dan Masa Depan Perang Global Melawan Terorisme”,http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/kemenangan_partai_demokrat_dan_masa_depan.pdf

[4] James D. Kiras, 2005. “Terrorism and Globalization”.Dalam John Baylis & Steve Smith (eds.) The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations.Third Edition, New York: Oxford University Press, hal. 480.

[5] Paul R. Viotti and Mark V. Kauppi, 2007. International Relations and World Politics: Security, Economy, Identity, Third Edition, Upper Saddle River, New Jersey: Pearson Education Inc. hal. 276.

[6] G.D. Miller, 2007. Confronting Terrorism: Group Motivation and Succesful State Policies, Terrorism and Political Violence,19:331-350, (online pdf)http://interntional.ucia.edu/cms/files/FTPV-A24289_P.pdf, hal. 338-343, diakses pada 22 Desember 2015

[7] Kiras, Op. Cit., hal 482-483

[8] Hans-Peter Martin dan Harald Schumann, 2005. Jebakan Global: Serangan Terhadap Demokrasi dan Kesejahteraan, Jakarta: Hastra Mitra-Institute For Global Justice, hal. 44.

[9] Yanyan Mochammad Yani, Loc. Cit.

[10] The European Union Counter-Terrorism Strategy. Council of the European Union, 30 November 2005,http://register.consilium.eu.int/pdf/en/05/st14469-re04.end05.pdf,diakses 18 Desember 2012

[11] European Union Monitoring Center on Racism and Xenopobhia, 2006. Muslim in the European Union: Discrimination and Islamopobhia,Austria: Printer Manz Crossmedia GmbH & Co KG, hal. 64.

[12] Budi Winarno, 2014. Dinamika Isu-Isu Global Kontemporer. Yogyakarta : Center of Academic Publishing Service (CAPS), hal. 189.

[13] Kumar Ramakrisna dan See Seng Tan, 2003. After Bali Threat of Terrorism in Southeast Asia,Singapore: Institute of Defense and Strategic Studdies, hal. 9.

DAFTAR PUSTAKA

Kiras, James D. 2005. “Terrorism and Globalization”.Dalam John Baylis & Steve Smith (eds.), The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations,Third Edition. Oxford University Press

Martin, Hans-Peter dan Harald Schumann. 2005. Jebakan Global: Serangan Terhadap Demokrasi dan Kesejahteraan. Jakarta: Hastra Mitra-Institute For Global Justice

Ramakrisna, Kumar dan See Seng Tan. 2003. After Bali Threat of Terrorism in Southeast Asia,Singapore: Institute of Defense and Strategic Studdies

Robertson, Ann E. 2007. Terrorism and Global Security.New York: Fact on File, INC

Viotti, Paul R. dan Mark V. Kauppi. 2007. International Relations and World Politics: Security, Economy, Identity, Third Edition. (Upper Saddle River, New Jersey: Pearson Education Inc

Williams, Paul D. 2008.Security Studies, an Introduction.New York: Routledge

Winarno, Budi. 2014. Dinamika Isu-Isu Global Kontemporer. Yogyakarta: Center of Academic Publishing Service (CAPS

Online

Yani, Yanyan Mochammad. 2010. “Kemenangan Partai Demokrat dan Masa Depan Perang Global Melawan Terorisme”.http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/kemenangan_partai_demokrat_dan_masa_depan.pdf.

The European Union Counter-Terrorism Strategy. Council of the European Union. 30 November 2005.  http://register.consilium.eu.int/pdf/en/05/st14469-re04.end05.pdf,diakses 18 Desember 2012

Miller, G.D. “Confronting Terrorism: Group Motivation and Succesful State Policies, Terrorism and Political Violence.2007,(online pdf).  http://interntional.ucia.edu/cms/files/FTPV-A24289_P.pdf, hal. 338-343, diakses 22 Desember 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun