Mohon tunggu...
Leonardi Gunawan
Leonardi Gunawan Mohon Tunggu... Freelancer - Karyawan

Warga Negara Biasa Yang Ingin Indonesia Ke Piala Dunia

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Film The Training Day, Antara Harapan dan Kenyataan kepada Kepolisian

26 Oktober 2022   12:50 Diperbarui: 26 Oktober 2022   12:58 744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keberadaan polisi baik dan polisi nakal, adalah nyata adanya di kehidupan nyata. Polisi nakal sering di labeli dengan kata "oknum" . Pemilihan kata ini untuk menunjukkan bahwa perbuatan jahat tersebut hanya dilakukan oleh segelintir anggota saja. Kata oknum lebih pada penekanan pribadi bukan lembaga secara keseluruhan.

Dua kejadian besar yakni peristiwa Irjen FS dan Irjen TM menunjukkan bahwa oknum tersebut bukan hanya  pada anggota dengan pangkat rendah tapi juga terjadi pada tinggkat perwira tinggi , Jenderal, yang notabene mempunyai kekuatan dan kekuasaan yang cukup kuat.

Film The Training Day ( 2001) , yang dibintangi oleh Denzel Washington berperan sebagai polisi senior bernama  Alonso Harris  dan Ethan Hawke berperan sebagai polisi baru bernama Jake Hoyt, adalah satu dari sekian banyak film yang menggambarkan  adanya perilaku polisi yang menyimpang. 

Alur cetinya adalah tentang hari pertama kegiatan anggota polisi yang baru (Hoyt)  masuk ke unit narkoba, dan dia dipasangkan ( dipatnerkan)  dengan polisi senior ( Harris)  yang sudah "ahli" mengurus narkoba.

Cerita dibangun sangat rapi dan mudah diikuti, dari anak baru yang hormat sama senior sampai akhirnya harus memberontak bahkan membunuh seniornya karena pada akhirnya polisi baru ini sadar dan mengetahui bahwa seniornya ini adalah salah satu polisi nakal,  yang malah jadi pengedar sekaligus pelindung bandar - bandar narkotika di kota tersebut.

Pergulatan batin polisi baru tersebut, berhasil diperankan secara apik oleh Ethan Hawk, dari rasa segan hormat sampai berani ambil tindakan karena lebih patuh kepada hukum dan kebenaran. Ethan Hawk pada akhirnya diganjar Oscar sebagai pameran pembantu terbaik untuk penampilannya di film ini.

Walaupun hanya sekedar film, namun cerita diatas  seakan "nyambung" dengan realita yang terjadi sekarang ini. Sejak hari pertama masuk mendaftar menjadi anggota kepolisian.  Sudah secara sadar dan tidak sadar bahwa ada dua hal yang menjadi patokan dan harus diikuti. Yakni perintah atasan dan perintah senior.

Dua hal ini seperti aturan baku yang tidak boleh ditentang dan diperdebatkan atau bahkan ditolak. Yang ada hanya satu kata yakni "siap". Kultur budaya tersebut boleh jadi sudah mendarah daging karena sudah dibentuk sejak hari pertama mendaftar jadi anggota. 

Maka tidak heran tak kala Prof. Mahfud MD berakta ada halangan pada saat pemeriksaan awal terhadap kasusu FS. Yakni terkait kepangkatan dan senioritas. Untuk itu kemudian FS akhirnya di berhentikan dulu dari kepolisian guna menghilangkan sekat tersebut.

Jadi jangan berfikir dan bertanya. "Kok tidak ditolak perintahnya ?", Kok mau disuruh melakukan hal keji tersebut ?" Kok tidak melawan ?, atau "Khan mereka lebih mengetahui undang -- undanngya bahwa itu salah ?"  dan lain sebagainya.

Sulit sekali bagi anggota bawahan untuk melawan atasan. Apalagi atasan yang lebih senior, dalam kamus mereka aturan / undang undang adalah apa yang keluar dari mulut atsannya. Itulah yang paling benar.

Jangan harap mereka masih bisa berfikir jernih untuk berdebat, atau menyanggah atasannya dengan pasal -- pasal undang undang ( yang sebenarnya mereka juga tau itu). Karena apa? Karena doktrin mereka atasan adalah yang paling benar.

Lalu kalau begitu dimana salahnya? Ketika anak buah sudah loyal kepada atasan, anak buah sudah menuruti atasan. Tetapi pada akhirnya diperintahkan untuk melakukan sesuatu yang malah melanggar hukum?

Yang paling pertama yang harus dibenahi jelas adalah karakter  sistem pendidikan di kepolisian itu sendiri, selama ini anggota kepolisian mengindentifikasikan dirinya setara / sama dengan TNI, padahal secara tupoksi sangat berbeda.  TNI didikin keras kerana memang digunakan sebagai "alat perang" melindungi negara dari ancaman perang. Doktrin mereka jelas yakni memenangkan peperangan apapun taruhannya.

Sedangkan polisi kalau dijadikan satu mottonya kata adalah "Mengayomi" masayarakat. Polisi adalah "temannya" rakyat, yang bertugas sebagai mitra dalam hal ketertiban dan keamanan di dalam lingkungan masyarakat. Polisi harusnya jauh dari kata kata sangar, arogan, hedon dan lain cap negative lainnya. Polisi dibayar negara untuk melayani masyarakat. Sehingga masyarakat bisa beraktivitas dengan baik.

Menyamakan diri bahwa anggota kepolisian sama denga tentara jelas adalah sesuatu yang tidak tepat, walaupun kepangkatan kepolisian di Indonesia hampir sama dengan militer. 

Di negara-negara maju, jangan jauh ke Singapore saja. Kepolisian sudah berada di bawah kementerian dan pangkat tertingginya bukan Jenderal. Karena memang sifatnya sangat jauh berbeda dengan militer.

Yang kedua adalah terkait dengan promosi pangkat dan jabatan. Sebagai seorang atasan dan menjadi panutan anggota dibawahnya. Adalah suatu keharusan bahwa atasan tersebut harus mempunyai track recod yang bagus. 

Dalam hal ini termasuk didalamnya catatan terkait kepribadinannya  (psikologisnya ), catatan tentang sumber hartanya, dan yang pasti juga terkait prestasi kerjanya. Karena atasan ini membawahi anggota anggota yang siap melakukan apa saja atas perintahnya. Bagaimana kalau salah perintah? Salah penyalagunaan kekuasaan? Bisa fatal akibatya. Intinya bahwa mereka yang dipercaya menjabat harus benar benar di saring yang terbaik.

Yang ketiga adalah Jalankan fungsi pengawasan dengan baik, Fungsi pengawasan untuk kepolisian di Indonesia sebenarnya sudah lebih dari cukup. Instrumen sudah lengkap tinggal menjalankan saja. 

Di Internal kepolisian, ada Divisi Propam yang menjadi polisinya polisi bertugas mengawasi kinerja setiap anggota kepolisian, ada Kompolnas ( Komisi Kepolisian Nasional) dari unsur pemerintah, ada juga DPR  RI sebagai mitra kerja yang merupakan perwakilan rakyat, dari LSM ada IPW ( Indonesia Police Watch). Lembaga -- lembaga ini diharap bisa mengawasi kinerja kepolisian dengan baik.

Semoga dengan terungkapnya dua kasus besar ini, polisi semakin dapat memperbaiki diri, berat memang, karena sistemnya sudah sedemikan terbentuk dan mengakar dari atas sampai bawah. Tetapi apapun ceritanya kita tetap butuh lembaga kepolisian untuk terus ada di dalam masyarkat.  

Dan berharap kedepannya akan bermunculan polisi-polisi pemberani model Hoyt yang lebih tunduk kepada peraturan undang-undang dan mendengar suara hati nuraninya daripada harus tunduk kepada perintah yang jelas -- jelas salah dan melanggar hukum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun