gunung seorang diri. Berlagak berani, ternyata kembali kabur melarikan diri. Mengadukan asa bertemankan diri. Ditemani secangkir kopi yang selalu dingin mengkhianati api.
Setelah sekian lama, aku kembali menaiki sebuahAku cukup gila untuk meninggalkan pekerjaan yang menjanjikan pundi-pundi harta. Menyeberang melawan arus realitas disaat berjuta ijazah berebut sempitnya peluang kerja. Dipandang naif, polos, tidak realistis, bahkan gila.
Aku tidak lagi seorang idealis yang skeptis dan marah pada semesta seperti dahulu kala. Aku telah meremukkan hati, memanggangnya, dan menjadikannya hidangan pembuka. Aku telah menjadi kosong untuk menerima segal realita. Aku telah mencoba untuk hidup menjadi orang biasa yang tidak lagi memikirkan tentang berjuta 'bagaimana'. Mencoba selalu menerima realita tanpa pernah meminta.
Namun pada akhirnya jiwa dan ragaku terjaga. Menyadari setiap penghasilanku bernoda merah mengiris nyawa berjuat jiwa. Ragaku bergolak menghantarkanku bolak-balik RS Karya Husada. Dia tidak pernh sakit, dia hanya menjerit berontak mendengar bisikan hati yang mencoba bersuara. Pada akhirnya aku kembali menjadi pengangguran sejahtera.
Lautan realita memang berbadai dan berombak raksasa. Hingga kini aku masih bermain bersama bungkusan pelastik, puntung rokok, dedaunan, dan para sampah masyarakat lainnya. Aku tak pernah ragu dengan rezeki sang Pencipta, namun salah satu jalannya adalah tetap dengan berusaha.
Pada akhirnya cerita ini akan beririsan dengan tema cinta.
Aku sering bertanya mengapa cinta bertemankan derita. Seolah kata agung dan mulia itu berkonotasikan negatif makna. Hingga aku sering merasa tidak pantas untuk sekedar bertemu dan berucap sapa dengannya. Bagaimana kata yang dipuja para pujangga dan diimpikan setiap putri raja menjadi hitam kehilangan cahaya. Bagaikan jasad busuk yang menyebarkan penyakit menular dan memadamkan setiap hangatnya cahaya.
Aku hanya berusaha menyimpan rasa itu pada tempat yang mulia. Tidak mengotorinya dengan drama tanpa hubungan yang hanya mempermainkan rasa. Berusaha untuk tetap diam hingga kata yang terucap dapat menggetarkan langit dunia.
Namun apalah daya. Rasa ini selalu merongrong jiwa. Meloloskan suara-suara yang tak terredam tipisnya perisai kata. Terbang bersama angin ribut kian-kemari menyusun kata. Dan terbaca. Ada pula saat-saat dimana aku pun tidak bisa menahannya. Saat kecelakaan yang akupun tak bisa berbuat apa-apa, kecuali berdo'a.
Aku tak pernah berani berharap, memohon tunggu, dan memproklamirkan dengan lantangnya suara. Bagaimana mungkin rumput kecil pendosa dan hina ini berani menatap dan menyapa sang putri raja. Aku hanya akan memperbaiki diri, mempersiapkan bekal, dan akan menyapa ketika kepantasan itu telah sempurna.
Begitulah kisah sang pengecut ini. Dia kembali turun gunung seorang diri. Kembali mencoba menghadapi realita.