Debat ke-4 Pemilihan Presiden (30/3/2019) sebenarnya datar-datar saja, tidak ada isu baru atau sesuatu topik yang membuat para rakyat atau para pemilih yang telah menjatuhkan pilihannya untuk berpindah dari No. 1 ke No. 2 atau sebaliknya No. 2 ke No. 1.
Yang lebih diperhatikan para penikmat debat adalah bukan lagi subtansi isi tetapi lebih kepada tampilan luar dari para kandidat. Ada yang menilai bahwa yang satu berhasil memancing emosi yang lain. Ada juga yang bilang karakter aslinya sudah terlihat. Hal-hal di luar subtansi yang malah ramai dibahas.
Dari sekian banyak topik yang dibahas tadi malam, mungkin hanya debat mengenai masalah pertahanan keamanan yang mendapatkan perhatian. Dapat dilihat begitu bersemangatnya calon No. 2 menjabarkan seluk beluk mengenai pertahanan dan keamanan karena boleh jadi memang di masalah itulah beliau sangat-sangat mengusai materi debat selama ini. Sudah hapal luar kepala istilahnya, ahlinya ahli, core of the core, kata pak Ndul...
Ada 3 Hal yang bisa ditarik pernyataan calon No. 2 terkait sistem pertahanan keamanan yang hubungannya dengan posisi Indonesia di mata dunia. Yang pertama bahwa kekuatan militer Indonesia masih sangat lemah sehingga mudah dikuasai bangsa lain.
Kedua bahwa anggaran belanja yang dikeluarkan untuk pertahanan negara sangat minim sehingga senjata yang dibeli pun tidak canggih. Yang ketiga karena Indonesia tidak mempunyai militer yang kuat maka Indonesia dianggap sebelah mata oleh bangsa lain.
Dari semua hal tersebut muaranya adalah kalau seandainya Indonesia berperang dengan bangsa lain, tentunya Indonesia akan kalah dan kemungkinan besar musnah dalam hitungan sebentar saja. Yang menjadi pertanyaan besarnya kemudian adalah dengan negara mana Indonesia berpotensi akan berperang secara militer dan dalam rangka apa?
Letak geografis Indonesia memang bak pedang bermata dua, menguntungkan karena strategis dan juga merugikan. Apalagi negara kita adalah negara kepulauan yang garis pantainya saja sangat panjang. Â Belum lagi wilayah udaranya yang juga terbuka. Â Potensi serangan (kalau terjadi) perang memang sangat rawan dan juga riskan.
Adakah kemungkinan kita berperang dengan negara lain? Dari yang paling dekat. Apakah ada konflik yang benar-benar tidak terselesaikan antara negara kita dan para tetangga kita di Asean?
Menurut penulis sampai sekarang belum ada potensi konflik yang benar-benar memicu ketegangan negara-negara Asia Tenggara. Dengan Malaysia yang paling dekat, perebutan pulau. Indonesia dan Malaysia jauh lebih sepakat dengan jalan diplomasi dan lewat pengadilan internasional.
Negara Asia Tenggara punya wadah ASEAN dan para pemimpinnya sejauh ini juga saling menghormati satu sama lain. Mungkin juga karena kenangan sejarah betapa menderitanya kawasan Asia Tenggara menjadi medan pertempuran sekutu dan Jepang (kecuali Thailand) sehingga negara Asia Tenggara lebih mengedepankan dialog daripada perang secara fisik.
Tetengga yang dekat lainya adalah Papua Nugini dan Australia. Papua Nugini sejauh ini memiliki hubungan yang baik dengan Indonesia, jangankan mau perang, Papua Nugini masih berjuang dalam membangun negaranya. Sehingga invasi atau serangan dari sana bisa diabaikan.
Australia sendiri adalah negara persemakmuran dari Inggris. Simbiosis Mutualisme antara Indonesia dan Australia kiranya jauh membuat Autralia walaupun ada Inggris dan sekutu di belakangnya untuk menginvasi Indonesia. Â Australia masih butuh uang para mahasiswa Indonesia untuk bersekolah di sana, Indonesia juga butuh impor daging dan susu sapi dari Australia.
Mungkin dua kekuatan besar di dunia yang harus diwaspadai yakni Amerika dan Tiongkok. Amerika yang merasa dirinya menjadi polisi dunia saat ini sepertinya lebih disibukkan dan bergulat dengan masalah politik dalam negerinya semenjak pergantian kekuasan dari demokrat ke republik.
Kebijakan sang presiden yang kadang tidak popular di mata masyarakat, pembatasan pengungsi dari Amerika Tengah dan Selatan, serta penarikan personel militer dari berbagai belahan dunia. Ditambah perang dagang dengan Tiongkok cukup membuat Amerika sibuk dengan dirinya sendiri.
Sedangkan Tiongkok sejauh yang dilihat belum pernah berkonfrontasi langsung dengan satu negara secara langsung. Dagang adalah metode Tiongkok untuk melancarkan ekspansinya. Kekuatan militer yang mereka bangun kalau penulis lihat lebih kepada menaikkan nilai "tawar" terhadap kekuatan Amerika. Yang ingin mereka kuasai adalah sistem penghasil uang untuk mereka.
Tidak perlu berperang dengan negara lain kalau pada akhirnya rugi besar. Lebih baik investasi dimana-mana, kasih pinjaman uang kemana mana. Nanti bunganya bisa mengalir ke Tiongkok. Kestabilan di kawasan Asia Tenggara dan Timur pastinya menjadi prioritas Tiongkok.
Dengan luas wilayah yang sedemikan luas, tidak heran Tiongkok harus memperkuat armadanya. Karena ancaman terbesar Tiongkok sebenarnya bukan dari luar. Tetapi dari dalam negerinya sendiri. Bagaimana kue kemakmuran itu bisa terbaik ke semua lapisan dan semua wilayah.
Dari ujung barat ke ujung timur. Ketegangan di Laut Tiongkok Selatan, antara beberapa negara masih bisa diatasi dan tidak menjadi sumber konflik yang tidak bisa diselesaikan.
Kita memang tidak boleh terlena. Kita benahi terus sistem pertahanan negara kita, termasuk juga kesejahteraan para anggota TNI. Percuma alatnya mahal, tetapi tentaranya tidak dalam kondisi prima. Begitupu juga sebaliknya. Dengan anggaran pertahanan sekitar Rp 107 Triliyun atau (0.8 %) dari GDP. Memang masih terasa kecil.Â
Tetapi anggaran segitu sudah termasuk besar untuk kawasan Asia Tenggara, Sebagai juaranya adalah Singapura yang mempunya 135 Triliyun (3.3 %) dari GDP. Ini berdasarkan data dari World Bank tahun 2017.
Penulis cukup pesimis bahwa 10-20 tahun kedepan yang namanya invasi secara militer peluangnya sangat kecil terjadi di kawasan Asia Tenggara, khususnya untuk Indonesia. Â Apalagi mengusai Indonesia secara fisik dengan menempatkan pasukan. Ingat bahwa negara kita adalah kepulauan. Negara mana yang bisa mengusai Indonesia secara penuh. Kuasai saja Jawa.
Yang di Aceh? Kaltara? Maluku Utara? Apakah segampang itu di kuasai? Amerika saja sampai saat ini masih babak belur di Afganistan dan masih menderita akibat perang Irak yang tak kunjung selesai. Â Yang jelas tidak gampang mengusai Indonesia secara fisik dengan kekuatan militer.
Yang ditakutkan sebenarnya bukan ancaman invasi dari luar. Tetapi lebih kepada bagaimana mencegah kepentingan pihak-pihak asing ini yang menyusup masuk kedalam kepentingan Indonesia. Pemecah belah persatuan adalah musuh besar yang harus sangat diwaspadai. Kehancuran Indonesia lebih besar peluangnya terjadi bukan karena dari luar. Tetapi karena perpecahan dari masyarakatnya sendiri.
Semoga saja prediksi dalam Novel Ghost Fleet yang pernah dibaca oleh salah satu presiden yang mengatakan Indonesia punah, tidak pernah dan tidak akan terjadi. Optimis Indonesia semakin besar dan disegani oleh bangsa-bangsa lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H