Pelecehan seksual merupakan hal yang menjadi perhatian publik pada saat ini, hal ini dikarenakan dalam dalam kasusnya sendiri di Indonesia sudah sangat banyak. Tercatat pada tahun 2024 sebanyak 11.854 Â kasus pelecehan seksual yang terjadi di Indonesia hal ini didukung oleh data dari Kemen PPA pertahun 2024. Dengan jumlah kasus pada data ini maka bisa dilihat bahwa sangat besar sekali angka kejahatan seksual yang terjadi di Indonesia. Adapun pelaku pada kejahatan ini tidak hanya seorang dewasa saja melainkan anak-anak bahkan akhir-akhir ini Indonesia dihebohkan dengan adanya kasus pelecehan seksual yang pelakunya merupakan seorang disabilitas. Dalam artikel ini akan dibahas mengenai pelecehan seksual yang dilakukan oleh penyandang disabilitas dan bagaimana konsekuensi hukumnya.
Penyandang Disabilitas menurut UU Nomor 8 Tahun 2016 dijelaskan dalam Pasal 1 bahwa
"Penyandang Disabilitas merupakan Setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitas untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya."
Dalam hal penegakan hukum bagi penyandang disabilitas yang melakukan tindak pidana menurut Pasal 35 UU No. 8 Tahun 2016 telah dijelaskan bahwa penyandang disabilitas yang merupakan subjek hukum maka ketentuan penegakan hukumnya sesuai peraturan dalam hukum acara pidana di Indonesia. Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam hal pemeriksaan dan proses peradilan yang menyangkut dengan penyandang disabilitas. Dijelaskan dalam pasal 30 ayat 1 bahwa sebelum dilakukan pemeriksaan bagi Penyandang Disabilitas wajib meeminta pertimbangan atau saran dari;
- Dokter atau tenaga kerja Kesehatan lainnya mengenai kondisi Kesehatan;
- Psikolog atau psikiater mengenai konsisi kejiwaan; dan/atau
- Pekerja sosial mengenai kondisi psikososial.
Adapun ketentuan lain dalam UU No. 8 Tahun 2016 penegakan hukum bagi penyandang disabiltas yaitu antara lain:
- Bagi korban atau pelaku anak penyandang disabiltas, maka dalam proses penegakan hukumnya harus didampingi orang tua, keluarga, pendamping atau penerjemah untuk mendampingi anak disablitas. (Pasal 31)
- Lembaga penegak hukum wajib menyediakan akomodasi yang layak bagi penyandang disabiltas. (Pasal 36 ayat 1)
- Menyediakan Unit Layanan Disabilitas dalam Rutan yang memadai bagi penyandang disabilitas seperti; pelayanan masa adaptasi selama 6 bulan, menyediakan obat-obatan (khusus) saat masa pembinaan, pelayanan rehabilitasi. (Pasal 37)
Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam penangan kasus yang menjerat atau melibatkan penyandang disabilitas dalam hal penegakan hukum sama dengan subjek hukum lain akan tetapi berbeda dari fasilitas yang diberikan subjek hukum lain. Hal ini juga dikarenakan keterbatasan yang dimiliki oleh penyandang disabilitas mengakibatkan harus ada pendampingan khusus dari pemerintah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H