Mohon tunggu...
Habibah Kurniawati
Habibah Kurniawati Mohon Tunggu... Lainnya - 101190207/SA.H

HABIBAH KURNIAWATI/101190207/SA.H

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Selamatan Kandungan 7 Bulanan (Tingkeban)

2 Desember 2021   09:31 Diperbarui: 2 Desember 2021   09:40 2720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

A. LATAR BELAKANG

Kehadiran seorang anak merupakan hal yang paling didambakan oleh keluarga. Anak merupakan sebuah rejeki yang tidak akan mungkin tergantikan. Orang tua pasti menginginkan anak-anaknya menjadi anak yang sholeh dan sholehah. Sehingga, orang tua melakukan yang terbaik untuk calon anaknya nanti. Salah satunya yaitu dengan melaksanakan ritual atau adat yakni tingkeban (tujuh bulanan). Dan mengingat bahwa orang hamil itu sangat rentan, maka kegiatan ini dilakukan oleh calon orang tua ketika kandungan berumur 7 (tujuh) bulan. Ritual ini adalah bentuk inisiasi yang digunakan untuk melewati suatu kecemasan. Tingkeban merupakan suatu ritual dari nenek moyang terdahulu yang masih belum mengenal agama, namun masih dilestarikan sampai saat ini. Masyarakat khususnya jawa mempercayai bahwa hal tersebut merupakan tolak-balak. Tradisi ini juga dilakukan sebagai bentuk permohonan kepada Allah swt. agar bayi yang dilahirkan selamat, terlahir dengan sempurna dan tidak ada gangguan apapun.

B. PEMBAHASAN

a) Penjelasan deskripsi kasus:

Walimatul Hamli atat biasa disebut Tingkeban adalah merupakan tradisi untuk ibu hamil yang menginjak usia kandungan tujuh bulan. Tradisi ini dilakukan dengan tujuan mendoakan bayi yang dikandung agar terlahir dengan normal, lancar, dan dijauhkan dari berbagai kekurangan dan berbagai bahaya. Tradisi ini merupakan sebuah bentuk permohonan kepada Allah swt. supaya anak yang didalam kandungan terlahir dengan selamat, lengkap dan tepat waktu. Ritual ini dilakukan dengan menyiram atau memandikan ibu hamil dengan kembang tujuh rupa dan doa kepada allah swt. dengan segala perlengkapannya. Kemudian calon ibu berganti dengan pakaian dengan kain 7 motif dan para tamu yang akan ditanyai apakah sudah cocok dengan calon ibu tersebut. setelah itu memutuskan lilitan benang atau janur setelah pergantian pakaian tersebut dan dipotong oleh suami dengan makna agar kelak bayinya lahir dengan lancar. Selanjutnya, pemecahan gayung bekas mandi calon ibu dengan tujuan agar jika hamil lagi maka diberikan kelancaran untuk kehamilannya. Kemudian, mendorong jamu berkeliling dengan makna bayi akan lahir lancar.

Dan yang terakhir dengan mencuri telur dengan makna bayinya akan lahir secara cepat seperti maling yang berlari cepat. Kaitannya tradisi ini dengan islam yaitu sesuai dengan hadits nabi yang diriwayatkan oleh Bukhori, yang menjelaskan tentang proses perkembangan janin dalam rahim perkembangan seorang perempuan. Dalam hadits tersebut dinyatakan bahwa pada saat janin berumur 120 hari (4 bulan) dalam kandungan ditiupkan ruh dan ditentukan 4 perkara, yaitu umur, jodoh, rizki, dan nasibnya.

b) Metode ijtihad yang digunakan:

Walau didalam hadist tidak menyuruh untuk melakukan ritual tingkeban, tetapi jika melakukan ritual dengan tujuan meminta permohonan kepada Allah swt. tidaklah dilarang. Banyak perdebatan di kalangan ulama' tentang hal ini, sebagian ulama' memperbolehkan dan sebagian lagi dilarang karena dianggap ada indikasi bid'ah didalam ritual tingkeban ini. Dalam perkara yang mengenai tentang adat dan ibadah sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah bahwa: "Pada asalnya ibadah itu tidak disyari'atkan untuk mengerjakannya kecuali apa yang telah disyari'atkan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sedangkan adat itu pada asalnya tidak dilarang untuk mengerjakannya kecuali apa yang dilarang Allah Subhanahu wa Ta'ala." Yang artinya yang diwajibkan melakukan sebagai ibadah sudah jelas, yaitu hal-hal yang disyariatkan oleh Allah swt. dan tentang adat yang sudah turun-temurun jika adat tersebut tidak menyalahi syaria'at islam maka diperbolehkan. Kemudian Imam Asy- Syafi'i menjelaskan bahwa: "hal-hal yang baru yang menyalahi al-Qur'an, as-Sunnah, ijma' (kesepakatan ulma), atau atsar maka itu bid'ah yang menyesatkan. Sedangkan suatu hal yang abru yang tidak menyalahi salah satu dari keempatnya maka itu (bid'ah) yang terpuji". Tidaklah salah orang melaksanakan ritual tujuh bulanan, namun sebaiknya di adakan dengan sederhana bukan yang mewah. Karena bukan ajang untuk menyombongkan diri. Dan membagikan makanan kepada tamu undangan hukumnya sunnah, selama hal tersebut di niatkan untuk menunjukkan rasa syukur atas rejeki yang allah swt. berikan maka hal tersebut termasuk ibadah yang sangat besar pahalanya. Kelompok sunni menyikapi hal ini dengan fleksibel atinya tidak melarang adat ini dilestarikan namun juga tidak langsung semerta-merta menerima hal ini. Para sunni bertindak selektif tentang hal ini, bukan dilihat dari budayanya namun dilihat dari nilai-nilai yang terkandung. Fatwa Ulama' salaf  : setiap ada suatu kenikmatan atau kegembiraan disunatkan mengadakan selamatan atau bancaan mengundang sanak tetangga dan teman-teman sebagaimana yang ditulis oleh syaikh Abd. Rahman Al-Juzairi dalam kitabnya "al-fiqhu alal madzahibil arba'ah" juz II hal. 33 :

:

.

Yang artinya: "Ulama Syafi'iyyah (pengikut madzhab Syafi'i) berpendapat : disunatkan membuat makanan dan mengundang orang lain untuk makan-makan, sehubungan dengan datangnya suatu kenikmatan/kegembiraan, baik itu acara temantenan, khitanan, datang dari bepergian dan lain sebagainya".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun