Penulis pribadi sebenarnya lebih setuju seorang Anies mengambil peran menjadi seorang Semar, ya Semar ketua para punakawan. Tokoh rekaan yang menjadi panutan semua orang. Penasehat para pandawa. Mempunyai kekuatan sangat hebat (secara dia adalah dewa tertinggi), tetapi mempunyai pribadi yang lemah lembut, tempat bertanya untuk semua pertanyaan, intinya adalah tokoh panutan. Tentunya dalam hal ini tokoh panutan  tidak lagi mengejar kekuasaan. Memposisikan sebagai penyeimbang, sebagai tauladan. Bahasa kerennya mereka yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.
Semenjak kepergian Gusdur, lalu Nurcolis Majid, Indonesia seperti kehilangan bapak bangsa yang sesungguhnya. Saat ini menurut penulis tinggal tersisa Buya Safii Maarif. Tokoh tua banyak, tokoh partai banyak, mantan Presiden banyak, ketua partai juga banyak. Tetapi yang bisa mendapatkan predikat bapak bangsa ya tinggal Buya Safii saja untuk saat ini. Selebihnya adalah mereka yang hanya merasa menjadi bapak bangsa.
Ada 3 kreteria penting untuk menjadi seorang yang dianggap bapak Bangsa. Pertama tentunya mempunyai integritas yang tidak bisa diganggu gugat. antara perkataan dan perbuatan konsisten dijalur yang bear. Kedua adalah tentunya mereka yang berwawasan luas, bisa menjadi tempat bertanya, menjadi tempat untuk mencari jalan keluar kepada maslaah bangsa yang pelik, tanpa adanya keperpihakan, pikirannya jernih karena tidak punya kepentingan apa – apa.
Dan yang ketiga adalah dapat diterima oleh hampir semua golongan, pernyataan, omongan, petuah dan petunjuk yang dikeluarkan oleh para tokoh bangsa ini, pasti menjadi rujukan utama bagi bangsa ini untuk melangkah, pun bagi seorang Presiden. Karena pernyataan yang dia keluarkan mengandung kebenaran universal yang dapat diterima hampir semua golongan.
Pada awalnya penulis berharap seorang Anies dapat menjadi penerus Buya Safii Maarif. Ketiga hal diatas beliau sudah punya, tinggal menambah jam terbang saja. Maka ketika Jokowi menunjuk menjadi menteri pendidikan adalah hal yang sanggat tepat. Mengingat dengan pendidikan yang baiklah maka bangsa ini dapat merevolusi mental yang ada.
Tetapi melihat fenomena pilkada DKI saat ini harapan itu berangsur - angsur lenyap, kenyataan bahwa Anies maju untuk merebut kursi DKI 1, dan bergabung dengan lawan politiknya masih sukar diterima. Walupun itu adalah hak seorang warga negara. Harapan akan munculnya Semar, Bapak Bangsa, Bapak yang dapat mengayomi seluruh rakyat Indonesia tanpa harus orang tersebut duduk dipemerintahan seolah lenyap. Yang tersisa tinggal harapan dan doa agar Pak Anies apapun yang terjadi tetap sejalan, seturut dengan kata – kata yang diucapkannya selama ini.
Atau...
Kemunculan Anies yang membawa sifat Semar memang juga sudah disiapkan oleh Jokowi bahkan Anies sendiri agar pilkada DKI ini berlangsung dengan aman tentram tanpa ada gejolak yang berarti. Dengan Masuknya Anies diharapkan ketegangan yang terjadi seperti Pilpres 2014 tidak terjadi. Kalau semua kondusif semua aman. Maka pembangunan dapat berjalan dengan baik. Anies sendiri sudah memposisikan diri sebagai semar itu sendiri di pilkada DKI 2017, dengan mengorbankan Jabatan Menteri Pendidikan.
Banyak teori, banyak analisa yang berkembang. Dan ini kan terus berlangsung bahkan sampai Pilkada selesai. Terus mana kira – kira analisa yang paling masuk akal? Jawabannya adalah nanti pada Pilpres 2019. Pilakda DKI 2017 ibarat adalah baru prolognya untuk pertarungan sesungguhnya di 2019. Disitulah kita nanti akan mengetahui kemana peran seorang Anies.
Apakah memang sebagai kuda Troya? kalau kuda Troya terlepas menang atau kalah, Anies akan kembali ke kubu Jokowi. Atau memang menjadi Ken Arok? Menang atau kalah di Pilkada, Anies malah maju menjadi calon Presiden menantang Jokowi? Tetapi bisa juga pada saat Pilpres nanti Anies malah menjadi penyeimbang, kembali ke habitatnya semula yaitu tempat untuk bertanya dan mengayomi semua kepentingan? Menjadi Semar.
Salam.