Hampir tiga jam kami istirahat di rumah singga di dekat bandara Pagerungan Besar. Di sana saya mencicipi makanan tradisional khas Pagerungan Besar, mungking secara umum makanan khas Sapeken. Ketan bakar. Entah apa namanya. Bagi saya itu tidak penting. Yang penting rasanya. Rasaya lumayan enak. Selain itu, saya juga menikmati mie sedap.
Sambil menunggu perahu datang, saya ngobrol macam macam sama ustad Said yang sejak dari Sumenep satu penerbangan. Ustad Said yang mendapat tugas dari pengurus Himpaudi Kecamatan Sapeken mendampingi saya dan Pak Suhairi menuju Pulau Sakala.
Selain ustad Said, ada pemilik penginapan yang bergabung dalam percakapan ringan kami. Beliau pegawai tetap Pertamina Pagerungan. Menurut penuturannya, tidak mudah menjadi pegawai di Pertamina, perlu waktu lama dan kesabaran semasa pengabdian. Itupun kalau orang lokal hanya menjadi pegawai pada strata kepegawaian kelas bawah.
Di samping itu, juga ditemani orang lokal yang akan mengantarkan kami menuju pelabuhan.
"Pak, perahunya sudah datang. Mari kita kepelabuhan," ustad Said mengingatkan saya.
Kami bergegas membereskan bawaan dan naik sepeda motor menuju pelabuhan. Tidak terlalu jauh dari bandara ke pelabuhan. Hanya beberapa menit. Kurang lebih lima menit.
"Perahunya mana Ustad?" Tanya saya kepada ustad Said setibanya di pelabuhan.
Dalam pikiran saya perahu yang akan membawa kami lumayan besar. Karena tidak ada perahu yang saya pikirkan maka saya menanyakan kepada ustad Said.
"Itu Pak, di tengah," sambil menunjukkan jari telunjuknya ke arah perahu kecil yang ada di tengah.
Saya tertegun sejenak. Ini sungguhan ke Sakala naik perahu kecil. Saya tidak bisa membanyangkan bagaimana perasaan teman saya, Pak Suhairi. Ke Pulau Sakala naik perahu kecil maksimal ditumpangi 5 orang. Belum selesai kehawatiran naik pesawat dari Sumenep ke Pagerungan Besar, kini diberi tantangan naik perahu jollor, perahu tiga roda dengan ukuran 1x11 meter ke Pulau Sakala.
"Ustad Said, pantat saya ini bisa masuk perahu?" Sambil menepuk pantat, saya bertanya.
"Wk wk wk...."
Orang yang ada di sekitar saya semua tertawa.
"Bagaimana pak, takut?"
"Tidak, ada yang lebih kecil lagi kah?" dengan penuh percaya diri saya menantang.
Saya pun melangkahkan kaki menuju perahu jollor. Di belakang saya ada Pak Suhairi. Sedangkan ustad Said sudah jauh di depan dekat dengan perahu.
Saat naik perahu, mata saya tertuju pada anak cewek, kecil kira kira umurnya 4 tahun, sedang tidur tiduran di atas perahu di bagian belakang dekat dengan tempat kemudi.
"Pak Suhai, kita ini seperti masuk perangkap orang Sakala atau lagi di uji," saya berbisik ke arah telinga Pak Suhairi.
"Kok bisa?", tanya Pak Suhairi yang belum menyadari kalau di perahu yang akan ditumpangi ada anak cewek kecil di dekat tempat kemudi.
"Kita dihadapkan pada satu pilihan. Kalau kita takut, dan tidak jadi berlayar, itu artinya kita kalah sama anak kecil yang tidur tiduran di belakang di dekat tempat kemudi. Bisa malu, kita kalah sama anak kecil, cewek lagi." Saya memberi penjelasan kepada Pak Suhairi sambil menunjuk pada anak cewek yang tidur tiduran.
"Pintarnya orang Sakala, membuat kita tidak punyak pilihan." Pak Suhairi menjawab singkat.
Perahu jollor sudah mulai bergerak. Pertama hanya menggunakan satu mesin. Tidak lama kemudian, mesin yang kedua, juga digunakan. Perahu melaju dengan cepat. Tetapi tidak secepat speedboat.
Percikan air sudah mulai membasai wajah saya. Oleh karena itu, Pak Suhairi yang semula ada di depan, ia merangkak pindah ke belakang saya. Saya tahu ia bermaksud menghindar dari percikan air ketika roda perahu menghantam ombah kecil.
"Awas Pak Hajar..."
Pak Suhairi mengingatka saya ketika percikan air laut akan membasahi muka dan tubuh saya.
"Siap..."
Begitu yang dilakukan Pak Suhairi di belakang saya. Setiap percikan datang, ia berteriak. Tentu setiap ada percikan air laut saya yang lebih banyak kenak dibandingkan Pak Suhairi. Tepatnya ia aman. Karena saya di depan dan Pak Suhairi bersembunyi di belakang saya.
Sementara itu, ustad Said dan juru kemudi, Pak Samsul, tertawa melihat tingkah laku kami.
Entah berapa kali Pak Suhairi berteriak. Dan saya bilang siap. Saya tidak menghitungnya. Dilupakan, karena setiap hempasan air laut itu ke wajah saya, saya sertai dengan tertawa lepas.
Untungnya waktu balik dari Sakala ke Kangean ke pelabuhan Kayuaru tidak berlawanan dengan ombak. Sehingga perjalanan balik selama 5,5 jam aman. Namun tidak aman dalam hal yang lain.
"Pak, kita mampir ke pulau di depan itu, ya. Saya ada keperluan," pinta Pak Suhairi kepada juru kemudi.
"Tidak bisa Pak. Itu jauh. Kalau ada perlu di belakang sini, aman tidak ada yang akan melihat."
Sepertinya Pak Samsul mengerti maksud dari Pak Suhairi ingin berlabuh di pulau yang di lalui perahu.
Dengan terpaksa, akhirnya Pak Suhairi membuka celana panjangnya. Kemudian melangkahkan kaki ke belakang sambil berpegangan pada bambu yang diikat pada tiang depan dan tiang belakang perahu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H