Kemampuan Jurnalistik Akan Tingkatkan Animo Masyarakat Terhadap Konservasi
Kegiatan pengamatan burung di alam bebas masih tergolong eksklusif di Indonesia. Masyarakat tentunya akan tertarik mengikuti pemberitaan kegiatan yang tidak semua orang dapat melakukannya ini. Sayangnya, masih banyak pengamat burung yang belum tertarik untuk menulis dalam bahasa jurnalistik agar dapat dinikmati kalangan luas.
Burung Nusantara, jaringan pengamat burung di Indonesia berinisiatif meningkatkan kemampuan jurnalistik anggotanya melalui kegiatan Diskusi Jurnalistik di Kebun Raya Bogor, Sabtu (30/4/2011). Kegiatan ini diikuti oleh 13 orang yang datang dari Jabodetabek, bahkan satu diantaranya dari Yogyakarta. Selain para pengamat burung, ikut pula peneliti harimau Sumatera dan peneliti amphibi. Hadir sebagai nara sumber dalam diskusi ini yaitu Harun M. Billah dan Yuliawati, jurnalis majalah TEMPO.
"Kegiatan ini bertujuan meningkatkan kemampuan para pengamat burung dalam menulis sesuai kaidah jurnalistik, agar masyarakat luas dapat lebih menikmati tulisan-tulisan mereka ", kata Sekretaris Burung Nusantara, Fransisca Noni.
Yuliawati mengawali diskusi dengan memberikan contoh membedakan tulisan dalam bentuk straight news dan feature. Straight news adalah berita singkat yang lebih menonjolkan aktualitas sebuah berita, biasanya topik tidak diungkap mendalam. Sedangkan feature adalah tulisan yang lebih mendalam dan enak untuk dinikmati. Bentuk feature lebih mengutamakan pemaparan peristiwa secara deskriptif, sehingga dapat membangkitkan imajinasi pembaca.
Angle atau sudut pandang merupakan kunci bagus tidaknya sebuah tulisan jurnalistik. Semakin pandai memilih angle yang disukai masyarakat umum, tulisan tersebut akan semakin menarik minat pembaca.
Yuliawati, yang telah 5 tahun berkarir di dunia jurnalistik menekankan, "Dalam pemilihan angle kita tidak boleh mengesampingkan selera masyarakat. Banyak hal yang tidak kita sukai, tetapi ternyata diminati orang banyak".
Dalam kegiatan ini, Harun memberikan tips-tips membuat tulisan yang baik. Dia menekankan untuk tidak menghabiskan seluruh cerita dalam lead atau kepala tulisan. Selain itu, penting menampilkan kutipan untuk memberikan jeda bagi para pembaca.Kutipan harus sudah ditulis maksimal di paragraf ketiga.
"Seringkali orang menulis dengan segenap emosinya, sehingga membuat semua cerita tertumpah dalam paragraf pertama. Penting untuk mengatur energi agar tulisan kita selalu berbobot dalam setiap paragrafnya", tegasnya lebih lanjut.
Dalam kegiatan tersebut, masing-masing peserta diberikan kesempatan untuk menulis sebuah lead dengan tema bebas. Menurut Harun, jurnalis yang ahli menulis feature ini, semua peserta telah mampu membuat lead yang menarik minat orang untuk membaca. Tinggal melatih pengaturan energi untuk mengembangkan lead menjadi sebuah tulisan yang bagus.
Para peserta berharap kegiatan pelatihan jurnalistik ini ditindaklanjuti melalui praktek langsung. Hal ini disebabkan masih banyak pengertian tentang konservasi yang masih harus disampaikan kepada masyarakat luas. Sebagai contoh, banyak orang masih memaknai konservasi satwa liar identik dengan penangkaran. Padahal seharusnya konservasi menitikberatkan pada pelestarian di habitat aslinya.
"Penangkaran harimau Indocina dianggap berhasil oleh banyak masyarakat karena populasinya menjadi sangat besar, tetapi populasi di alam sudah terancam punah. Hal seperti ini yang ingin kami sampaikan kepada masyarakat agar peduli dengan kelestarian hutan", ungkap Wulan Pusparini, peneliti harimau Sumatera dari Wildlife Conservation Society.
Untuk menjawab keinginan peserta meningkatkan kemampuan menulis, Harun mempersilakan para peserta untuk mendiskusikan tulisannya melalui email. Dia juga berkenan membantu lembaga konservasi yang memiliki media informasi untuk meningkatkan kualitas tulisan, sehingga informasi akan semakin berbobot.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H