Mohon tunggu...
Hendra Manurung
Hendra Manurung Mohon Tunggu... -

Saya dosen ilmu komunikasi dan public relations pada Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Presiden, Kota Jababeka, Cikarang, Bekasi 17550. Saya ingin selalu dapat dan terus belajar dan berbagi pengalaman tentang ilmu komunikasi, kehumasan, jurnalistik cetak, jurnalistik elektronik, jurnalistik on-line, social media, dan media konvergensi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menggagas Demokratisasi Pluralisme

13 Juli 2010   09:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:53 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menggagas Demokratisasi Pluralisme

Oleh Hendra Manurung

--------------------------------------------------------------------------------------------

Politics today is increasingly being influenced by marketing, and the same technological methods used by corporate America to market products are also being used by politicians to market themselves and their ideas (Lynda Lee Kaid, political communication scientist, 2004)

Perbedaan dan keragaman dalam masyarakat harus dikelola dalam sistem politik yang menganut nilai-nilai demokrasi, dimana dalam situasi faktual yang terjadi di Indonesia saat ini, seringkali ditemui bahwa politik konsensus orde reformasi (1998-sekarang), masih belum mampu menjawab tuntutan dalam pencapaian demokratisasi pluralisme dan inklusif. Keragaman masyarakat dan sistem demokrasi yang berkualitas seyogianya dapat mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bersama dan lebih diutamakan,sebagai sebuah upaya penyelesaian masalah-masalah sosial dan kemunculan konflik horizontal yang dapat mengancam kehidupan harmonis dalam masyarakat, setelah berakhirnya rezim orde baru (1966-1998).

Dalam pengaturan perbedaan dan keragaman ini, sudah sewajarnya diperlukan batasan-batasan etika, norma kesopanan, dan keadilan yang jelas, transparan, dan dijamin UUD 1945 oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, agar supaya masyarakat tidak semakin mudah terpancing dalam ranah kesewenang-wenangan oleh kelompok masyarakat tertentu yang seringkali mengatasnamakan suku, agama, ras, dan golongan tertentu dan bertindak anarkis. Kejatuhan Orde Baru menjelaskan bahwa perbedaan dan dan keragaman masyarakat tidak terhindarkan dalam konteks sistem politik, dan hal dimungkinkan dapat dikelola selama masih terwujudnya proses demokrasi. Apabila perbedaan dan keragaman terabaikan dalam ruang politik, maka terjadilah kesalahpahaman dan ketidaksepakatan (disensus), yang dapat mengambil bentuk lain dan berubah menjadi monster politik, dengan mengatasnamakan kelompok tertentu dalam masyarakat, seperti halnya perbuatan main hakim sendiri dan tindakan melanggar hukum, dengan meluasnya serangkaian kerusuhan bernuansa kepentingan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) dimulai semenjak tahun 1998, yang telah menghancurkan nilai-nilai kesepakatan bersama (konsensus) politik harmoni Orde Baru, yang digagas oleh mantan Presiden Soeharto.

Menguatkan Demokratisasi Pluraslime

Today, Indonesia is the world’s third largest democracy, after the U.S and India, with a US$550 billion economy and a member of informal group comprising 20 of the world’s wealthiest nations (G20, The President Post, 12/05/2010). Kemajuan demokrasi Indonesia memang diakui oleh dunia internasional, menurut Freedom House di tahun 2009. Tidak ada indikator tunggal dalam penghitungan maju mundurnya sistem demokrasi di suatu negara. Kaum proseduralis mengukur kemajuan demokrasi berdasarkan ketersediaan pranata-pranata politik dan keterlaksanaan pemilu rutin yang transparan. Dalam hal penjaminan hak politik dan kebebasan sipil, para penganut prosedur politik mengacu pada adanya kebebasan pers dalam kebebasan berpendapat yang dimiliki setiap warga negara dalam setiap pemilihan umum.

Pendangan kaum proseduralis ditentang oleh kaum substansialis yang mengarusutamakan kualitas hidup warga negara dan kelompok masyarakat dalam tatanan sistem politik. Indikator yang dipergunakan antara lain menggunakan skala kemiskinan, tingkat pengangguran, disparitas sosial, angka buta huruf, tinggi rendahnya kematian ibu dan bayi, atau indeks pembangunan manusia secara keseluruhan. Kaum substansialis mengutamakan kemerdekaan dan kehidupan warga negara dalam ranah demokrasi, dan tidak hanya mengurusi ada tidaknya aturan baku dalam sistem demokrasi, banyaknya gedung bertingkat, dan munculnya aktor-aktor simbol demokrasi.

Tolak ukur yang dipergunakan Freedom House di Washington D.C, adalah sebagai ukuran yang dipergunakan dalam menghitung laju demokratisasi di berbagai negara yang dipenuhi dengan nuansa kuntitatif liberal, yang bermaksud bias. Mengapa demikian ? Pertama, bobot demokrasi dikuantifikasi dalam angka, biasa memakai rentang skor 1.0-7.0; Kedua, demokrasi hanya dilihat dari perspektif liberal. Keduanya baik, namun tidak sepenuhnya dapat menerangkan realitas sebuah demokrasi. Bagaimana kita bisa menerangkan tingginya tingkat kemiskinan yang sangat signifikan di Indonesia, ketika skor kemajuan demokrasi, menurut indikator Freedom House, sudah di bawah 5.0 sejak tahun 2004 hingga tahun 2009 ?. Atau bagaimana Amartya Zen di tahun 2009 dapat mempertahankan tesis “development as freedom” dalam konteks Indonesia yang semakin bebas namun semakin melarat ?

Bagi pengikut demokrasi kualitatif, penilaian ini sangat membingungkan, dimana apa yang dinamakan kemajuan (developed) perlu masih diperdebatkan, benarkah Indonesia telah mengawali sistem demokrasi yang berkualitas bagi masyarakatnya ? Hingga saat ini, di Indonesia, semakin menurun kepercayaan publik terhadap institusi negara, hukum, dan politik, yang dengan mudah menjelaskan bahwa demokrasi telah mengalami krisis kualitas.

Dalam pemilihan umum tahun 2004 dan 2009 lalu, kita memercayai bahwa pemilihan langsung akan memperbaiki mutu dan kualitas demokrasi. Namun nyatanya, demokrasi telah kehilangan makna dan arti sesungguhnya ketika berhadapan dengan kemenangan sekelompok elit politik dan partai politik besar yang lebih mengedepankan kekuatan uang (money politics) dan jaringan kekerabatan politi (political oligarch) dalam proses pengambilan keputusan politik. Diakui bersama, bahwa tidak ada kata pluralisme dalam konstitusi, namun dengan memahami nilai-nilai yang terkandung dalam hak asasi manusia (HAM), maka UUD 1945 telah menjamin kepentingan semua golongan. Penghargaan atas hak asasi manusia harus diyahati karena merupakan substansi konstitusi, dimana dijamin perhormatan atas setiap perbedaan dalam masyarakat. Setiap warga negara diakui eksistensinya dengan segala karakter yang dimilikinya oleh pemerintah.

Etika atau filsafat moral mampu menjelaskan mana tingkah laku politik yang baik dan buruk. Etika bisa menjadi petunjuk dalam pemilahan tingkah laku yang sekedar dikemas sebagai baik, dan mana yang secara substansi mengandung nilai-nilai kebaikan moral yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Etika berpolitik adalah dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Apabila perikehidupan masyarakat sudah sering mengabaikan etika, maka kehidupan antar kelompok masyarakat tidak berjalan harmonis dan lebih banyak diatur oleh materi kepemilikan dan kesewenang-wenangan kepentingan para pemilik kekuasaan (eksekutif, legislatif, yudikatif).

Diakui bahwa Indonesia saat ini telah kehilangan arah dan tujuan untuk mewujudkan masyarakat yang berkeadilan dan sejahtera. Masyarakat Indonesia harus kembali menjadikan Pancasila sebagai landasan kehidupan dengan tingkat pemahaman yang dinamis, berkelanjutan, dan konsisten sebagai karakter nasional (character building) dalam mewujud bangsa yang berketuhanan, berkemanusiaan, dan berkeadilan. Untuk mengembalikan jati diri bangsa diperlukan sebuah keadaban publik, bukan kebiadaban publik yang jelas tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat (public interests). Disadari bersama bahwa, berbagai perkembangan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dewasa ini yang meliputi aspek politik, hukum, ekonomi, pendidikan, dan kebudayaan telah menunjukkan munculnya kontradiksi perlawanan gagasan dan ide-ide kelompok masyarakat tertentu yang semakin meluas.

Dalam sistem demokrasi saat ini, nilai-nilai etika politik dan kepentingan sesaat para aktor politik cenderung mengabaikan kompetisi politik yang berakal sehat dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral. Sangat ironi, ketika semua harga jabatan politik hanya dinilai dengan sejumlah uang. Semua jabatan politik memiliki harga dan biaya politik yang harus dibayar. Melalui kebebasan media massa, masyarakat semakin dipertunjukkan oleh arah demokrasi yang bermuatan etika moral berhadapan dengan dunia materialisme kekuasaan dalam segala aspek ekonomi, hukum, politik, sosial budaya, pendidikan, bahkan juga dalam wilayah keagamaan. Pembelaan terhadap kepentingan publik dan hak-hak rakyat dalam perwujudan demokratisasi pluralisme harus diutamakan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai dasar etika pengambilan kebijakan publik. Hal ini perlu dilakukan, mengingat begitu dominannya kekuatan modal, uang, dan kekuasaan yang telah mengubah nilai-nilai etika politik bermasyarakat, dan khususnya pengambilan berbagai kebijakan publik dari Sabang hingga Merauke yang berkaitan dengan bagaimana upaya mewujudkan keanekaragaman masyarakat.

Sistem politik, demokrasi, dan pluralisme harus mampu berjalan seiring dan diarahkan untuk lebih meningkatkan eksistensi kepentingan umum (bonnum commune), dan bukan bagaimana masyarakat dan pemerintah menciptakan berbagai karakter manusia yang dapat menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus) di abad Asia Pasifik ini. Ketika keberadaan demokrasi dan pluralisme mulai terancam dan mengarah pada munculnya klaim kekuasaan dan kepemilikan kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan tertentu, maka disinilah sosok pengabaian etika paling mendasar. Etika berpolitik dapat berjalan seiring dengan demokrasi dan pluralisme, ketika muncul penghargaan terhadap nilai kemanusiaan dan keadilan yang nyata mewujud dalam negara kesatuan yang berketuhanan, demokratis, beretika, dan bermoral.

* Hendra Manurung, staf pengajar/dosen ilmu komunikasi dan kehumasan, FIKOM, Universitas Presiden, Bekasi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun