Ketika kita berbicara mengenai pesantren, yang berada dibenak kita adalah simbol-simbol yang hanya menjadi ornamen yang dipakai oleh masyarakat pesantren (dalam hal ini adalah kiyai dan santri). Simbol-simbol seperti memeakai baju koko, sarungan, kopeah, sorban, hingga jubah dan simbol yang lainnya sering diasosiasikan sebagai representasi dari ekspresi keshalehan dalam ajaran agama Islam.
Dalam pandangan msayarakat umum grassroot, tentunya juga ketika mendengar istilah pesantren bahwa yang ada dalam benak mereka adalah orang yang pintar akan agamanya, bagus bacaan al-qur’annya, bisa berbicara bahasa Arab, dan bayangan-bayangan yang lainnya untuk memberikan predikat kepada anak pesantren.
Ekspektasi masyarakat luas
Asumsi-asumsi dan pandangan-pandangan masyarakat grassroot ada benarnya juga jika kita telusuri. Memang bahwa pesantren itu adalah selalu identik dengan simbol-simbol keagamaan yang dipakai oleh masyarakat pesantren. Namun, masyarakat luas—terutama akademisi—juga mempunyai ekspektasi lain selain dari pengekspresian Islam ke dalam pemakaian simbol-simbol itu, yaitu bisa memahami, mengkontemplasikan, menginternalisasikan, serta membumikan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam. Bukan hanya sekedar meniru-niru kiyainya memakai simbol-simbol tertentu itu.
Internalisasi dari nilai-nilai ajaran Islam tadi diharapkan terekspresikan dalam kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat dan bernegara. Ini adalah ekspektasi dari kebanyakan masyarakat bahwa masyarakat pesantren itu bisa menanamkan nilai-nilai ajaran Islam dalam bermasyarakat secara holitsik, tapi dalam tahapan pelan namun pasti. Penanaman nilai-nilai dalam kehidupan bermasyarakat ini diharapkan juga mampu sebagai instrumen preventif dalam pencegahan terjadinya penyakit sosial yang ada dalam masyarakat, terutama dalam hal tindakan kriminal yang sedang survive saat ini.
Ini menarik kalau kita korelasikan antara pesantren dan tindak kriminal, dimana lingkungan pesantren mempunyai peranan yang sangat penting dalam merubah prilaku sosial yang ada dalam masyarakat. Prilaku masyarakat pesantren—mestinya—dan prilaku tindak kriminal merupakan dua entitas yang berbeda dan saling antitesis. Apakah mungkin kedua entitas ini bisa bertemu dalam kehidupan kita? Hanya realitas yang mungkin bisa menjawab hal ini.
Ta’arufan dengan istilah tindak kriminal
Jika kita mendengar selentingan istilah kriminal, mungkin yang ada pada benak kita adalah pencuri, pembunuh, perampok, pemerkosa, dan tindakan lainnya. Bisa saja, karena itu semua termasuk dalam kategori tindak kriminal. Kriminalitas adalah suatu tindakan yang melanggar hukum atau sebuah tindak kejahatan.
Menurut Soedjono (1977: 15) bahwasanya ada berbagai perpektif untuk mendefinisikan kriminalitas atau tindakan kriminal. Pertama, Secara kriminologi yang berbasis sosiologis kejahatan merupakan suatu pola tingkah laku yang merugikan masyarakat (dengan kata lain terdapat korban) dan suatu pola tingkah laku yang mendapatkan reaksi sosial dari masyarakat. Reaksi sosial tersebut dapat berupa reaksi formal, reaksi informal, dan reaksi non-formal.
Kedua, Secara yuridis, kejahatan berarti segala suatu tindakan atau tingkah laku manusia yang melanggar undang-undang atau ketentuan yang berlaku dan diakui dapat dipidana secara legal,dan diatur dalam hukum pidana.
Ketiga, Dari segi kriminologi,setiap tindakan Dari segi kriminologi setiap tindakan atau perbuatan tertentu yang tindakan disetujui oleh masyarakat diartikan sebagai kejahatan. Ini berarti setiap kejahatan tidak harus dirumuskan terlebih dahulu dalam suatu peraturan hukum pidana. Jadi setiap perbuatan yang anti sosial,merugikan serta menjengkelkan masyarakat,secara kriminologi dapat dikatakan sebagai kejahatan.
Dari segi apapun memberikan pengertian mengenai kriminalitas, bahwasanya bermuara pada kejahatan itu bersifat relatif. Relatifnya kejahatan bergantung pada ruang, waktu, dan siapa yang menamakan sesuatu itu kejahatan. “Misdad is benoming”, kata Hoefnagels; yang berarti tingkah laku didefenisikan sebagai jahat oleh manusia-manusia yang tidak mengkualifikasikan diri sebagai penjahat. (J.E. Sahetapy, Kapita Selekta Kriminologi,Alumni, Bandung, 1979,hlm.67.)
Kriminalitas adalah sautu bentuk tindakan yang bersifat abstrak. Abstrak dalam hal ini adalah bahwa ia dapat dilihat dan tidak dapat diraba, tapi hanya bisa dirasakan dari implikasinya saja. Tindakan kriminalitas jika ditinjau dari sudut pandang agama, maka tidak ada agama apapun yang mengajarkan pada tindak kriminal tersebut, terlebih dalam ajaran agama Islam. Ajaran agama Islam sangat antitesis sekali dengan tindakan kriminal tersebut.
Dalam ajaran Islam, perbuatan mencuri misalnya, ini benar-benar dilarang dalam Islam karena merupakan prilaku yang berbahaya dan merugikan banyak orang. Bahkan dalam hukum Islam, orang yang mencuri itu potonglah tangan mereka. Ini merupakan tindakan preventif bagi tindakan kriminalitas agar tidak mengulangi kembali perbuatan tersebut sebagaimana terkodifikasikan ayatnya dalam QS. Al-Maidah: 38.
Realitas yang irrelevan
Dunia pesantren yang diisi dengan banyak aktivitas masyarakat di dalamnya, idealnya terhiasi kehidupan di dalamnya dengan niali-nilai ajaran Islam yang representatif dengan kondisi sosial yang ada. Namun, bukan berarti tidak mungkin dan tidak bisa dinafikan lagi bahwa tindak kriminal terjadi di lembaga pendidikan Islam non formal ini.
Sebetulnya, tindak kriminalitas yang terjadi di Pesantren atau Pondok Pesantren itu tidak terlepas dari terbiarkannya prilaku-prilaku sosial yang buruk (seperti memakai barang yang bukan milliknya tanpa sepengetahuan pemiliknya, mengambil barang orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya, dsb) yang kemudian dilestarikan dalam kehidupan di dalamnya sehingga membudaya dan ada efek—setidak-tidaknya—tidak afdhal jika masyarakat pesantren tidak melakukan hal itu, terutama di kalangan santrinya. Bahkan ketika jika ada salah seorang santri misalnya bersikap kritis terhadap prilaku sosial menyimpang tersebut, bukan diterima dengan lapang dada, malah menjadi sasaran utama dalam mendiskriminasikannya, memarginalkannya, mendiskreditkannya, bahkan intimidasi sosial lainnya.
Orang yang baik dalam lingkungan pesantren, selalu diidentikan sebagai orang yang mudah bergaul, orang yang mudah berinteraksi dengan teman-temannya, orang yang humoris—walaupun acapkali mengadopsi sekaligus mereduksi istilah-istilah ilmuan, atau bahkan nama ilmuan—orang yang bisa diajak main, dan lain sebagainya. Tidak terlepas bahwa di sisi lain ada prilaku yang tidak baik bahkan kalah levelnya dengan kebaikannya, ia suka memarginalkan orang yang tidak setuju dengannya, mendiskreditkannya, bahkan mengintimidasinya. Bahkan tidak jarang memengaruhi dan mnegajak masyarakat kampus untuk memberikan “legitimasi sosial” atas apa yang telah dilakukannya. Dan mereka menyepakati hal itu. ini kan repot.
Yang lebih ironisnya lagi, orang-orang yang mengintimidasinya adalah hegemoni pendukung pelestarian budaya kriminal tadi, dengan dalih bahwa inilah kehidupan di Pesantren dan inilah budaya pesantren. Dari sinilah nampaknya peluang emas—jika ada niat dan kesempatan—bagi pelaku tindak kriminalitas berkembang dan mengakar, masif, dan secara sistematis sesuai kondisinya. Tersistematis maksudnya dalam melakukannya bertahap, dari mulai tindak kriminalitas ringan berjalan secara pelan tapi pasti pada tindak kriminalitas yang agak berat. Hal ini didukung dengan sikap ketidaktegasan para ustadz-ustadznya atau orang yang me-manage pesantren itu mengenai tindak kriminalitas yang terjadi di Pesantren itu.
Beberapa motif yang memicu terjadinya kriminalitas di Pesantren
Kalau kita analisia secara patologi sosial bahwa terjadinya tindak kriminalitas—di Pesantren ini—ada beberapa faktor yang melatarbelakangi terjadinya. Pertama, murni faktor ekonomi. Ini biasanya terjadi di momen-momen ketika santri telat kirimannya dari orang tua atau mempunyai kebutuhan untuk memenuhi kehidupan di Pesantren, tapi uang yang ada tidak cukup untuk menutupinya sehingga terdesak untuk melakukan tindakan kriminalitas (melakukan pencurian barang-barang milik teman sekamar atau sepondoknya, misalnya)
Kedua, faktor desakan hawa nafsu (dendam yang terpendam). Ini bisa saja menjadi motif, ketika pelaku tindak kriminalitas tadi mempunyai dendam terhadap teman santrinya di Pondok, namun itu terpendam karena demi menjaga “wibawa” atau “marwah”. Sehingga keadaan ini mendesaknya untuk melaksanakan tindak kriminalitas. Ia tidak mau tahu entah akan dikemanakan hasil tindak kriminalitas itu, tapi yang penting ia telah melakukan balas dendam dan menzhalimi rivalnya di Pesantren dan puas terhadap apa yang dilakukannya.
Ketiga, motif ekonomi dan motif dendam antar santri. Ini bisa saja terjadi manakala sang pelaku terjadi krisis ekonomi di Pesantrennya, atau tidak bisa terpenuhinya untuk memenuhi kehidupan-kehidupan hedonisnya di Pesantren agar terlihat agak “gaya” oleh santri yang lain sekaligus juga ia mempunyai rasa dendam terhadap rivalnya, sehingga seolah-olah tidak ada lagi sesuatu yang harus dilakukan kecuali dengan melakukan tindak kriminalitas pencurian, misalnya. Namun dalam motif ini, nampaknya hasil tindak kriminalitasnya terorientasi secara jelas.
Stigmatisasi Pesantren
Prilaku-prilaku kriminalitas demikian acapkali terjadi di berbagai banyak pesantren. Disinilah terjadi stigmatisasi terhadap istilah pesantren yang sering diasosiasikan sebagai tempat untuk mendidik generasi muda yang mempunyai bekal spiritual-moral yang memadai yang diharapkan dijadikan refleksi dalam setiap aktivitas kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam banyak pesantren saat ini, orientasi terhadap santri masih masih berkutat pada tataran kognitif saja dalam konteks mengetahui fiqih minded saja, tidak begitu menekankan pada psikomotrik santri.
Dalam hal ini, terlepas apakah ini terjadi di Pesantren modern—tapi masih mempunyai mindset konservatif, bisanya hanya unggul dalam hal penggunaan bahasa dalam gaya bicaranya—atau di Pesantren tradisional. Entah itu pesantren modern atau pesantren tradisional, sama-sama tidak bisa dijadikan parameter untuk mengeskpektasi generasi muda.Inilah seringkali terjadi benturan yang keras antara logika dan fakta. Pesantern yang dikenal sebagai tempat untuk merehabilitasi moral-spiritual, tapi malah menjadi tempat yang subur untuk melestarikan nilai-nilai kriminalitas dan mengajarkan rivalitas antar sesama santri. Bagaimana bisa menjadi harapan untuk dapat dijadikan panutan di lingkungan luas, sedangkan di lingkungan pesantren saja budaya moralitas itu mengalami dekadensi.
Sebagai seorang santri, stigmatisasi pesantren oleh oknum santri dengan cara melakukan tindakan kriminalitas sudah semestinya kita perangi bersama demi menjaga marwah pesantren, agar pesan dan kesan manusia universal terhadap pesantren sesuai dengan apa yang ia harapkan. Jangan sampai santri pesantren hanya mampu memakai simbol-simbol Islam tapi minim dengan pemaknaannya, pun juga dengan kegiatan-kegiatan seremonial-spiritual tapi minim akan aktualisasinya.
Realitas seperti ini mungkin tidak semua santri mengalaminya atau tidak semua pesantren distigmatisasi dan direduksi esensi dan eksistensinya oleh santrinya. Penulis yakin, ini hanya sebagian pesantren saja yang kerap terjadi budaya buruk seperti ini.
Disinilah pendidikan agama di Pesantren harus dibenahi kembali, sehingga mempunyai orientasi yang jelas untuk ke depannya untuk para santrinya, dan juga supaya tidak terjadi disorientasi. Pelajaran agama di Pesantren tidak harus melulu berkutat pada ibadah seremonial-simbolik, tapi harus bisa mengaktualisasikannya pada kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat dan bernegara, sehingga cita-cita universalitas Islam tercapai, yaitu sebagai rahmatan lil’alamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H