Mohon tunggu...
Habibah AfifatusSholikah
Habibah AfifatusSholikah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UINSA

Halo, saya merupakan mahasiswa prodi Sastra Indonesia UIN Sunan Ampel Surabaya. Saya memiliki hobi membaca dan menulis, serta mendengarkan musik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Gaya Bahasa dalam Kumpulan Cerpen "Sihir Perempuan" Karya Intan Paramadhita

13 Juli 2023   20:20 Diperbarui: 13 Juli 2023   21:56 961
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Intan Paramadhita, seorang pengarang wanita yang menciptakan berbagai karya sastra, salah satunya adalah kumpulan cerpen yang berjudul "Sihir Perempuan". Selain sebagai pengarang cerita, Intan Paramadhita ini ternyata juga seorang akademisi Indonesia. Selain buku cerpen "Sihir Perempuan", Intan juga menerbitkan berbagai buku yang tidak kalah menarik untuk dibaca dan diulas.

Perempuan yang lahir pada tanggal 15 November 1979 di kota Bandung ini, ternyata mengolah genre horor yang berbau mitos dan juga cerita-cerita lama dengan perspektif feminim di dalam kumpulan cerita ini. Ia ingin berpendapat kepada setiap orang bahwasannya sosok "perempuan" bisa menjadi apa saja. Kata "apa saja" yang saya maksudkan adalah perempuan bisa menjadi seorang ibu, anak, seorang karyawati, hingga boneka porselen. Namun, di dalam buku kumpulan cerpen ini, perempuan justru di sudut pandangkan secara berbeda. Di sini, perempuan dan pengalamannya dikemas dengan sangat berbeda yang tidak jauh dengan kesan horor.

Cover dari buku ini pun sangat menarik dan jika kita melihatnya, kesan pertama yang bisa kita rasakan adalah kesan horor. Kesan horor ini didapatkan karena pemilihan warna cover yang didominasi oleh warna merah dan warna hitam. Selain itu, cover buku ini juga mengambil gambar seorang perempuan dengan floppy hat berbulu yang sedang menghisap cerutunya. Dan dari pemilihan gambar yang disesuaikan dengan judul buku ini tergambar sisi gelap seorang perempuan. Buku ini juga sempat meraih sebuah penghargaan 5 besar Khatulistiwa Literary Award (Kusala Sastra Khatulistiwa) pada tahun 2005.

Di dalam buku kumpulan cerpen ini, banyak sekali gaya bahasa yang digunakan oleh penulis untuk mempercantik alur ceritanya. Dan pada cerita pendek pertama yang berjudul "Pemintal Kegelapan" terdapat gaya bahasa hiperbola yang telah saya temukan pada kalimat Dulu aku ketakutan setengah mati sehingga kusembunyikan kepalaku di balik bantal bila malam tiba. Gaya bahasa hiperbola sendiri adalah ungakapan yang berlebihan dan ungkapan tersebut tidak masuk akal atau tidak bisa dinalar secara logika. Dan pada kalimat ketakutan setengah mati, yang dimaksudkan adalah sosok aku yang sedang merasa ketakutan sehingga ia merasa nyawanya menghilang sebagian dari tubuhnya. Tentu hal ini sangat tidak masuk diakal karena jelas hal tersebut tidak pernah ada dan terjadi.

Selain majas hiperbola, cerpen ini juga mengandung gaya bahasa personifikasi yang dimana majas ini merupakan majas yang mempersamakan benda dengan manusia. Gaya bahasa ini ditemukan pada kalimat meski begitu, tidak ada yang lebih menggelitik fantasiku selain cerita misteri. Kata "menggelitik" sendiri merupakan kegiatan atau tindakan yang menyentuh bagian tubuh tertentu dengan cara yang menyebabkan gerakan berkedut atau tawa yang tidak disengaja, sehingga cerita misteri ini seolah-olah mempunyai sepasang tangan yang mampu menggelitik fantasi tokoh Aku tersebut. Dan arti kata "fantasi" adalah hal-hal yang berhubungan dengan khayalan atau sesuatu yang tidak benar-benar terjadi.

Gaya bahasa personifikasi juga masih terlihat pada judul cerpen yang sama, yang berkalimatkan namun masa kecil membuka ruang imajinasi tak berujung. Jadi, kata masa kecil ini seolah-olah juga mempunyai sepasang tangan yang mampu membuka sebuah ruang imajinasi. Pada kalimat yang sama, terdapat pula majas hiperbola di mana tercantum pada kalimat membuka ruang imajinasi tak berujung. Selain itu, terendus pula gaya bahasa personifikasi lagi pada kalimat Dari peraduannya, bulan purnama merayap naik tanpa suara. Seperti yang kita ketahui, bulan purnama merupakan salah satu fase bulan di mana bulan terletak di belakang bumi yang ditinjau dari matahari. Dan bulan purnama tidak memiliki tangan dan kaki sehingga ia tidak mungkin dapat merayap seperti yang dikisahkan oleh penulis.

Selain itu, ditemukan pula gaya bahasa simile yang dimana majas ini merupakan majas yang membandingkan dua hal yang berbeda, tetapi dianggap memiliki makna yang serupa, dan dinyatakan dengan kata seperti, bagai, laksana. Pada kalimat wajahnya penuh guratan merah kecoklatan seperti luka yang mengering setelah dicakar habis-habisan oleh macan. Hal ini memiliki makna bahwasannya wajah yang penuh guratan bewarna merah kecoklatan itu seolah-olah nampak habis dicakar oleh hewan buas, yakni macan.

Gaya bahasa simile juga terendus pada kalimat bola matanya bewarna merah seperti kobaran api. Kalimat ini mengajak kita berpikir bahwa bola mata yang biasanya bewarna hitam atau coklat jika ia mempunyai ras Asia, dan akan bewarna biru atau hijau jika ia memiliki ras Timur. Akan tetapi, yang terdapat pada kalimat itu adalah bola mata yang bewarna merah seperti kobaran api yang sedang membara, hal ini bisa dikatakan ia sedang memiliki amarah yang membara maupun gairah yang membara.

Gaya bahasa repetisi juga terlihat pada cerpen yang berjudul "Vampir" yang dimana pada kalimat Aku terobsesi merah. Merah yang tergenang menganak sungai beraroma ikan segar. Hal ini bisa kita lihat dengan adanya pengulangan kata merah yang bisa kita tangkap sebagai makna dari darah, sehingga kita bisa menarik kesimpulan bahwasannya sosok Aku ini sangat terobsesi dan menginginkan darah yang beraroma seperti ikan segar di sungai.

Pada cerita pendek yang berjudul "Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari" juga lagi-lagi terdapat gaya bahasa simile seperti pada cerita sebelumnya. Hal ini ditemukan pada kalimat Ia ingin anak perempuannya cantik seperti boneka hidup dengan bulu mata panjang berkedip genit. Hal ini memiliki makna bahwa sang ayah ini menginginkan anaknya agar menjadi cantik layaknya boneka yang hidup dengan bulu matanya yang panjang.

Selain itu, pada judul cerpen ini juga ditemukan gaya bahasa simbolik yang ditemukan pada kalimat Ibuku janda cantik yang menikmati popularitas sebagai bunga desa di masa mudanya. Kata simbolik ini terdapat pada kata bunga desa yang memiliki arti perawan yang disenangi para pemuda karena kecantikannya di desa, padahal sosok ibu dalam kalimat tersebut sudah janda tetapi karena kecantikannya di usia yang terbilang masih muda itulah yang mampu memikat setiap pemuda meskipun sudah bukan perawan lagi, sehingga bunga desa tersemat sebagai gelar baginya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun