Mohon tunggu...
Henki Kwee
Henki Kwee Mohon Tunggu... -

Belajar memahami apa yang terjadi di sekitar dan menulis untuk berbagi pendapat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dari 3 in 1 ke ERP: Mudahnya Mengurus Negeri Ini

10 Mei 2010   23:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:17 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca judul sebuah berita tentang akan dihapuskannya sistim 3 in 1 di Jakarta sungguh suatu berita yang menggembirakan. Tetapi rupanya kegembiraan itu tidak berlangsung lama karena itu hanya judul, lengkapnya adalah sistim 3 in 1 akan diganti dengan ERP (Electronic Road Pricing), sistim penggunaan jalan berbayar pada ruas jalan dan waktu tertentu. Bagi pengendara mobil pribadi yang melintasi kawasan 3 in 1 tentu sudah paham benar apa dampak sistim ini bagi kelancaran perjalanan mereka. JIka tidak bisa menunggu sampai waktu berakhirnya yaitu jam 7-10 pagi dan 4.30-7 malam maka harus mengeluarkan uang untuk biaya joki, atau membayar denda jika ketahuan melanggar. Biaya joki berkisar Rp. 10 ribu sampai Rp. 20 ribu sekali jalan. Setelah lebih dari 10 tahun ditetapkan dan sudah beberapa kali ditinjau ternyata pemerintah tetapi berkeyakinan bahwa 3 in 1 adalah sistim terbaik untuk mengatasi masalah kemacetan. Fenomena semakin bertambahnya jumlah joki yang menunggu di pinggir jalan seolah tidak pernah dipertimbangkan sebagai kurang efektifnya sistim 3 in 1. Bagaimana mungkin memaksa orang untuk harus minimal 3 orang dalam 1 mobil jika tidak ada keperluan yang sama? Selain menggunakan joki, cara lain adalah menggunakan sopir dan pembantu untuk melintasi kawasan 3 in 1. Suatu bentuk pemborosan karena sebetulnya mobil tidak perlu kembali lagi untuk mengantar pembantu pulang lewat jalan alternatif. Belum lagi kemacetan yang parah sekitar jam 7 malam di kawasan sudirman dan kuningan karena banyak orang menunggu selesainya waktu 3 in 1. Semuanya menunjukkan bahwa sistim 3 in 1 kurang efektif. Selain busway sebagai terobosan transportasi masal yang kini sebagian besar halte dan bisnya sudah menunjukkan gejala kurang terawat, pemerintah DKI belum memberikan solusi lain. Mungkin karena peliknya masalah lalu-lintas dan transportasi di Jakarta. Ide ERP bukan ide baru karena beberapa tahun lalu pun pernah ada usulan penggunaan stiker berbayar, nomor polisi tertentu pada hari tertentu, yang semuanya hanya mengatur jumlah kendaraan yang melintas tanpa menyentuh permasalahan sesungguhnya. Jakarta butuh transportasi masal aman, nyaman dan memiliki jaringan sampai ke daerah penyanggah. Rencana penerapan ERP dengan tarif Rp. 20 ribu di kawasan 3 in1 hanyalah suatu penyelesaian masalah dengan masalah lain. Menurut pejabat yang bersangkutan, biaya ini dimaksudkan agar ada efek jera sehingga masyarakat beralih ke angkutan umum. Sebuah strategi yang kurang bijak karena mengandung unsur paksaan. Penggunaan angkutan umum tidak perlu dipaksakan karena semuanya adalah makhluk ekonomi yang bisa menghitung efisiensi biaya transportasi. Pernahkah dilakukan studi tentang bagaimana seorang pekerja harus keluar dari rumahnya untuk mencapai halte busway? kemudian harus berdesak-desakan karena jumlahnya yg belum memadai. Sebagian dari mereka menggunakan mobil tidak hanya untuk dari dan ke kantor saja tapi juga ke tempat-tempat lain selama jam kerja. Dengan transportasi umum yang belum memadai tentu mobil adalah suatu pilihan. Satu hal lagi, pernahkah dilakukan studi tentang siapa yang membayar biaya operasional mobil pribadi yang melintas? sebagian dari mereka dibiayai oleh kantor sehingga penggunaan ERP tidak akan mengurangi penggunaan mobil pribadi. Perlu juga dilakukan studi berapa persen keluarga yang mengajukan kredit kepemilikan mobil sebenarnya sudah layak atau mereka memaksakan diri karena tidak ada akses angkutan umum yang layak. Nah, dengan segala pertimbangan di atas, masihkah ERP akan dipaksakan hanya demi kas daerah seperti yg dikatakan pejabat "daripada bayar joki lebih baik masuk kas daerah". Apakah ini bukan termasuk penyumbang 'high-cost economy'? Bukankah lebih baik jika rute busway dan juga jaringan pengumpan dibuat senyaman busway. Dan yang tak penting adalah bagaimana 'memaksa' kedisiplinan pengguna jalan untuk mengurangi kemacetan. Sebenarnya apa sih tujuan penerapan ERP itu? ataukah ini hanya suatu fenomena' yang penting sudah ada usulan cara mengatasi kemacetan' soal apakah mengatasi masalah kemacetan dengan menimbulkan masalah baru bagi pengguna, itu soal lain. JIka demikian maka memang mudah mengurusi negri ini. [caption id="attachment_138028" align="alignnone" width="300" caption="diunduh dari beritajakarta.com"][/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun