Mohon tunggu...
M Zainal Abidin Shahab
M Zainal Abidin Shahab Mohon Tunggu... Guru - Guru - Pendakwah - Mahasiswa Magister Sejarah Kebudayaan Islam UIN Jakarta

Aktif sebagai pemateri di beberapa kajian keagamaan dan aktif sebagai Mahasiswa Magister Sejarah Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pereview Ulama

27 Mei 2022   00:50 Diperbarui: 27 Mei 2022   00:55 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Oleh : Diya Bin Shahab, Lc (M.Zainal Abidin Shahab).

Saya teringat pada masa lalu tak terlalu banyak ulama yang dikenal masyarakat. Atau setidaknya tak sebanyak sekarang. 

Pada masa itu, mereka yang terkenal adalah orang orang yang telah diizinkan berbicara di majelis majelis besar. Seperti ICI Kwitang, Al-Hawi Condet dan beberapa majelis tua lainnya. Kalau sudah berbicara disana, maka nama seorang da'i akan terorbitkan dan ia akan tenar. Bisa dikatakan bahwa saat itu, majelis-majelis tersebut adalah media paling cepat untuk mengangkat nama seorang da'i.

Namun tak sembarang orang diizinkan berbicara. Para ulama dan sesepuh sangat selektif dalam mengizinkan siapa yang boleh berceramah disana.

Hasilnya, da'i-da'i yang terorbitkan dan terkenal adalah orang yang kompeten dibidangnya. Orang-orang yang berhati hati dalam ucapan dan perbuatan.

Kalaupun ada perbedaan pendapat dengan ulama lain, akan mereka sikapi dengan bijak. Warga majlis akan beradab kepada para ulama dan masarakat awam merasa tak pantas ikut-ikut mengomentari mereka.

Namun hari ini keadaan berubah. Media sosial terbuka luas untuk semua orang, dan siapapun bebas berbicara dan bebas mengomentari. Apalagi seorang yang merasa memiliki banyak pengikut di media sosialnya. Ia akan merasa pantas mengomentari apapun. 

Akibatnya, hilanglah adab. Isi ceramah para da'i dianggap sebagai barang yang bisa di review oleh siapapun. Mengomentari yang tak sepaham dan mencela serta mencerca. Dan itu semua dilakukan dengan merasa benar. Berdalilkan "kan di upload di medsos jadi boleh dikomentari". 

Kawan. Tak semua pantas untuk kau komentari dan tak semua bisa kau kritisi. Ada etika dan adab tertentu terkait beberapa orang. Yaitu tentang siapa mereka dan siapa kita. 

Apakah jika seorang presiden berbicara yang berbeda dengan pandangan kita, lantas bebas kita komentari dengan cacian? Tentu tidak. kita akan berhati hati dalam berkata. 

Jika ada seorang dokter berbicara suatu teori pengobatan. Maka yang pantas mengomentari dan mengkritisi adalah para dokter juga.

Jika seorang koki berbicara tentang suatu resep dan bumbu maka berhak berkomentar adalah koki juga. 

Apalagi terkait para ulama. Apa yang membuat diri orang yang awam merasa berhak mengomentari mereka? 

Kawan. Ada adab adab tertentu yang mengatur seseorang dalam berkelakuan pantas kepada orang lain. Karna, tak semua orang punya citarasa dalam bersikap. Dan tak semua orang memakai akalnya dalam berucap.

Saya teringat perkataan Imam As-Syafi'i mengomentari semacam para perivew ulama ini. Beliau berkata

"Aku melihat beberapa orang yang terlena karna disanjung

Karna merasa pantas, mereka mulai menginjak kepala orang orang mulia dan mulai ber sesumbar

Adapun yang orang seperti saya, hanya akan dipandang remeh

Mereka samakan saya dengan anak kecil yang bermain di jalan".

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun