[caption id="attachment_69121" align="alignleft" width="259" caption="diunduh dari google"][/caption] Sifat bohong sepertinya sudah melekat dalam diri manusia sejak lama. Pembohong bertujuan agar orang percaya pada apa yang disampaikannya. Dalam bahasa kerennya, kebohongan bisa terjadi karena adanya kesenjangan informasi, pembohong merasa memiliki informasi lebih banyak sehingga bisa memanipulasi informasi. Ngomong-ngomong soal bohong, kemajuan ilmu pengetahuan juga mempercanggih cara berbohong. Teknik manipulasi foto dan video merupakan salah satu contoh penggunaan teknologi untuk memanipulasi data sebenarnya. Perkembangan ilmu pengetahuan menuntut orang untuk lebih percaya pada data daripada manusia sehingga untuk meyakinkan orang kita perlu menyajikan data pendukung. Tentang hal ini ada slogan "In God we trust, for everything else we need data". Jadi kita bisa melihat betapa pentingnya data dalam kehidupan. Perkembangan ilmu statistik memungkinkan penyajian informasi dalam bentuk data yang sistematik sehingga lebih meyakinkan karena mengandung unsur ilmiah. Sebagaimana layaknya ilmu pengetahuan yang seperti pedang bermata dua yang bisa digunakan untuk tujuan baik sekaligus tujuan jahat, demikian juga dengan statistik. Adalah Darell Huff yang pada tahun 1954 yang mengenalkan statistik pada masyarakat awam dan menjelaskan tentang berbagai kesalahan yang umum terjadi dalam statistik baik disengaja maupun tidak yang dapat mempengaruhi pembuatan kesimpulan. Salah satu topik dalam buku itu adalah 'korelasi tidak selalu berati penyebab" dan juga tentang "sampel acak" yang sering dijadikan 'senjata' bagi peneliti untuk meyakinkan pembaca bahwa sampel yang dipakai mewakili situasi sebenarnya. Meski di tahun 1950-an belum dikenal power-point, program yang sangat populer untuk melakukan presentasi karena memiliki fungsi pembuatan grafik dan tabel yang baik, Darell telah menunjukkan bahwa grafik statistik dapat di'sesuaikan' untuk mempengaruhi kesan terhadap kenyataan. Misalnya dengan memotong garis bawah (bottom line) suatu grafik sehingga perbedaan kelihatan menjadi lebih besar dari sebenarnya atau menampilkan suatu kuantitas dengan menggunakan objek 2 atau 3 dimensi untuk membandingkan ukuran sehingga pembaca lupa bahwa gambar dan kuantitas tidak memiliki skala yang sama. Intinya adalah 'mengelabui' mata pembaca. Banyak lagi hal-hal lain yang bisa dilakukan untuk meyakinkan pembaca secara 'ilmiah' belum lagi kalau kita melihat dari teknik pengambilan sampel, teknik wawancara dan lainnya. Singkatnya semua bisa dilakukan dengan tujuan tertentu agar pembaca yakin. Akhirnya memang semua kembali pada integritas penyaji data dan juga tujuan penyajian data tersebut. Namun sebagai masyarakat yang sering disuguhi bermacam-macam data terutama tentang keberhasilan suatu program tentu kita harus lebih jeli dalam menerima semua informasi yang ada. Tentu kita juga tidak berharap seorang paranoid meski kondisi sekarang sering memaksa demikian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H