Keamanan internasional di era globalisasi masih tetap merupakan isu yang sangat penting sekalipun perang dingin telah berakhir lebih dari dua dekade yang lalu. Mendiskusikan isu keamanan internasional tidak lagi hanya berbicara tentang kemanan negara, melainkan juga berkaitan dengan keamanan “manusia” (Barry Buzan dkk dalam Budi, 2014). Dalam pandangan konvensional, masalah keamanan biasanya dipersepsikan dan di tangani dalam konteks hubungan antarnegara. Artinya, bagaimana menjaga dan melindungi keamanan suatu negara dari ancaman pihak lain, khususnya yang berkaitan dengan ancaman militer yang berasal dari negara lain. Dalam pengertian ini, keamanan dipahami sebagai “keamanan tradisional”.
Dalam perkembangannya telah terjadi suatu pergeseran konsep keamanan tradisional ke keamanan non-tradisional. Konsep keamanan non-tradisional di kaitkan dengan kasus perdagangan manusia (human trafficking). Perjalanan sejarah menunjukkan bahwa perdagangan manusia telah dimulai sejak zaman kerajaan dan kolonialisme yang dikenal dengan era perbudakan. Perbudakan dipandang sebagai konsekuensi logis dari penjajahan dan kekuasaan pemimpin yang membutuhkan sumber daya manusia untuk kepentingan negara/dinastinya.
Sejarah kelam kemanusian yang membuat hati miris dan sulit dilupakan adalah perbudakan. Penistaan derajat manusia ini terjadi pada abad pertengahan bahkan memasuki abad 21. Peran konferensi Asia Afrika di Bandung yang diprakarsai Presiden pertama Indonesia Soekarno menjadi salah satu pencetus munculnya kemerdekaan perbudakan, juga mendorong penghapusan sistem perbudakan. Perdagangan manusia atau yang dikenal dengan perdagangan budak banyak terjadi di belahan dunia. Zaman kolonialisme atau yang disebut sebagai masa-masa imperialisme klasik membawa banyak cerita duka tentang eksploitasi manusia. Pada saat itu manusia dan tahanan kerajaan diperlakukan sebagai komoditas utama yang dapat diperjualbelikan. Bahkan katanya manusia-manusia kala itu juga diperdagangkan di pasar budak internasional yang telah tersistem.
Dalam sejarahnya, perjuangan melawan perbudakan telah muncul sejak tahun 1562, dipimpin oleh Raja Kongo yaitu Zanga Bamba yang mengirimkan protes terhadap Raja Portugal. Pada masa itu perdagangan budak dianggap sebagai tindak kejahatan kemanusiaan yang melibatkan kelompok sindikat internasional. Permainan negara-negara Barat yang membutuhkan modal besar, pasar yang luas, sumber bahan mentah, dan energi serta buruh yang murah. Untuk itulah negara-negara Barat melakukan kolonialisasi. Beberapa pemimpin Afrika Barat berusaha dengan melarang pengangkutan budak melewati wilayah atau daerah kekuasaannya. Namun usaha tersebut selalu gagal karena usaha atau perjuangan tersebut hanya bersifat lokal dan tanpa didukung senjata yang memadai. Sementara para pemburu budak di Eropa rata-rata memiliki senjata api yang sangat ditakuti pada saat itu. Sehingga, sekitar 11 juta warga Afrika menjadi korban kekejaman dalam bisnis eksploitasi manusia lewat perbudakan ini selama empat abad di masa lalu.
Dalam era globalisasi saat ini, eksploitasi manusia menjadi fenomena yang sangat kompleks dan saling tumpang tindih satu dengan yang lainnya. Konflik dalam hal ini menyangkut persoalan ketenagakerjaan, migrasi, kemiskinan, kekerasan, dan kejahatan. Perempuan dan anak menjadi korban paling banyak jual beli manusia di era globalisasi, dengan tujuan untuk eksploitasi seksual untuk kepentingan industri seksual yng tentu mengabaikan kepentingan korban dan memperlakukan mereka bukan lagi sebagai manusia namun cenderung sebagai komoditas. Maka dari itu, perlu dipahami bahwa penanganan masalah perdagangan manusia membutuhkan andil yang besar dari negara sebagai sebuah sistem hukum yang berkewajiban menjamin penuh Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap selurh warga negaranya. Jangan sampai negara yang memiliki otoritas politik dan ekonomi turut mengabaikan harkat dan martabat kemanusian sehingga perdagangan manusia ini menjadi salah satu sektor pendukung pendapatan lokal.
Keamanan non-tradisional dalam era globalisasi memiliki makna yang luas dan sifatnya non-militer, dalam arti pemikiran yang dikaitkan dengan konsep keamanan terhadap individu, yang lebih dikenal dengan konsep human security. Konsep ini didasarkan pada dua komponen kebebasan negatif, yakni bebas rasa takut (freedom from fear) dan bebas dari kekurangan (freedom from want), yang merupakan bagian dari hak yang diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dengan demikian, human security mencakup berbagai dimensi keamanan, seperti keamanan ekonomi, keamanan pangan, keamanan kesehatan, keamanan lingkungan, keamanan personal, keamanan masyarakat, dan keamanan politik. Dalam hal ini human security akan digunakan untuk menganalisis kasus yang berkaitan dengan keamanan individu tentang permasalahan perdagangan manusia (human trafficking).
Human Trafficking atau yang sering kita kenal dengan perdagangan manusia telah menjadi isu yang mengemuka dalam hubungan internasional saat ini dan telah banyak menjadi bahasan di forum-forum internasional serta dipahami sebagai permasalahan global. Menurut United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) salah satu Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang juga memiliki konsentrasi terhadap permasalahan mengenai perdagangan manusia dan penyelundupan imigran gelap mendefinisikan perdagangan manusia sebagai tindak kejahatan terhadap manusia dengan cara merekrut, mengangkut, memindahkan, menyembunyikan atau menerima seseorang melalui kekerasan, paksaan dan tindakan jahat lainnya dengan tujuan untuk mengeksploitasi mereka. Penyelundupan imigran adalah tindak kejahatan untuk mendapatkan uang atau keuntungan materi lainnya dengan cara memasukkan orang kedalam suatu negara dimana orang tersebut bukan merupakan warganegara negara tersebut.
Perdagangan manusia bukan hanya merupakan persoalan tindakan kejahatan, melainkan pula terkait erat dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Pemahaman ini berkaitan dengan hak-hak paling dasar dari manusia yaitu mendapatkan kehidupan yang baik, sejahtera hingga pengakuan hak individu sebagai manusia yang bermartabat. Oleh karena itu, dalam kasus perdagangan manusia, nilai-nilai tersebut telah di langgar dengan memperlakukan manusia layaknya sebuah barangan dagangan seperti properti dan produk komersial yang bisa di eksploitasi. Perdagangan manusia menjadi isu sentral dalam era globalisasi saat ini karena eksistensi dari kejahatan sudah menjadi epidemi di berbagai negara.
Definisi mengenai perdagangan manusia (human traffcking) telah dibahas dalam forum-forum internasional dan dipahami sebagai sebuah masalah global. Badan Perserikan Bangsa-Bangsa (United Nations) telah membentuk unit kerja khusus yang dinamakan United Nations Office on Drugs an Crime (UNODC) yang berkonsentrasi juga dalam masalah perdagangan manusia dan penyelundupan imigran gelap. Menurut UNODC perdagangan manusia diartikan sebagai :
“Perdangan manusia adalah pendapatan (bisnis) yang diperoleh dengan cara yang jahat, seperti pmaksaan, penipuan, atau muslihat dengan tujuan untuk mengeksploitasi mereka. Penyelundupan imigran adalah usaha untuk mendapatkan uang atau keuntungan material lainnya dengan memasukkan seorang secara ilegal ke dalam sebuah negara, di mana seseorang tersebut bukan merupakan seorang warga negara”.
Dalam protokol Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), perdagangan manusia adalah kegaiatan mencari, mengirim, memindahkan, menampung atau menerima tenaga kerja dengan ancaman, kekerasan atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, Budi (2014:327).