[caption id="attachment_361613" align="aligncenter" width="560" caption="Santri Papua di depan Masjid Al-Aqsho Walesi Wamena. foto: dok. pribadi"][/caption]
Setiap menjelang perayaan hari Natal, kita selalu mengulang perdebatan kecil seputar boleh atau tidaknya mengucapkan “Selamat Hari Natal” bagi orang Islam kepada umat Kristen yang merayakannya. Yang manarik, hal semacam itu terus terjadi seperti masalah abadi. Selalu terulang seperti pada tahun-tahun sebelumnya, sekarang, dan mungkin tahun depan. Para Ulama' memang berbeda pendapat, ormas Islam, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengeluarkan fatwa tentang masalah ini.
Tahun lalu saya 'merasakan' suasana Natal yang begitu kental, yaitu di Wamena kabupaten Jayawijaya Papua. Seperti di daerah lainnya di Papua, setiap memasuki bulan Desember, sudut-sudut kota Wamena dipercantik dengan berbagai atribut Natal. Dari bangunan-bangunan gereja, tempat-tempat umum, hingga rumah-rumah penduduk dihiasi dengan pernak-pernik menyala khas Natal. Penyebaran Kristen di Wamena sangat meluas, karena didukung oleh berbagai beberapa faktor. Memang, berdirinya kota Wamena di Lembah Baliem tidak lepas dari sejarah para missionaris asing yang mewartakan Injil di Pegunungan Tengah Papua. Ada beberapa pastor yang sudah lama menetap di Lembah Baliem sampai saat ini dan bahkan ada juga yang sudah pindah kewarganegaraan ke negara Indonesia.
Hingga cahaya Islam mulai bersinar di Lembah Baliem, salah satunya melalui para petugas muslim di awal integrasi Papua ke dalam bagian Negara Kesatuan Republik Indoneia (NKRI). Juga lewat para guru yang didatangkan dari luar pulau Papua untuk mengajar di sekolah-sekolah serta program pendampingan masyarakat setempat, yang menyebabkan sebagian masyarakat Wamena tertarik untuk memeluk agama Islam. Meski awalnya Islam kurang dikenal oleh masyarakat suku-suku asli Lembah Baliem, disamping juga sejarah awal masuknya Islam di Pegunungan Tengah Papua juga terdapat dalam beberapa yang versi berbeda. Tidak heran bila masyarakat Wamena kurang mengenal Islam, bahkan dulu, bangunan Masjid disebut sebagai “Gereja Islam”.
[caption id="attachment_361620" align="aligncenter" width="539" caption="Pemandangan kota Wamena yang tertutup kabut di waktu pagi. foto: dok. pribadi"]
Di Wamena, saya tinggal di kampung Walesi. Orang-orang biasa menyebutnya “Kampung Muslim”, karena di Walesi terdapat kampung dengan penduduk muslim terbesar di Pegunungan Tengah Papua, terdapat Pesantren, Masjid, serta Yayasan Pendidikan Islam dari jenjang Taman Kanak-kanak (TK), Madrasah Ibtidaiyah (MI), hingga Madrasah Tsanawiyah (MTs). Distrik Walesi berjarak sekitar 15 km ke selatan kota Wamena, lokasinya yang berada di ketinggian tepat di kaki serangkaian bukit di Pegunungan Jayawijaya.
Dari pintu dan jendela “Gereja Islam” atau Masjid di Walesi, pemandangan kota Wamena memang terlihat sangat mempesona. Saat pagi, saya bisa melihat kabut yang menyelimuti kota, kesibukan bandara, dan saat malam tiba, lampu-lampu kota Wamena terlihat seperti kunang-kunang di kegelapan. Saya jarang sekali melewatkan pemandangan indah dari pintu samping masjid yang langsung menyajikam hamparan hijau pemandangan alam lembah dan pegunungan khas Papua. Saya selalu menyempatkan untuk mengintip pemandangan menarik itu dari jendela masjid Al-Aqsho Walesi. Setiap malam hari-hari besar, ibu kota kabupaten Jayawijaya itu menampilkan pesona yang lebih dari biasanya, seperti pertunjukan kembang api, dan lainnya. Apalagi untuk menyambut perayaan malam Natal dan tahun baru yang akan datang, Wamena malam semakin menawan. Dan malam itu, saya 'menikmati' malam Natal di kota Wamena dari “Gereja Islam”.
Hari minggu, di kabupaten Jayawijaya adalah "Hari Tuhan". Umat nasrani pergi ke gereja, meninggalkan aktivitas harian, jadi hampir tidak ada kesibukan. Saya, bersama para santri di Walesi mengisi "Hari Tuhan" itu dengan bekerja bakti, mulai membersihkan masjid, lingkungan Pesantren, juga madrasah. Setelah itu, para santri memasak nasi untuk sarapan, mencuci pakaian kotor, dan mencari kayu bakar ke hutan. Kalau ada waktu, saya selalu mengajak beberapa anak untuk berkeliling distrik, menikmati udara pagi Lembah Baliem yang adem, mengunjungi Honai anak-anak, dengan bekal ubi bakar yang memang merupakan makanan pokok masyarakat lokal di Wamena. Bagi saya, semua itu menjadi pengalaman yang sangat mengesankan. Ternyata, dalam beberapa hal, Papua tidak seseram yang saya bayangkan.
[caption id="attachment_361622" align="aligncenter" width="553" caption="Kampung muslim Walesi di kaki pegunungan Jayawijaya. foto: panoramio"]
Di hari Natal waktu itu, saya berjumpa dengan seorang bapak tua yang sepertinya baru saja datang dari Gereja. Seperti biasa, saya menyapa, berucap salam dengan bahasa masyarakat setempat, lalu berjabat tangan sembari berbincang tentang beberapa hal. Dan yang membuat saya terkejut, adalah saat saya menyudahi percakapan, setelah mengucapkan salam, bapak tua itu mengucapkan “Selamat hari Natal” pada saya. Saya hanya tersenyum, lalu menjawabnya dengan kalimat “Iya Bapa, selamat. Nayak...”. Saya memaklumi, bapak tua yang baru datang dari gereja itu tidak tahu kalau an esilam meke (saya seorang muslim).
Dan yang membuat saya terharu adalah ketika berjumpa dengan sesepuh kampung yang masih memakai koteka, atau masyarakat yang menggiring babi ke kebun dan tiba-tiba menyapa saya dan berucap “Assalamu’alaikum”. Ada perasaan lain yang saya rasakan, yang membuatku sadar bahwa saya dan bapak-bapak yang masih mengenakan pakaian tradisional koteka itu adalah saudara. Merekalah para “Muslim Koteka”, para orang tua yang ikut andil dalam pengenalan Islam di kalangan masyarakat Suku Dani Lembah Baliem Papua.
Saya mengerti, orang-orang di kampung itu memang tak banyak yang berpengalaman dengan mengenyam pendidikan di bangku sekolahan, bahkan untuk menulis dan membaca mereka juga banyak yang belum bisa. Seperti dalam lirik lagu “Aku Papua”, mereka adalah orang-orang didikan alam, dan dari merekalah saya belajar banyak hal. Hidup rukun dan damai meski dengan banyak perbedaan, termasuk berbeda keyakinan.
Semoga, umat Islam yang mengucapkan “Selamat Hari Natal” bukan karena lemahnya iman, dan yang memilih untuk tidak mengucapkan bukan karena tidak toleran. wallahu a’lam.
Selamat malam, selamat berbahagia.