Habibah Bahrun Al Hamidy, S.Psi. (Mahasiswa Magister Psikologi Profesi Peminatan Pendidikan)
Masa penerimaan sekolah hampir selesai duka tak kunjung usai. Pasha (12) mengurung diri di kamar selama beberapa hari pasca diumumkan tidak lulus di SMP negeri yang diharapkannya (Kompas.com/12/07/2019). Semula ia optimis dapat diterima lantaran memiliki nilai yang cukup tinggi diantara siswa pendaftar lainnya.Â
Namun, ia harus menerima kenyataan yang pahit tidak masuk dalam daftar siswa yang diterima di sekolah negeri terdekat dari rumahnya itu. Hal ini terjadi lantaran usia Pasha lebih tua tiga hari dibandingkan siswa pendaftar lain yang berjarak rumah sama dengannya. Ada pula Romi (12) tetangga rumah Pasha.Â
Romi juga mengalami hal yang sama, tidak diterima di SMP negeri yang berjarak dua kilometer dari rumahnya. Hal ini terjadi lantaran jarak rumah romi kalah dekat dengan beberapa anak lainnya yang mendaftar bersamaan dengannya.Â
Romi akhirnya harus menerima kenyataan pahit gagal masuk di sekolah negeri yang kemudian mengharuskannya sekolah di sekolah swasta dengan biaya yang terhitung mahal. Beberapa kasus di atas merupakan bagian kecil dari kisah anak-anak lainnya yang mengalami hal yang sama dengan Pasha dan Romi.Â
Tidak sedikit anak-anak yang harus memupus harapan melanjutkan sekolah lantaran tidak dapat masuk dalam sekolah negeri di tahun ajaran baru ini. Sekolah negeri menjadi satu-satunya harapan banyak kalangan hari ini karena biaya sekolah yang relatif murah dibandingkan sekolah swasta.
Wali kota Surakarta, FX Rudi turut mengkritisi penerapan sistem zonasi yang menyebabkan banyak anak-anak terbaik di Surakarta menjadi harus bersekolah di luar Kota Surakarta.Â
Sistem zonasi dinilai telah banyak memakan korban anak-anak kehilangan kesempatan sekolah di sekolah negeri terbaik hanya karena memiliki jarak rumah jauh dari sekolah negeri tujuan. Kebijakan pemberlakuan sistem zonasi membawa kekecewaan pada banyak pihak, baik siswa, guru, hingga para orang tua yang mengharap anaknya dapat memperoleh fasilitas pendidikan di negeri ini.Â
Di Surabaya, sejumlah orang tua murid berdemo di depan kantor walikota Surabaya menuntut agar sistem Zonasi sekolah dihapuskan. Penerapan sistem zonasi telah menuai kritik dari banyak kalangan lantaran banyaknya kerugian yang diperoleh seiring penerapannya.
Menurut Disikpora Kabupaten Gunung Kidul DIY (Kompas.com/12/07/2019), ada 3 kriteria yang menentukan siswa diterima atau tidak yaitu pertama, prioritas jarak rumah ke seklah, kedua, adalah umur, dan ketiga adalah waktu pendaftaran. Siswa yang memiliki jarak rumah lebih dekat ke sekolah akan lebih memiliki peluang besar untuk diterima di sekolah.Â
Penerapan sistem zonasi digadang-gadang dapat mewujudkan pemerataan pendidikan diberbagai wilayah di tanah air. Namun efektifkah penerapannya?
Jika mengamati lebih dalam mengenai penerapan sistem zonasi dalam penerimaan siswa baru, setidaknya 4 poin kritis mengenai dampak penerapannya yang perlu diperhatikan :
Pertama, Kesiapan belajar bagi siswa. Penerapan sistem zonasi dalam penerimaan siswa baru mengabaikan pertimbangan terkait kemampuan peserta didik yang beragam. Setiap peserta didik dengan berbagai latar belakang keluarga, sosial dan ekonomi tentu memiliki beragam kemampuan kognitif yang juga beragam.Â
Kesiapan anak mengikuti proses pembelajaran tentunya perlu dipertimbangkan oleh para pemangku kebijakan. Kebijakan pendidikan yang mengabaikan klasifikasi emampuan kognitif anak yang beragam dalam satu kelas tentu akan berdampak bagi proses pembelajaran mereka.Â
Adanya jarak kemampuan kognitif yang terlalu luas dalam satu kelas akan berdampak signifikan bagi setiap anak dalam kelas. Sebagian siswa akan sulit menerima pembelajaran yang disampaikan atau sebaliknya, sebagian anak mengalami kebosanan mengikuti proses belajar di kelas karena materi yang disampaikan tidak sesuai dengan kebutuhan peserta didik.Â
Kedua, Manajemen kelas bagi guru. Penerapan sistem zonasi dalam penerimaan siswa baru jelas menutup mata dari penerapan manajemen kelas yang dilaksanakan oleh para guru. Peserta didikan yang berlatar belakang kemampuan yang beragam akan menyulitkan para guru untuk menentukan manajemen kelas yang akan diterapkan.Â
Hal ini tentu berdampak besar bagi para guru. Para guru sebagai pendidikan akan kesulitan ketika menyusun rancangan manjamen kelas berbasis kemampuan siswa yang beragam. Hal ini akan berdampak guru kelelahan memfasilitasi manajemen pembelajaran yang mampu dengan efektif tersalurkan bagi para siswa di kelasnya.Â
Atau sebaliknya, guru memilih menentukan suatu strategi manajemen kelas tertentu dan mengabaikan efektivitas pembelajaran yang disampaikan kepada siswa di kelasnya.Â
Ketiga, Kesiapan fasilitas pendidikan. Penerapan sistem zonasi belum didukung oleh pengadaan fasilitas yang merata di setiap sekolah negeri, hal ini menciptakan ketimpangan antar satu sekolah dengan lainnya.Â
Keempat, Ketersediaan sekolah. Penerapan sistem zonasi tidak mempertimbangkan meratanya ketersediaan sekolah. terbukti, di beberapa wilayah tidak masuk alam zona sekolah manapun, dampaknya siswa tidak memperoleh hak mendaftar di sekolah negeri manapun.
Terlepas dari keempat poin kritis di atas, dampak penerapan sistem zonasi telah terbukti mengorbankan banyaknya anak usia sekolah tidak mampu meraih hak mengenyam bangku sekolah. kebijakan pendidikan yang didasari oleh semangat tawar menawar penguasa dengan rakyat menjadikan fasilitas pendidikan seolah hal yang mewah untuk diperoleh masyarakat.Â
Hal ini terjadi lantaran kebijakan pendidikan dibuat dengan cara pandang kapitalistik sehingga menjadikan sektor pendidikan seolah komoditas dagang yang diperjual belikan. Bukankah pendidikan adalah hak rakyat? Bukankah memperoleh hak pendidikan semestinya diperoleh oleh seluruh lapisan masyarakat?
Apa jadinya ketika aset-aset terbaik negeri ini tidak mampu memberi kontribusi bagi negeri? Apa jadinya ketika sebagian sumberdaya manusia terbaik negeri ini sulit mendapat pendidikan?Â
Apa jadinya ketika sebagian besar anak dengan terbaik negeri ini tidak mendapat kesempatan melanjutkan jenjang sekolah akhirnya bekerja kasar? jika seluruhnya terjadi, seperti apa kondisi negeri ini sepuluh atau dua puluh tahun yang akan datang?Â
Referensi :
Diambil dari beberapa sumber
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H