Hari Kesaktian Pancasila pada 1 Oktober 1965 memiliki sejarah yang erat dengan peristiwa kelam pada Gerakan 30 September / PKI (G 30 S/PKI) 1965. Sejarah kelam tersebut berkaitan dengan enam Perwira Tinggi dan satu Perwira Menengah TNI Angkatan Darat yang menjadi korban pembunuhan dalam Gerakan tersebut, sebagai upaya mengubah Dasar Negara Indonesia yaitu Pancasila menjadi berdasarkan Komunis.
Selanjutnya pada akhir 1965, diperkirakan 500 ribu hingga 1 juta anggota, underbow, dan simpatisan PKI diduga menjadi korban pembunuhan yang masih menjadi polemik sampai dengan sekarang. Maka dari dua sejarah G 30 S/PKI dan Hari Kesaktian Pancasila 1965 disebut-sebut dengan term Hari Pengkabungan Nasional.
Baca juga : Penetapan Hari Kesaktian Pancasila Tahun 1965 di Balik Peristiwa G30S/PKI
Munculnya peringatan Hari Kesaktian Pancasila secara legal oleh negara kemungkinan besar disebabkan oleh gagalnya misi kaum Komunis melalui PKI untuk mengganti dasar negara Indonesia yaitu Pancasila menjasi Komunis. Karena kegagalan tersebut, selanjutnya Pancasila diinterpretasika sakti.
Pembuka
Melegalisasi Pancasila masuk dalam struktural negara pada tahun-tahun terakhir terkesan seperti berupaya merestorasi Pancasila, dengan kekhawatiran Pancasila akan tergeser oleh sistem pemersatu yang lain, maka negara secara tidak sadar telah meragukan Kesaktian Pancasila.
Yudi Latif dalam bukunya Wawasan Pancasila menulis bahwa "Pancasila kontemporer berada dalam dinamika verbalisme dan formalisme", karenanya aktualisasi nilai-nilai Pancasila secara moral dan tekhnis adalah persoalan saat ini, sehingga menimbulkan benturan, ketimpangan, dan kecemburuan sosial hingga berefek pada sisi spritual, kemanusiaan, persatuan, dan juga demokrasi dalam aktualisasinya.
Baca juga : Peringatan Kesaktian Pancasila, Saktinya di Mana? Ehh, Sakitnya di Sini Ternyata
Dalam pergulatan sekarang ini perlu membaca Pancasila secara dialektik daripada doktriner, membaca secara dialektik berarti memulainya dari kondisi material yang ada (das sein) daripada berangkat dari klaim ideal (das sollen), namun tetap tanpa meninggalkan fakta empiris sebagai dasar pengetahuan Pancasila.
Yudi Latif dalam Negara Paripurna, Historitas, Rasionalitas, Dan Aktualitas Pancasila berpendapat bahwa sila "Keadilan Sosial" (Sila ke-5) merupakan perwujudan yang paling konkret dari prinsip-prinisp Pancasila".Â
Sependapat dengan Kang Yudi Latif (Eks. Kepala BPIP) tersebut, Keadilan Sosial secara mengakar di seluruh stakeholder bangsa ini harus senafas dengan ke-empat Sila sebelumnya, olehnya membuat Sila-ke Lima sebagai perwujudan teraktualisasinya Pancasila.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat idonesia berarti bahwa setiap orang mendapatkan perlakuan yang sama secara keseluruhan. Namun sejauh ini, masih saja banyak isuue-issue keadilan yang belum selesai, status sosial cenderung menjadi pembeda keberpihakan.
Keadilan Sosial Dalam Ekonomi
Dari sisi ekonomi, Badan Pusat Statistik (BPS) pada 15 Juli lalu merilis Angka kemiskinan Maret 2020 melonjak ke level 9,78%. Angka ini meningkat sebesar 0,56 persen poin dari kondisi September 2019 dan 0,37 persen poin dari kondisi Maret 2019.
Baca juga : Probematika Kemiskinan di Masa Pandemi
Dari angka peningkatan kemiskinan sebesar 0.56 persen tersebut, terdata kalangan rakyat bersendal jepit adalah sebagai konsestan kemiskinan yang dimaksud, berbeda dengan kalangan menengah keatas yang memiliki simpanan ekonomi lebih dalam kondisi pandemi Covid-19 saat ini.Â
Walaupun kucuran dana bantuan dari pemerintah dimasa pandemi sekarang ini terimplemntasi, namun target pemberian bantuan juga diduga terjadi ketimpangan sosial sehingga menimbulkan issue kurang tepat sasaran.
Keadilan Sosial Dalam Hukum
detikNews pada 25 Nov 2011 memberitakan 10 Kasus Yang Mengguncang Hukum Indonesia", sementara itu dugaan pelanggaran hak sipil dan politik menjadi kasus terbanyak yang diterima Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta sepanjang 2019. Terdapat 535 kasus dari total 1.496 laporan pengaduan yang masuk. Jenis perkara terbanyak adalah dugaan unfair trial atau ketidakadilan proses peradilan.
Dari kedua informasi keadilan hukum diatas, Nama-nama dari kalangan penguasa dan pengusaha (Pepeng) menjadi nama terlapor atas ketidakadilan yang diterima rakyat bawah. Maka tak heran Keadilan sosial dibidang hukum menjadi pesimisme berjamaah dikalangan rakyat ekonomi bawah, keadilan hukum terkesan "Tajam Kebawah, Namun Tumpul Keatas".
Keadilan Sosial Dalam Pendidikan
Dari sisi pendidikan, Kasus putus sekolah anak-anak usia sekolah di Indonesia juga masih tinggi. Berdasarkan data dari Kemendikbud 2010, di Indonesia terdapat lebih dari 1,8 juta anak setiap tahun tidak dapat melanjutkan pendidikan, Hal ini disebabkan salah satunya oleh faktor ekonomi, permasalahan tekhnisnya adalah anak-anak terpaksa bekerja untuk mendukung ekonomi keluarga, dan pernikahan di usia dini.
Pendidikan seharusnya milik semua rakyat, jika rakyat tidak mampu secara ekonomi untuk meraih pendidikan, maka sudah sepatutnya pemerintah hadir untuk bertanggung jawab atas hak keadilan pendidikan rakyat. Melalui pendidikan, pengembangan individu yang terdidik secara tekhnis dapat tercapai seperti konsep Al-Ghozali tentang kenegaraan dan kebangsaan.
Keadilan Sosial Dalam Politik
Disisi lain aktualisasi keadilan sosial dalam berpolitik juga sering kali menuai penuntutan. Adil di bidang politik adalah bentuk keseteraan setiap warga negara, penghormatan atas hak politik untuk berserikat dan berkumpul serta menyampaikan pendapat. Rakyat sebagai kedaulatan negara seharusnya diberlakukan secara adil dan makmur secara politik.
Problem hari ini dalam perpolitikan adalah tentang krisis kepercayaan dan pesimisme kaum miskin desa dan kota kepada elite politik, sehingga hak politik rakyat oleh sebagian rakyat mereka jual belikan.Â
Sistem pragmatisme itu secara tidak sadar dikomsumsi oleh sebagian rakyat dari para kaum elit politik itu sendiri. Ketidakadilan sosial dari sisi politik muncul seketika pada saat tujuan politik rakyat yang sesunggahnya merasa dihiraukan, sementara tujuan politik yang menindas dari kaum penguasa dan pengusaha (Pepeng) diprioritaskan.
Penutup
Dari berbagai bidang diatas, keadilan sosial sebagai kausalitas nilai-nilai pancasila tidak teraktualisasikan. Karena keadilan sosial adalah bahagian dari tarikan nafas yang sama dihembuskan dengan ke-empat Sila sebelumnya lewat implementasi nilai-nilai Pancasila itu sendiri.Â
Harus disadari bahwa Pancasila sebagai nilai yang teraktualisasi bukan diaktualisasi, ia sebagai simbolitas moral budaya rakyat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara.
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia sebagai perwujudan teraktualisasinya Pancasila adalah hal yang definitif.Â
Mengutip cerita sejarah Natsir dalam perdebatannya dengan Soekarno mengungkapkan bahwa "umat Islam boleh meniru sistem pemerintahan negara manapun selama sistem tersebut mampu mencapai tujuan yang hendak diinginkan Islam, yaitu tercapainya keadilan dan kesejahteraan rakyat".Â
Dengan demikian Natsir menyadari bahwa perwujudan dan keberhasilan dalam Pancasila adalah pada Sila ke-5 yaitu "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia".
Penulis : Habiburrohman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H