Mohon tunggu...
Habibi Mahabbah Maming Suharsono
Habibi Mahabbah Maming Suharsono Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Menurut cerita, saya dilahirkan di atas bendi alias dokar menuju Rumah Sakit Tonasa 1, Pangkep tahun 1981. Kedua orangtuaku berdarah bugis. Masa kecil, kuhabiskan di Desa Kabba, Pangkajene (kini Kecamatan Minasatene),Pangkep, Sulsel. Usia pendidikan dasar kuhabiskan di SD Inpres No 26 Taraweang Kabba selama 7 tahun. Sempat tinggal kelas selama satu tahun di kelas 4 karena belum bisa baca-tulis. Waktu itu, lebih separuh dari kami murid kelas empat tinggal kelas, karena ketidak-mampuannya tulis-baca. (Saya tak mempersalahkan siapa-siapa. Meski jika kulihat dari sudut pandang sekarang, bukan kami sebagai murid yang pantas menerima akibat ini. Tapi...nanti kita bahas ya...) Setamat SD, kedua orangtuaku, khususnya Bapak, 'memaksaku' menempuh pendidikan di Pesantren Darul Istiqomah Maccopa Maros, Sulsel. Meski kala itu, saya memiliki cita-cita tersendiri dengan melanjutkan pendidikan di sekolah umum (SMP Negeri), bukan di pesantren. Tapi apa daya, orang tua tak punya daya, atau dana mewujudkan itu. Ditambah, kami ada 8 orang anak Bapak-Emak yang perlu diberi makan. Selama 6 tahun kuhabiskan pendidikan Tsanawiya-Aliya dengan belajar ikhlas di pondok pesantren demi melanjutkan pendidikan lebih tenggi kelak. Karena kedua orangtua tak mampu membiayai pendidikanku, saya meringankan beban kedua orangtua dengan nyambi jualan parfum, buku dll di pesanten. Lama berselang, setelah kuketahui, Bapak punya visi agar saya tak bernasib sama dengan anaknya yang lebih tua (kakak-kakakku), hanya rata-rata SD. Karena dua alasan. Pertama, Bapak ingin anaknya bersekolah dengan benar-benar belajar, tak terpengaruh teman sekolah. Kedua, Bapaktak mampu membiayai mereka jika mengikuti pola asuh murid yang mampu. Setamat Aliyah (SMA), saya mendapatkan beasiswa di Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasa Arab milik Yayasan Wahdah Islamiyah Kota Makassar, Sulsel. Dari sini titik awal, saya hijrah ke DKI Jakarta dan mengejar cita-citaku... (Sebagai mahasiswa kritis dan sekaligus Ketua I Senat STIBA, saya bersitegang dengan Rektor) Tepatnya 07 Februari 2001, saya tiba di pelabuhan Tanjung Priuk, Jakarta Utara tanpa dijemput, hanya berbekal alamat fiktif, yang tak jelas. Sebuah alamat, temannya temanku, yang katanya baik, akan menampungku selama di Jakarta. Ternyata, imingan temanku tak seperti kuharapkan. Alhamdulillah, saya mendapatkan beasiswa full dari seorang pengusaha di Jakarta. Ia kenalanku orang hebat di Jakarta. Pengusaha ini, awalnya menyuruhku mengambil Jurusan Perhotelan tapi saya tak berminat. Sebulan kemudian, beliau kemudian menelpon mengambil Fakultas Hukum. Tawarannya ini aku tawar dengan mengambil Jurusan Ilmu Politik. Dan saya menentukan pilihan salah satu univesitas swasta di Jakarta. Dengan keaktifanku berorganisasi saya mendapatkan beasiswa strata dua dari kenalanku juga. Kini, berjuang menyelesaikan S2 di salah satu universitas terhebat di Jakarta. (Doakan ya...)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Apa Indonesia Negara Teroris?

9 September 2012   09:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:43 635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bangsa Indonesia tak henti-hentinya mendapatkan ujian berat dari guncangan bom. Kini giliran Depok, Jawa Barat mendapatkan giliran. Tepatnya di Jl Nusantara No 63, Beji, Depok, Jawa Barat Sabtu (8/9/2012) malam pukul 21.05 terjadi ledakan bom yang memakan korban dari anak bangsa sendiri. Berbagai spekulasi bermunculan dari kiprah bomber Depok tersebut.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai sudah meyakini bom yang meledak di Depok ada hubungannya dengan aksi teror di Solo. Hal itu terlihat dari beberapa barang bukti berupa bahan peledak dan senjata yang ditemukan di lokasi ledakan. Setali dua uang dengan Kepala BNPT, Karo Penmas Mabes Polri, Brigjen Boy Rafli Amar mengatakan, pihaknya telah melakukan pemantauan terhadap pelaku bom sejak bulan Ramadhan. Malah hasil pantauan Boy Rafli Amar, bomber Depok ini telah menyiapkan bahan peledak untuk masuk ke rumah yang mereka sewa, untuk kemudian dilakukan perakitan bom.

Yang menarik kita cermati disini, aparat keamanan seolah-olah "membiarkan" kejadian itu terjadi tanpa dilakukan upaya pencegahan. Kenapa kita mengatakan aparat membiarkan karena ketika indikasi, aparat tidak mengambil langkah extraordinary. Setelah mengetahu ada indikasi terjadi aksi kekerasan, maka berbagai upaya dilakukan agar kejadian itu tak terjadi. Tapi kenyataannya, itu tak dilakukan. Malah, terkesan "memelihara" tindakan kekerasan itu terjadi.

Melihat argumentasi aparat yang ada, kita bisa paham bahwa mereka paham karekter para pelaku teror itu. Sifat dan kebiasaannya diketahui secara detail dari berbagai sumber. Ya, seharusnya ketika sudah tahu, aparat keamanan mempelajari untuk diambil langkah preventif. Tidak hanya dengan kekerasan. Aparat bisa menyelesaikan dengan pendekatan ilmu psikologi dengan cara mendidik para pelaku itu. Melakukan pedekatan psikologi ke-Indonesiaan yang berbeda seperti selama ini dilakukan. Tidak dengan cara kekerasan pula atau menakut-nakuti teroris seperti yang telah ditempuh negara Barat. Karena dalam sejarah kita, Indonesia punya cara tersendiri menyelesaikan permasalahan bangsanya.

Langkah yang telah ditempuh selama ini, mereka tak bisa menyelesaikan permasalahan yang ada. Karena, yang justru takut adalah masyarakat, bukan pelaku teroris. Dan pelaku justru berbangga diri karena kegiatan mereka diekspos secara besar-besaran oleh pemerintah melalui media. Selain itu, langkah pembinaan kelompok yang diindikasikan cenderung melakukan kekerasan menyelesaikan masalah.

Aksi kekerasan mereka tidak murni, terkadang karena alasan ideologi pemahaman mereka. Terkadang juga, dilatar-belakangi faktor keluarga. Di mana saat masa kecil, pelaku teror tidak mendapatkan pembinaan dengan baik di dalam keluarga. Mereka tidak mendapatkan perhatian penuh. Sehingga mereka menganggap diri sebagai warga no 7, dan tak dianggap. Ketika melakukan aksi teror dan terekspos. Baru kemudian mereka puas diri bahwa, "Saya dipedulikan apa yang telah kulakukan."

Artinya, aksi kekerasan di Indonesia, baik dilakukan orang Islam atau umat lainnya tak ada hubungannya dengan agama tertentu. Apalagi mengait-ngaitkan dengan lembaga pendidikan agama yang memiliki peran penting memerdekakan Indonesia; yaitu pesantren. Rentetan kejadian yang ada ini PR (pekerjaan rumah) bangsa Indonesia yang besar ini. Bukan hanya peran BNPT, Polri dan lainnya. Tapi menjaga keamanan tugas seluruh elemen masyarakat.

Indonesia yang kerap dijadikan opini internasional sebagai sarang teroris? Itu tak benar. Asalnya tak ada. Dan sejarah mengatakan, bangsa Indonesia adalah pemilik penduduk yang mengedepankan moralitas tinggi. Selain itu, masyarakat Indonesia cinta damai. Dari bertahun-tahun lama hidup berdampingan dengan pemeluk agama berbeda, tapi tak ada permasalah yang muncul permukaan. Semua baik-baik saja.

Namun, beberapa tahun terakhir ini, setelah isu terorisme gencar diembuskan oleh Amerika dan sekutunya. Indonesia mendapatkan efeknya terhadap kampanye itu. Bukan karena dilatari Indonesia mayoritas beragama Islam. Tapi juga, Indonesia adalah memiliki sumber daya alam (SDA) yang menarik dunia. Sehingga bisa dikatakan, ada muatan ekonomi-politik yang mengitari isu "Indonesia Negara Teroris."

Meski klaim itu terlalu pramatur, tapi indikasi itu bisa diterima dengan argumentasi dan apologi yang dibangun bahwa Indonesia bisa disebut sarang pelaku teror. Selain argumentasi yang dibangun masuk akal, fakta di lapangan menunjukkan demikian bahwa Indonesia ada akar ideologi teroris. Ini yang menjadi tugas bangsa untuk menjawab atau membuktikan bahwa Indonesia termasuk negara mendukung perdamaian dunia seperti tercantum dalam UUD 1945. Dan didukung dalam sila, "Kemanusiaan yang adil dan beradab."


Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun