Mohon tunggu...
Henki Kwee
Henki Kwee Mohon Tunggu... -

Belajar memahami apa yang terjadi di sekitar dan menulis untuk berbagi pendapat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mem-bule-kan Anak Indonesia

18 Januari 2010   09:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:24 1682
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mummy, I want a can of coke, can I have it? No, you are not well honey, you can have it at other time. begitulah percakapan singkat yang saya dengar di sebuah pusat jajan di dalam sebuah mal. Hal seperti ini tidak saja terjadi di Jakarta tetapi sudah mulai meluas ke daerah lain. Suatu fenomena menarik yang bisa dilihat dari berbagai perspektif. Saat ini tidak sulit kita mendengar orang tua berbicara dalam bahasa Inggris dengan anak mereka yang masih kecil. Umumnya orang tua tersebut berasal dari kalangan menengah atas yang berkeinginan agar anak-anak mereka menguasai bahasa Inggris sejak dini. Tujuan yang sangat mulia karena didasari atas kesadaran bahwa tantangan hidup di masa depan sangatlah berat. Mempersiapkan anak sebaik mungkin merupakan strategi pembangunan sumber daya manusia yang harus dihargai. Adakah perspektif lain dari fenomena ini? dari informasi yang pernah saya dengar ada pandangan berbeda mengenai saat yang tepat untuk mengajarkan bahasa kedua pada anak. Pendapat pertama mengatakan pengajaran sebaiknya dimulai sejak dini sedangkan pendapat lain mengatakan sebaiknya setelah menguasai bahasa pertama dengan baik. Kedua pendapat tersebut tentu didukung dengan teori dan hasil penelitian yang memadai. Semuanya kembali pada kita untuk mengikuti pendapat mana yang kita yakini. Saya mencoba melihat anak sebagai satu individu yang utuh termasuk kehidupan sosial anak dalam masa perkembangannya. Dalam masa puncak pertumbuhan otaknya seorang anak bisa menyerap informasi apa saja termasuk belajar bahasa kedua. Yang menjadi perhatian adalah bagaimana penguasaan bahasa kedua ini tidak mempengaruhi perkembangan kehidupan sosialnya. Coba kita perhatikan orangtua muda di lingkungan sekitar yang kebanggaan pada anaknya semakin besar bila anaknya cuma mau bicara bahasa Inggris bahkan semakin anak tersebut kurang menguasai bahasa indonesia untuk komunikasi sehari-hari, semakin besarlah kebanggaan orang tua tersebut. Bahkan nenek dan kakek pun terpaksa harus belajar bahasa Inggris demi mengimbangi si anak. Dari fenomena ini saya melihat tidak ada manfaat lebih yang didapat si anak karena dia menguasai bahasa Inggris dengan baik tapi menghilangkan kemampuan berbicara bahasa ibunya, dalam hal ini bahasa Indonesia. Alangkah baiknya bila kemampuan bahasa Inggrisnya diimbangi dengan kemampuan bahasa Indonesia yang baik pula. Memang tidak ada yang ideal dalam hidup ini tapi bila harus memilih saya rasa lebih baik anak menguasai bahasa Indonesia terlebih dulu baru belajar bahasa kedua setelahnya. Tentu saja semua ini tetap bisa dilakukan tanpa harus menunggu si anak menjadi dewasa dulu. Dari perkembangan kehidupan sosialnya, bisa dibayangkan bila seorang anak tinggal di suatu komplek perumahan dengan mayoritas anak berbahasa Indonesia dengan dialek lokal sedangkan anak tersebut tidak menguasai bahasa tersebut dengan baik. Pastilah si anak akan merasa terasing. Hal ini pasti akan berdampak pada perkembangan kehidupan sosial selanjutnya. Hal lain lagi. Bahasa hanyalah salah satu unsur pembentuk budaya manusia dan pola interaksi manusia sangat khas berdasarkan budayanya. Saya hanya membayangkan si anak yang tidak fasih berbahasa Indonesia  tapi berkelakuan khas Indonesia. Apakah ini bukan merupakan bukti terbentuknya "spesies" baru. Muncul lagi pertanyaan, apakah tidak lebih baik bila anak tetap menunjukkan ciri khas bangsanya namun tetap memiliki kemampuan beradaptasi tanpa batas melalui penguasaan bahasa Inggris yang baik. Sering saya bertanya sendiri, apakah memang harus sampai mengorbankan bahasa Ibu untuk menguasai bahasa Inggris? Mengapa kita ingin menjadi seperti bule padahal kita bukan bule. Setahu saya bahasa Inggris pun memiliki beragam dialek. Coba perhatikan percakapan bahasa Inggris orang dari Inggris, Amerika, Skotlandia atau Australia. Mereka memiliki ciri khas sendiri dalam bahasa Inggrisnya, toh, hal itu tidak menghalangi mereka dalam berkomunikasi dengan penutur bahasa Inggris dari negara lain. Sebagai alat untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan, alangkah indahnya bila seorang anak dapat mengekspresikan pikiran dan perasaannya dalam berbagai bahasa secara baik dan benar, syukur bila juga dapat dilakukan dengan penyesuaian terhadap budaya dari pengguna bahasa asing tersebut. Bila sedang berbahasa Indonesia, ungkapkan pikiran dan perasaan dengan cara Indonesia begitu juga bila sedang menggunakan bahasa Inggris lakukan dengan cara Inggris. Perkembangan teknologi komunikasi memungkinkan kita belajar semuanya itu. [caption id="attachment_56288" align="aligncenter" width="299" caption="http://buahhaticerdas.files.wordpress.com/2009/09/ibu-dan-anak-1.jpg"][/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun