Mohon tunggu...
Habibi Hidayat
Habibi Hidayat Mohon Tunggu... -

saya adalah habibi hidayat.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Iguana dan Buah Kaktus

20 April 2011   01:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:37 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Di daratan Afrika yang panas. Hiduplah seekor iguana yang tidak pernah seberuntung burung yang bisa terbang melampaui ketinggian pohon, bahkan pegunungan. Namun, dia mempunyai keyakinan pada perannya sebagai seekor iguana. Dia tetap mengamini dirinya sebagai iguana yang harus menunggu dan selalu menunggu, tanpa harus berdoa untuk memiliki sayap ataupun lidah yang panjang, yang tentu saja tidak dimilikinya.

Siang hari itu berlangsung dengan sangat lama dan teriknya, iguana melangkah di antara bebatuan dan tanah yang menyengatkan panasnya matahari di kaki, perut, hingga ekornya yang terseret-seret mengikuti langkahnya. Satu cara untuk mengatasi panas matahari itu, tentu saja adalah terus melangkah, dan terus melangkah. Hingga pada akhirnya ia tiba di sebuah pohon rindang lalu berhenti, untuk sekedar beristirahat.

Hari itu, iguana mengawali harinya dengan kemalasan. Ia keluar dari sarangnya saat matahari telah benar-benar terasa terik. Namun ia berpikir untuk tetap keluar dari sarangnya, setidaknya untuk merasakan kenikmatan hidup selain kenikmatan tidur lelap yang sudah diraupnya semalam suntuk. Ia pun melangkah dengan langkah pasti, langkahnya mirip manusia cebol yang tiada habisnya untuk selalu bersemangat.

Baginya hidup bukanlah satu rutinitas yang stagnan dan membosankan. Selalu saja dalam menjalani harinya, ditemui sensasi yang membuatnya yakin untuk selalu mengamini dirinya sebagai seekor iguana yang menjalani hidup dengan sebaik-baiknya.

Iguana itu mempunyai kulit yang berwarna cokelat yang menampakkan kesan keras dan kuat. Lekukan-lekukan di tubuhnya membuat dirinya tampak kuat dan kokoh. Matahari menempa kulitnya, membuat kulitnya semakin kering dan mengeras.

Iguana itu tiba di suatu pohon kaktus. Pohon kaktus itu sebenarnya pohon kaktus yang biasa ia kunjungi tiap waktu. Dalam pikirannya, ada beberapa pohon kaktus yang menawarkan bunga berwarna kuning segar yang berasa manis bagi lidanya. Hari ini pohon kaktus itulah yang jadi harapannya untuk bunga kuning segar itu.

Tentu saja bukan perkara mudah untuk mendapatkan dan menikmati bunga kuning itu. Bila beruntung, ia dapati bunga itu mekar di tempat yang bisa ia jangkau, ia pun mampu meraih bunga itu tanpa perlu bersusah-susah.

Namun, ia terbiasa menemui ketidakberuntungannya. Selalu saja bunga kuning berwarna lezat itu terlampau jauh untuknya sehingga ia hanya bisa menunggu seekor burung penghisap madu bunga, menggoyang-goyangkan bunga hingga menunggu keberuntungan bahwa bunga itu jatuh melawan gaya gravitasi di bawah kakinya yang cebol.

Ketika sampai di pohon kaktus berbunga kuning itu, seperti hari-hari sebelumnya, bunga kuning itu terlampau jauh dari jangkauannya. Ia pun harus menunggu, juga seperti hari-hari sebelumnya. Lalu ia pun harus pulang dengan makanan seadanya; buah kaktus pahit yang berduri dan keras.

Namun dari semua kesialannya sepanjang hari-hari lalu, ia paling sebal dengan tingkah humming bird yang seolah-olah memperoloknya yang tak mampu meraih bunga kuning segar itu. Humming bird itu semakin membuatnya kesal ketika ia memperkeras suara sedotannya pada bunga segar itu.

Baginya seolah-olah burung itu bisa melakukan apa yang tidak bisa dilakukannya. Itulah yang membuatnya demikian kesal. Hari itu, kembali ditemuinya burung yang sebenarnya tidak pernah sekalipun berniat memperolok dirinya. Namun, iri kepada sang burung lah yang terkadang membuat iguana sewot kepada dirinya sendiri.

Dari bawah, ia melihat burung itu memulai kerjanya. Sayapnya berkepak terlampau cepat, hingga dalam bayangannya, yang tampak adalah sebutir kacang terbang yang lezat dan padat. Ternyata ia lapar sekali siang hari itu. Ia semakin tak sabar agar burung itu bisa menjatuhkan bunga itu untuknya.

Tiba-tiba angin yang cukup kencang berhembus. Burung yang semula sedang khidmat menikmati madu bunga kaktus, terhempas di permukaan bunga yang empuk. Bunga itu ternyata mempunyai tangkai yang rapuh dan tak lama setelah sang burung mampu menjaga keseimbangannya, bunga itu pun jatuh melayang-layang ditingkahi sang angin.

Iguana tetap mendongak ke angkasa. Saat-saat yang dinantinya tiba, bunga manis yang segar datanglah padaku, pikirnya dalam hati. Angin membuat arah jatuh bunga itu semakin tidak terprediksi, namun iguana berharap bunga kaktus itu jatuh di dekat ia berada.

Angin kembali berhembus kencang, arah jatuh bunga semakin tidak terprediksi. Malahan, iguana semakin mengira bunga kaktus itu jatuh di balik batu di samping pohon kaktus. Dan ia harus siap-siap melangkahkan kaki cebolnya dan menyeret-nyeret ekornya yang berat, untuk menaiki batu itu dan mendapatkan bunga kaktus tersebut. Ini membuat nafasnya semakin tersengal-sengal.

Semakin mendekati puncak batu itu, keyakinan bahwa hari itu ia akan melahap kelezatan dari bunga semakin membuncah di hatinya. Namun betapa kagetnya ketika sampai di puncak batu, ditemuinya bunga itu jatuh tepat di depan seekor iguana lain yang seukuran dengannya.

Melihatnya datang menghampiri, iguana lain itu lekas-lekas pergi dan berolok-olok kepadanya. "Kau bodoh, kau tidak akan bisa mendapatkan bunga kaktus yang manis ini karena kau bodoh," kata iguana lain itu kepadanya, seraya melangkahkan kakinya cepat-cepat.

Olok-olok itu membuatnya semakin bernafsu merebut sekaligus menggigit leher iguana cebol dan jelek yang sudah mengolok-oloknya dengan kata bodoh. Ia melangkahkan kakinya cepat-cepat, namun ia merasa kelelahan sehingga ia tidak bisa memberi balasan kepada iguana yang lari seraya membawa bunga kaktus di mulutnya yang monyong.

Karena itu, ia sedemikian kesal pada iguana itu sekaligus pada dirinya sendiri. Dengus kesal dan kelelahan membuatnya sedikit bisa beristirahat sekaligus memikirkan apa saja yang bisa diperolehnya hari ini.

Tak berapa lama ia pun melangkah lagi. Ia masih mengingat adanya buah kaktus yang ia sembunyikan di balik batu. Walaupun ia tidak menyukai rasanya yang pahit, namun itu lebih baik ketimbang harus kelaparan. Apalagi malam-malam di daratan Afrika bukanlah malam yang nyaman. Ia pun membawa buah kaktus itu ke sarangnya yang terbangun dari rongga-rongga tumpukan batu.

Di dalam sarangnya yang sunyi dan lembab, ia memukul-mukul buah kaktus itu dengan kaki cebolnya, untuk menghilangkan durinya. Setelah itu, ia menggigitnya dan mengunyah apa yang didapat dari gigitan itu. Rasanya pahit sekaligus hambar, namun cukup mengenyangkan.

Sembari mengunyah daging buah kaktus itu, ia mengingat kembali apa-apa saja yang didapatnya hari ini: hasil sia-sia dari penungguan terhadap bunga kaktus, olok-olok iguana jelek lain, dan harus memakan buah kaktus yang keras dan tidak enak. Selepas makan buah kaktus, ia mengantuk dan berpikir setidaknya masih ada hari esok. Kini ia tertidur dengan mulut menganga dan suara dengkur sepanjang malam. Tidur adalah bekalnya untuk hari esok. (habibi hidayat)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun