Keragaman dan perbedaan adalah sebuah keniscayaan di mana kita semua tidak bisa memungkirinya lagi. Adanya pria dan wanita, kiri dan kanan adalah contoh sederhana dari keragaman dan perbedaan. Begitu pun dengan pemikiran dan kepercayaan yang dimiliki oleh setiap orang, pasti berbeda. Indonesia sendiri, sebagaimana yang diungkapkan oleh Hildred Geertz—antropolog Amerika Serikat—memiliki lebih dari 300 kelompok etnis yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya dengan identitas budayanya sendiri-sendiri. Dalam hal agama, khususnya, hampir semua agama besar yang ada di dunia di wakili oleh penduduk Indonesia, di luar dari agama-agama maupun kepercayaan asli Indonesia yang banyak jumlahnya. Jadi, melihat fakta ini, tak salah jika Indonesia dikatakan sebagai negara yang plural, jamak.
Dengan keragaman dan perbedaan yang ada pada bangsa Indonesia, tak lantas menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang masyarakatnya harus bertikai satu dengan yang lain karena keragaman yang ada. Dengan kata lain, keragaman dan perbedaan tak menjadi halangan bagi bangsa Indonesia untuk bersatu dan hidup berdampingan antara yang satu dengan yang lainnya. Pencapaiannya ini tentunya tak lepas dari penghormatan bangsa Indonesia terhadap Pancasila sebagai ideologi bangsa dan Bhinneka Tunggal Ika—berbeda-beda tapi tetap satu—sebagai cita-cita yang menopang kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Sekalipun Indonesia telah memiliki ideologi dan cita-cita yang menopang kehidupan berbangsa dan bernegara, Indonesia juga tidak luput dari ancaman dan tantangan yang dapat menimbulkan disintegrasi (perpecahan) bangsa. Hal ini dapat dilihat di beberapa daerah di Indonesia, didapati kerusuhan, perkelahian, ancaman terhadap pemeluk agama dan keyakinan tertentu, dan bentuk-bentuk radikalisme atau anarkisme yang lain. Kasus SARA seperti pengusiran warga Syiah Sampang, Madura (sumber); pembakaran mesjid di Tolikara, Papua (sumber); pembakaran gereja di Sinkil, Aceh (sumber); dan lain sebagainya. Tidak hanya sampai di situ saja, tindakan-tindakan tersebut bahkan ikut juga merembet ke ranah media sosial.
Teknologi yang seharusnya dapat mempermudah kita dalam keseharian kita, baik dalam mengumpulkan informasi atau pun berinteraksi dengan yang lain, banyak disalahgunakan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk menyebarkan sikap radikalisme dan anarkisme. Bahkan terkadang tanpa sadar kita sendiri ikut terlibat sebagai pelaku penyebaran tindakan tersebut.
Dengan banyaknya permasalahan ini, tentunya diperlukan tindak pencegahan yang dapat mengatasi permasalahan-permasalahan ini.
Dalam dunia nyata, sejak dulu kita telah melihat banyak tindakan pencegahan yang dilakukan, baik oleh aparat negara, masyarakat, individu atau pun kelompok. Seperti hal-hal yang dilakukan oleh Gus Dur ketika menjabat sebagai presiden ke-4 Republik Indonesia, yakni dengan meminta maaf kepada keluarga para korban pembantaian massal 1965-1966; mengusulkan pencabutan TAP MPRS No. XXV/1966 yang menyatakan bahwa PKI dan ormas-ormas adalah organisasi terlarang di Indonesia; dan mencabut Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 tentang agama dan adat Istiadat Cina. Hal serupa juga dilakukan oleh Megawati ketika menjabat menjadi presiden dengan menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional melalui Keputusan Presiden No. 19 Tahun 2002. Tentunya masih banyak tindakan pencegahan lain yang telah dilakukan untuk mengatasi masalah ini.
Masalahnya adalah ketika tindakan radikalisme dan anarkisme dilakukan bukan di dunia nyata, dengan kata lain tindakan-tindakan tersebut disebarkan melalui dunia maya seperti media sosial. Dengan kemudahan akses kepada internet, tindakan-tindakan tersebut menyebar dengan mudahnya di media sosial layaknya air sungai yang mengalir deras.
Meskipun begitu, tidak lantas melemahkan semangat para pejuang pencegah dan pemberantas tindakan radikalisme dan anarkisme ini. Di antara bukti nyata yang telah terlihat seperti gerakan#SaveJogja yang merupakan salah satu bentuk usaha yang dilakukan masyarakat sipil Yogyakarta untuk menanggulangi tindakan kekerasan dan intoleransi di Yogyakarta sejak 5 Mei 2016 lalu (sumber); juga gerakan#Tweet4Peace pada10 Februari 2016yang dipelopori oleh The Wahid Institute yang bekerja sama dengan Twitter Indonesia untuk mengampanyekan pesan damai di media sosial khususnya Twitter (sumber); dan upaya-upaya lain yang telah dilakukan oleh individu atau kelompok lainnya.
Dalam hemat penulis, ada banyak cara yang dapat kita lakukan untuk mencegah tindakan radikalisme dan anarkisme di internet, khususnya media sosial. Namun sederhananya, Â upaya yang dapat kita lakukan adalah, pertama dengan membiasakan diri kita menyebarkan tulisan-tulisan yang dapat mempererat kerukunan bukan sebaliknya; dan kedua, sebelum kita mengomentari tulisan-tulisan yang ada internet, yang sifatnya informatif, terlebih tulisan-tulisan yang dapat mempererat atau memecah kerukunan, kita harus terlebih dahulu memeriksa kebenaran informasi tersebut, sehingga kita dapat memberikan tanggapan yang tepat. Kedua hal ini tidak hanya dilakukan oleh diri kita, tetapi juga kita sosialisasikan kepada orang-orang terdekat kita, baik keluarga maupun masyarakat, sehingga kita dapat menciptakan lingkungan media sosial yang damai.
Jadi, mulailah dari diri kita sendiri dan sebarkan kepada orang-orang di sekitar kita. []
Salam Damai,.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H