Mohon tunggu...
Leonardi Gunawan
Leonardi Gunawan Mohon Tunggu... Freelancer - Karyawan

Warga Negara Biasa Yang Ingin Indonesia Ke Piala Dunia

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Seragam Sekolah antara Kesetaraan dan Faktor Ekonomi

21 April 2024   19:50 Diperbarui: 21 April 2024   20:06 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Setiap tahun ajaran baru disetiap jenjang pendidikan di Indonesia, permasalahan baju seragam selalu menjadi pembicaraan hangat. Khususnya dikalangan para orang tua murid yang anaknya masuk ke jenjang baru. Baru masuk TK, baru masuk SD, baru masuk SMP, baru masuk SMA, sampai saat kuliah-pun ada yang namanya jas Almamater. Yang ada di benak para orang tua tentunya adalah keluar dana ekstra untuk beli seragam baru.

Kita ambil contoh paling sederhana untuk anak baru masuk SD minimal mereka wajib  mempunyai 4 stel  pakaian( atasan-bawahan), yakni baju Putih - Merah lengkap dengan aksesorisnya, Baju Lokal yang biasanya batik, Baju olahraga dan baju pramuka beserta  aksesoriesnya.  bayangkan saja kalau sartu stel pakaian saja paling murah 100rb, jadi orang tua minimal harus menyiapkan uang 400-500rb khusus untuk pakaian sekolah, belum buku tas dll.

Seragam sekolah pada hakekatnya adalah untuk memberikan kesetaraan kepada anak didik sehingga disekolah tidak ada terjadi kecemburuan sosial. misal orang tuanya kaya mempu  membelikan pakaian ber merk atau yang high class sedangkan yang lain tidak mampu. 

Sekedar untuk  informasi pakaian SD,SMP, SMA yang sekarang dipakai oleh siswa siswi Indonesia adalah buah pemikiran dari Bapak Idik Sulaeman pada sekitar medio 1979an saat beliau menjabat di Kementrian Pendidikan.

Jaman berubah demikian cepat sampailah kita pada jaman sekarang ini dimana semua serba instant,termasuk didalamnya tuntutan ekonomi juga tinggi, boleh dibilang pendidikan juga masuk ke gerbang komersilisasi. Semua dijadikan uang. contoh kecil lihat saja uang sekolah yang gila-gilaan di beberapa sekolah swasta yang katanya terbaik.

Salah satu sumber duit yang biasa dimaksimalkan untung mendapatkan uang lebih adalah dengan berjualan secara "ekslusif" seragam sekolah. Bahwa seragam sekolah itu hanya boleh dan bisa dijual di dalam sekolah. Bahkan untuk seragam -seragam resmi yang telah diatur pemerintah sebelumnya.

Contoh untuk SD, seragam resmi putih - merah memang dipergunakan. Tetapi "kreativitas" sekolah menjadikan seragam tersebut hanya bisa dibeli di sekolah. Misal. untuk topi merah ada dibuat ada bordiran khusus nama sekolah. dasi juga bukan hanya ada lambang Tut Wuri Handayani tapi juga ada lambang sekolah tersebut. Bahkan ada juga yang sampai mewajibkan kaos kaki putihnya harus dibeli di sekolah karena kaos kakinya ada lambang sekolahnya.

Belum lagi seragam lokal dan baju olahraga yang biasanya akan berganti tiap 2-3  tahun sekali. tentunya hal ini membuat baju-baju lungsuran dari kakak kelas tidak bisa dipakai oleh adek adek kelasnya lagi. dan memaksa untuk membeli baru.

Praktek - prakter semacam ini tentunya bukan sesuatu yang baik, terutama apabila ini terjadidi sekolah negeri. Pemerintah pusat selalu menggaungkan bahwa biaya pendidikan SD-SMA negeri adalah gratis tetapi pada kenyataanya dilapangan jauh dari kenyataan.

Langkah menteri pendidikan guna menyeragamkan aturan patut di apresiasi namun juga harus ditindaklanjutin dan diimplementasi dengan baik dan bijak. Misalnya untuk semua seragam yang di atur pemeritah baju putih - merah baik yang bersekolah negeri dan swasta bisa dibeli bebas diluar dan juga bebas dari embel embel sekolah. 

Pakaian Lokal yang biasanya batik itu sebaiknya bisa diperlakukan per Provinsi saja atau kalau tidak per kabupaten disamakan saja motifnya. Serta juga "umur"seragam  jangan terlalu pendek bisa dibikin aturan setiap 3-4 tahun baru bisa berubah motifnya, jangan tiap tahun harus berubah.

Dan karena pramuka bukan lagi ekstrakulikuler wajib maka penggunaan baju pramuka dan aksesoriesnya hanya digunakan untuk yang mengikuti kegiatan tersebut bukan kewajiban lagi. Jangan sampai nanti setelah pramuka tidak wajib. sekolah malah buat seragam baru lagi dan memaksakan anak didiknya untuk wajib  pakai lagi.

Dinas pendidikan harus lebih proaktif dalam hal ini melakukan pengawasan baik kepada sekolah swasta terlebih lagi sekolah negeri yang notabene adalah milik pemerintah.  Fungsi pengawasan terhadap sekolah sekolah atau oknum nakal harus lebih tegas. 

Kita mungkin tidak bisa meniru gaya pendidikan barat yang berpakaian bebas kalau sekolah tapi kita juga tidak boleh tutup mata melihat bahwa banyak yang mengambil keuntungan secara tidak sah terkait masalah ini.

Salam Waras

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun