Di era 80-an, ketika arus informasi belum semudah sekarang, hiburan anak-anak desa hanyalah apa yang ada di sekitar rumah. Media informasi yang tersedia saat itu baru radio AM dan SW, sedangkan yang termewah adalah televisi. Pun praktis hanya siaran TVRI saja yang dapat dinikmati.Â
Di desaku di Kudus, tempat aku dibesarkan, hampir setiap hari anak-anak seumuran bermain di tanah lapang pinggir sawah tadah hujan dibelakang rumah kakekku. Angin semilir ditambah rimbunnya pohon bambu, membuat tempat itu seperti alun-alun bagi kami. Ditambah lagi, ibu-ibu dan para gadisnya yang juga menyukai tempat ini untuk bergunjing tentang segala hal.Â
Begitu monoton setiap hari, terlebih di musim kemarau, ketika padi tergantikan oleh palawija. Tak ada suasana yang lebih dinamis dan menggairahkan, selain waktu musim padi datang. Riuh suara kodok di malam hari disambut lenguh sapi penarik bajak di waktu siang. Sesekali suara bentakan pembajak memecahkan suasana, menyuruh sapi-sapi itu untuk tetap bekerja.Â
Air-air mulai mengisi penuh selokan yang semuanya dialirkan ke sawah. Anak-anak begitu sibuk mempersiapkan berbagai mainan, agar tidak tertinggal kesempatan emas menikmati sorga sesaat. Selokan penuh air awal penghujan mengalir kecoklatan menjadi incaran pertama.Â
Kami selalu mencari sabut kelapa terbaik, kemudian mengisi cekungannya dengan abu tungku masak, membasahi dengan minyak tanah, meletakkan dengan hati-hati di permukaan air dan segera menyulutkan api sebelum perahu sabut kelapa merapung terbawa arus. Kami akan dengan senang hati menyusur sepanjang selokan yang lebarnya kurang dari 3 meter itu, sambil meneriakkan "Kapal api.... kapal api.... kapal api....". Begitu terus sampai api padam karena minyak habis atau sabut kelapa tidak lagi merapung akibat air merambat ke seluruh rongga. Â Sesekali, kapal kami berhasil sampai muara selokan, di sawah belakang rumah kakekku.Â
Pun waktu para orang tua sibuk menanam padi. Kami hampir selalu ada di pematang sawah, berlarian main layangan atau hanya sekedar hadir. Alasan yang hampir selalu sama adalah tidak ingin jauh-jauh dari orang tua yang sedang tandur. Kecipak air selokan selalu menjadi sumber semangat, karena setiap hari kami pulang dengan basah kuyup. Entah karena sekedar main ciprat-cipratan ataupun turut menimba air selokan dan menumpahkannya ke petak sawah orang tua kami.Â
Sayangnya, hari-hari seperti itu biasanya tidak lebih dari sebulan. Ketika tanaman padi sudah mulai beranak pinak, sawah seperti kehilangan daya pikatnya. Angin yang masih kencang bertiup seakan tidak menarik minat kami untuk bermain layangan. Air yang semakin beningpun tidak juga menarik untuk dimainkan. Sawah menjadi menghijau, sepi dari manusia dan mulai banyak ular sawah berkeliaran.Â
Kami yang masih anak-anak tidak pernah tahu sebabnya. Pun ketika sekarang generasi kami sudah seumuran para orang tua yang dahulu membajak sawah dan menanam padi. Kami tidak pernah tahu, karena kami tidak meneruskan membajak sawah, menanam padi, mengawasi selokan air.Â
Anak-anak kamipun sekarang tidak lagi bermain kapal api dari sabut kelapa. Sawah sudah sepi, tidak ramai seperti dulu. Anak-anak lebih suka menonton kartun atau bermain play station di rumah masing-masing. Pohon bambu pun sudah tidak beraturan, karena tidak ada lagi yang menebang secara rutin. Tidak ada ibu-ibu dan para gadisnya yang bergunjing. Sawahpun sepi dari kodok dan ular berkeliaran. Seperti kehilangan semangat, seperti selokan yang sekarang sudah hampir tidak terlihat karena mendangkal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H