Jujur, saya adalah pemalas. Tubuh saya entah mengapa, ogah digerakkan untuk bisa beraktivitas lebih. Yang saya kerap lakukan hanya berkhayal, membaca, dan menulis. Sisanya ya bermalas-malasan di atas kasur sembari menunggu mata terpejam dengan sendirinya. Â
 Saya sendiri melihat diri saya sebagai suatu keanehan -- di saat orang-orang senang beraktivitas ke sana ke mari seolah energi tidak kunjung padam -- kok saya malah ogah-ogahan berlaku seperti itu. Dan hal ini sekonyong-konyong membuat diri saya insecure dan merasa kurang produktif, lantaran pikiran membandingkan diri dengan orang-orang di luar sana kerap menerjang diri saya.
Saya mengutuk kemalasan diri saya, mencoba bangkit dari kasur, setelahnya melakukan aktivitas sebagaimana "orang normal" pada umumnya. Ikut banyak kegiatan, bertemu orang-orang, dan ya....kegiatan wasting time lainnya. Awalnya, ketika melakukan hal-hal ini, semangat saya terpompa sangat; tak jarang jiwa menggebu-gebu, dan juga ketagihan untuk melakukan kegiatan produktif lainnya.
Baca juga:Â Apa Salahnya Menjadi Orang Biasa-Biasa Saja?
Aktivitas-aktivitas yang saya lakukan tersebut setidaknya berhasil memvalidasi diri saya sebagai orang normal yang produktif. Menaikkan derajat saya, di mana sekarang saya berhasil sejajar dengan orang-orang normal lainnya. Perkara yang didambakan saya dari dulu, agar dapat berbaur di tengah masyarakat yang sesungguhnya homogen (bagi saya).
Kok repot, ya?
Akan tetapi, lama-kelamaan kegiatan-kegiatan itu membuat saya kelelahan. Menurut saya pribadi, kelelahan ini diakibatkan oleh saya yang introvert, yang apabila bertemu banyak orang (lebih dari 3 orang), energi saya banyak berkurang. Atau memang karena hakikatnya saya yang ansos, sehingga berjumpa dengan orang lain adalah sesuatu yang mesti dihindari.Â
Pada saat itu, saya tidak berani mengaku bahkan denial bahwa diri saya seperti dua hal yang disebutkan di atas. Ini menjadi pergulatan batin, membuat saya overthinking, dan stress -- lantaran saya merasa bahwa apa yang saya pikirkan bukanlah hal yang normal.Â
Saya pun mencoba curhat kepada teman saya yang notabenenya orang extrovert, aktif ikut banyak kegiatan, serta banyak koneksi dan relasi. Bisa dibilang teman saya satu ini kepribadiannya bertolak belakang dengan saya. Setelah saya curhat dari dia, maka seperti yang bisa anda tebak, saya disarankan untuk mengikuti cara-cara yang dia lakukan; mengikuti banyak kegiatan, aktif di mana pun, dan ya....intinya mengikuti cara-cara dia.Â
Nasihat itu baik memang, saya akui. Namun, entah mengapa, ungkapan itu mengganjal hati saya. Saran yang diberikan membuat saya pesimistis, dan berpikir, "apakah saya cocok menjadi orang produktif? Apakah cara tersebut akan berhasil diterapkan pada diri saya?"
Dan ternyata....
Dan saya berani menjawab TIDAK. Sebab, cara itu sudah saya coba berkali-kali, dan kerap menjatuhkan saya pada lubang yang sama. Lantas, untuk apa mencoba cara yang sama; menjadi orang-orang normal produktif lainnya --- di saat saya yang pemalas ini -- berat hati melakukannya? Yang ada malah buang-buang waktu, mengutuk ketidaksanggupan dan ketidakmampuan diri, serta inefisiensi energi.
Maka, langkah berikut yang saya lakukan adalah mencoba menerima dan membenarkan kalau diri saya pemalas. Yaitu orang yang hanya mau melakukan aktivitas yang sesuai passion atau tingkat semangat diri. Implikasinya, jika ada kegiatan-kegiatan di luar sana yang tidak sesuai dengan passion saya, maka saya menolak berpartisipasi.Â
Imbas perkara ini adalah berkurangnya aktivitas yang saya ikuti (bahkan hampir tidak ada, kecuali hal itu adalah sesuatu yang penting), bertemu hanya ke orang-orang yang dekat saja, dan berkoneksi dengan orang-orang yang memiliki kesamaan karier.Â
Baca juga:Â Tidak Berbakat
Apakah hal ini berdampak buruk? Bagi saya tidak. Saya tidak tahu kalau Anda melakukan ini dampaknya ke diri Anda bagaimana ya hehe. Yang jelas, setelah melakukan ini, saya merasa diri saya semakin bahagia, sehat, dan produktif. Intinya ya... saya menjadi diri saya sendiri.Â
Saya tidak lagi perlu bersusah-payah menjadi produktif seperti orang-orang di luar sana; berlomba-lomba upload story kegiatan-kegiatan keren yang saya ikuti di Instagram, atau hal-hal lainnya. Pokoknya, apa yang saya lakukan dewasa ini adalah cerminan dan pantulan dari isi hati saya. Dan saya tidak lagi merasa insecure deh hehe...
Kesimpulannya
Merasa tersisihkan dari society? Jelas iya. Awalnya seperti. Tapi kalau sudah dibiasakan dan ditahan malunya, lama-lama rasa tersisihkan itu tidak akan meradang lagi. Anda akan terbiasa dengan rasa itu dan lambat laun bakal menjadi orang yang bebas bergerak, tanpa harus takut akan pandangan orang lain.Â
Apa salahnya menjadi pemalas? Jika itu sesuai dengan isi hati Anda, Anda nyaman dengan sebutan itu, dan berani menjalani hidup sebagai seorang pemalas, maka akui saja sejujurnya. Taka apa-apa; tak perlu takut dengan cap orang sekitar. Jika Anda dihina dan direndahkan lantaran kemalasan Anda, cukup tutup telinga rapat-rapat dan jadilah diri sendiri!Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H