Pendaftaran Pilpres 2019 tinggal menghitung hari, sampai saat ini diprediksi hanya akan terdapat 2 koalisi besar yang akan mengusung calonnya masing  masing. Berarti nantinya ada 4 nama yang mendaftar, 2 calon presiden dan 2 calon wakil presiden.
Dari 4 orang yang diprediksi akan maju, sampai detik ini hanya satu orang yang secara resmi sudah mengeluarkan nama yakni dari partai koalisi pemerintahan sekarang. Yakni sang Presiden Petahana. Untuk yang lain, baik calon wakil presiden dari Petahana, bahkan dari kubu koalisi penantang petahana sampai saat ini belum bisa mengeluarkan nama yang pasti untuk calon presiden dan calon wakilnya.
Memang banyak sekali pertimbangan, tarik menarik kepentingan para partai pendukung, perhitungan kemungkinan menang sampai pada yang utama tetapi tidak terekpose tentunya adalah bagaimna nantinya pembagian kekuasaan kalau koalisinya menang.
Dengan syarat 20 % suara legislatif maka tidak ada partai yang dapat berdiri sendiri mencalonkan presiden dan wakil presiden semua harus berkoalisi, pun dengan partai pemenang pemilu 2014 yang hanya meraih 18% suara.
Maka hari -- hari menjelang batas akhir pendaftaran, hampir semua pemberitaan khususnya di tingkat nasional mayoritas berbicara tentang kandidat -- kandidat yang akan maju meramaikan pilpres 2019. Manuver -- manuver politik para ketua umum, ditambah pernyataan -- pernyataan para kader dan simpatisan mereka yang menganggap dirinya " tokoh nasional" menghiasi sebagian besar layar televisi, surat kabar dan serta media sosial. Semua berlomba lomba menjual "kecap" no .1
Semua pembahasan itu pada akhirnya akan mengerucut kepada siapa yang layak maju, dengan setiap partai mempunyai jagoannya masing -- masing tentunya, banyak spekulasi berkembang, bagaimana jika si A dengan si B, si A dengan si C atau si C dengan si D, kalau ini dan itu serta banyak lagi. Pasangan -pasangan yang coba dimunculkan dan di cocok -- cocokkan. Bahkan yang nampaknya tidak pas untuk di pasangkan juga di cocok cocokkan sehingga muncul istilah cocoklogi.
Berbagai analisa yang kadang nampaknya ilmiah dengan disertai data -- data, disodorkan demi memikat para penentu kebijakan ( ketua umum partai). Padahal belum tentu data tersebut memang valid. Dibuat simulasi jika ini berpasangan dengan itu, atau itu dengan dia bagaimana. Dicari kelebihan dan kekurangan masing -- masing kemudia di klop -- klop khan. Yang ini Jawa dengan yang ini luar Jawa, yang ini birokrat yang ini jendral, yang ini tua yan ini muda. dan lain sebagainya. Seolah -- olah semua menjadi logis serta berpeluang menang.
Bukan saja anggota partai politik yang berharap namanya dilirik untuk dicalonkan, banyak juga tokoh professional, mantan pejabat negara, sampai para tokoh pemuka agama  bermunculan. Baik dicalonkan oleh "suatu ormas" maupun terang -- terangan mencari dukungan dengan kesana -- kesini menemui ketua parpol. Kalau boleh dihitung saat ini ada sekitar 15-20 nama yang berseliweran meramaikan pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden, yang pada akhirnya mengerucut kepada 4 nama saja. Dengan 1 sudah pasti jadi tinggal tiga tempat yang tersedia.
Bagi kita sebagai rakyat sebenarnya sah -- sah saja para petinggi partai politik bermanuver ini itu, coba pasang si A dengan si B atau terserah siapa dengan siapa, tetapi harus diingat bahwa rakyat juga memperhatikan dan mengawasi serta melihat setiap gerak -- gerak para "tokoh nasional". Mungkin ada yang bahagia ketika idolanya diberitakan baik dan akan bergabung dengan tokoh yang diinginkan. Ada juga yang merasa kecewa tokoh idolanya mulai tidak diberitakan dan terdepak dari persaingan bahkan ada yang tidak dilirik sama sekali.
Yang perlu di garis bawah siapun itu yang pada akhirnya dipandang terbaik oleh para elite partai politik, dengan mendaftar sebagai calon Presiden dan calon wakil presiden, bukan otomatis terbaik sesuai dengan kehendak rakyat. Para elite selain memakai pendekatan politik juga harus memakai pendekatan logika dan akal sehat yang benar. Jangan terlalu percaya diri dan merasa paling benar.
Kehendak rakyat disini tentunya bukan segelintir rakyat atau para anggota partai atau mereka yang dibayar untuk menjadi simpatisan. Rakyat disini adalah benar -- benar rakyat yang melihat dengan kacamata lurus tanpa terkontaminasi kepentingan partai.